Tentang kehilangan market yang dikhawatirkan Lino, itu pun mengada-ada. Karena Tanjung Priok adalah pelabuhan destinasi. Indonesia adalah pasar bagi produk-produk dunia. Begitu juga dengan kegiatan ekspor ke pelabuhan tujuan di luar negeri. Sebelum JICT diprivatisasi tahun 1999 karena faktor krisis ekonomi, ekspor impor tetap berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi bukan karena faktor Hutchison Port Holdings (HPH) yang merupakan operator sejumlah pelabuhan dunia.
Tentang pemasukan 120 juta dolar Amerika setiap tahun yang akan diperoleh Pelindo II dari perpanjangan konsesi, RJ Lino seolah berhalusinasi. Betapa tidak, kalaupun konsesi tidak diperpanjang, Pelindo II tetap akan mendapatkan pemasukan tersebut. Pasalnya, 120 juta dolar itu memang berasal dari pendapatan JICT dan TPK Koja, sama sekali bukan dari HPH.
Malah justru kalau konsesi diperpanjang, Pelindo II masih harus berbagi keuntungan dengan HPH. Dalam privatisasi jilid II, HPH menyetor 215 juta dolar dan mendapat saham 49% JICT. Begitu juga dengan TPK Koja, HPH setor 50 juta dolar dan mendapat saham 49%. Dengan total investasi sebesar 265 juta dolar, HPH mendapat deviden selama masa konsesi 20 tahun.
Pendapatan yang dibangga-banggakan RJ Lino dari konsesi sebesar 120 juta dolar itulah yang disebut-sebut sebagai praktik bisnis Abu Nawas. Seolah-olah saja Pelindo II peroleh keuntungan pendapatan 120jt dolar/tahun dari perpanjangan konsesi. Padahal, duit itu berasal dari kantongnya sendiri, bukan duit investasi dari HPH.
Serikat Pekerja PT JICT sendiri sudah menantang Lino untuk buka-bukaan menghitung untung rugi perpanjangan konsesi. Dalam hitungan SP JICT, potensi kerugian negara triliunan rupiah akan terjadi jika Pelindo II tetap ngotot perpanjang konsesi.
Tidak hanya itu, sekalipun Kementerian Perhubungan menyemprit karena langgar UU Pelayaran, Lino jalan terus. Setelah didesak kanan-kiri, barulah Lino janji mau urus ijin konsesi. Bagaimana ceritanya, privatisasi sudah ditandatangani, ijin konsesi sebagai syarat privatisasi baru mau diurus ke Kementerian.
Tapi ya itulah RJ Lino. Sosok Dirut BUMN paling kontroversial saat ini. Alih-alih menghormati proses hukum yang dilakukan Bareskrim malah terkesan menantang aparat penegak hukum. Jika dia merasa benar, harusnya dia bersyukur karena aparat hukum telah membantunya menemukan pelanggaran hukum yang mungkin saja dilakukan tanpa sepengetahuannya.
Atau mungkin selama ini RJ Lino tahu di kantornya banyak persoalan hukum, namun dengan keyakinan mendapat back up dari penguasa, salah satunya Wapres JK, Lino merasa aman-aman saja. Sikap reaktif terhadap petugas Bareskrim karena mungkin Lino tidak menyangka kalau akhirnya dia tersentuh perkara hukum juga.Â
Penggeledahan yang dipimpin langsung Kabareskrim Budi Waseso (Buwas) membuat Lino ketar-ketir. Apalagi belakanan diketahui dari hasil audit yang pernah dilakukan, pengadaan 10 mobile crane itu memang bermasalah. Toh hari-hari belakangan ini Lino terus sesumbar meyakinkan anak buahnya bahwa dia tidak akan tersangkut karena sudah di-back up Wapres JK. Transkrip rekaman 'pembekalan' para GM Pelindo II, Rabu kemarin jelas menunjukan keyakinan itu. Apalagi ditambah isu pencopotan Komjen Budi Waseso dari jabatannya sebagai Kabareskrim karena geledah ruang kerja Lino.
Sebegitu kuatkah seorang RJ Lino sampai pemerintah seolah tak berdaya sekalipun indikasi-indikasi pelanggaran sudah terpampang jelas dari mulai praktik bisnis model Abu Nawas sampai kemarin digerebek Buwas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H