Ketika jatuh tempo KMK di tahun 2013, Pelindo II belum juga memperoleh  pinjaman jangka panjang.  Financial Advisor (FA) Pelindo II memperkirakan kemampuan Pelindo II menarik pinjaman hanya sekira Rp 6-7 Triliun mengingat laba rata-rata tahunan hanya Rp 2 Triliun. Dengan kondisi pinjaman jangka panjang yang belum juga bisa diperoleh, utang KMK yang jatuh ditutup dengan menarik KMK baru senilai Rp 4T.
Tahun 2014 Pelindo II menunjuk Deutchse Bank (DB) sebagai FA. Padahal sesuai surat Dewan Komisaris , pada saat itu posisi DB sebagai FA Hutchison Port Holdings (HPH), partner Pelindo II di JICT. Â Ketika itu Pelindo II berhasil mendapatkan pinjaman offshore senilai USD 1,25 miliar tapi hanya bisa dicairkan US $500 juta. Dana perolehan pinjaman ini kemudian digunakan untuk menutup KMK senilai Rp 4 triliun yang sudah jatuh tempo tahun 2014.
Mengacu pada valuasi JICT yang dilakukan DB juga, Pelindo II dan HPH menandatangani kontrak perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja pada tanggal 5 Agustus 2014. Perpanjangan konsesi berlaku hingga tahun 2039. Dalam  kontrak perpanjangan konsesi JICT itu disebutkan, up front fee yang sebesar US $215 juta untuk imbal saham 49%, sedangkan saat privatisasi 1999 HPH membeli JICT dengan imbal saham 51% senilai US $243 juta. Padahal, jika dilihat dari kapasitas terminal sudah meningkat dua kali lipat (dari 1,4 juta TEUs di tahun 1999 menjadi 2,8 juta TEUS di tahun 2014).
Terminal Petikemas  Koja (TPK Koja) jauh lebih murah lagi. Ketika tahun 2010 Humpuss melepas saham TPK Koja ke HPH disebut-sebut nilainya US $140 juta, dalam amandemen konsesi 2014 nilainya ambrol menjadi hanya US $50 juta .
Ada apa dengan nilai up front fee yang begitu murah? Sedangkan kapasitas terminal petikemas yang sudah meningkat dua kali lipat, alat dan infrastruktur lainnya serta kemampuan SDM yang juga bisa dibilang expert dalam mengelola terminal petikemas .
Lagi-lagi muncul sinyalemen hal ini terkait dengan desakan kebutuhan Pelindo II Â untuk segera memperoleh dana yang besar untuk membangun proyek-proyek yang digagas RJ Lino. Ada kesan perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja memang harus dilakukan agar Pelindo II bisa memperoleh dana pinjaman yang lebih besar.
Ironisnya, penandantanganan amandemen konsesi tersebut sama sekali tidak melibatkan pemerintah. Kementerian Perhubungan sebagai regulator yang merupakan pemilik hak pemberi konsesi pelabuhan tidak dilibatkan. Begitu juga Kementerian BUMN yang menyatakan perpanjangan konsesi bisa dilakukan dengan syarat mematuhi Surat Kementerian Perhubungan tentang ijin konsesi.
Tahun 2015 Pelindo II bisa menarik global bond senilai USD 1,6 miliar. Secara logika, rasanya memang sulit dipahmi ada investor yang berani menggelontorkan pinjaman sebesar itu kepada Pelindo II yang sebelumnya memiliki pinjaman offshore yang besar (US $500 juta). Rupanya dana global bond itu digunakan untuk menutup pinjaman offshore tersebut.
Dalam hal ini, penjualan dua terminal petikemas (JICT dan TPK Koja ) yang terkesan obral serta pinjaman komersial global bond dengan rate bunga 4,5% bisa dianggap sebagai kerugian ganda bagi Pelindo II. Betapa tidak, Pelindo II harus menangungg beban bunga setahun yang mencapai Rp 1 Triliun, sementara investasi yang sudah dilakukan Pelindo II pun diduga menyisakan masalah.
Jadi, kalau kemarin Pelindo II beriklan di Kompas sampai menghabiskan miliaran rupiah, ada baiknya kita lihat bagaimana proses awal investasi Pelindo II membangun terminal ini. Diketahui, anggaran Proyek Kalibaru tahap I awalnya dengan design konstruksi reklamasi yang diperkirakan hanya menghabiskan Rp 5-6 Triliun. Namun anggaran menjadi membengkak setelah perubahan konstruksi menjadi deck on pile. Konsekuensinya terjadi perubahan anggaran yang diperkirakan menjadi dua kali lipat. Bukan hanya itu, persoalan akses jalan darat dari terminal petikemas ini sampai sekarang masih menghadapi masalah pelik dengan warga Kalibaru terkait masalah pembebasan lahan. Terminal selesai, akses ke jalan raya seperti apa?
Berbeda dengan Terminal Teluk Lamong yang 100% sahamnya dikuasai Pelindo III sehingga dibangun dan dioperasikan sendiri, saham Pelindo II di Terminal Kalibaru hanya 51%, sisanya investor asing.  Inilah yang kemudian memunculkan kritikan dari para pengamat maritim, kenapa Pelindo II ‘memaksa’ pemerintah mengeluarkan Perpres 36/2012 yang jelas-jelas mengamanatkan Pelindo II untuk membangun dan mengoperasikan sendiri terminal, namun pada kenyataannya separuh saham terminal itu dikuasai asing.