Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Stop, Berpikir Parsial tentang Konsesi JICT!

24 Agustus 2015   17:05 Diperbarui: 24 Agustus 2015   17:05 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Konferensi Pers Serikat Pekerja JICT Menolak Perpanjangan Konsesi (foto: beritasatucom)"][/caption]

Tak sedikit yang gagal paham menyikapi perpanjangan konsesi JICT. Komite Pengawas (Oversight Committee) yang diusulkan pemerintah untuk mengawasi perpanjangan konsesi JICT pun diduga termasuk yang gagal paham. Karena seharusnya OC berpikir obyektif dan mempelajari rekam jejak Pelindo II sejak pergantian direksi tahun 2009.

Meski bernama 'Komite Pengawas Perpanjangan Konsesi JICT' tentu tidak keliru jika OC juga menyajikan opsi: pasca privatisasi kepemilikan 100% saham JICT oleh Pelindo II. Ini kalau berbicara masalah kepentingan bangsa dan negara. Waktu 20 tahun privatisasi cukup untuk proses belajar mengelola terminal petikemas.

Selama ini kita menduga ada semacam sesat logika OC perihal perpanjangan konsesi JICT. OC beralasan perpanjangan konsesi JICT demi menjamin kepastian investasi asing. Di sini OC lupa bahwa keputusan untuk tidak memperpanjang konsesi bukan karena pemerintah melakukan 'buy back' tapi karena konsesi privatisasi memang sudah berakhir.

Lain ceritanya jika pemerintah melakukan 'buy back' sblm konsesi privatisasi berakhir, investor asing wajar menanyakan kepastian investasi. Meski sah dilakukan, 'buy back' jelas bukan opsi menyenangkan bagi investor.

Bahwa ada opsi perpanjangan konsesi tentu bukan demi kepastian investasi, tapi aspek kondisional, semisal putra-putri bangsa belum mampu mengelola terminal petikemas sendiri. Jika tidak diperpanjang, produktivitas terminal petikemas akan menurun. Sudah jelas, Serikat Pekerja JICT berani menantang debat untuk hitung-hitungan potensi kerugian negara yang akan muncul jika konsesi diperpanjang. Ini seharusnya sudah dipikirkan OC lebih dulu.

Kita menduga, jawaban-jawaban OC yang terkesan pembenaran terhadap langkah Pelindo II dalam perpanjangan konsesi JICT karena komite tersebut berpikir parsial, tidak komprehensif A to Z mempelajari rekam jejak Pelindo II sampai kemudian munculnya gagasan perpanjangan konsesi tersebut.

Itu dari satu sisi. Sisi lainnya, aturan main tentang konsesi yang tidak dipatuhi Pelindo II harusnya juga menjadi pertimbangan lain bahwa perpanjangan konsesi JICT memang bermasalah dari aspek regulasi. Jangan berpikir debatable tentang sebuah aturan. Taati dan patuhi saja. Sami'na wa atho'na.

Pemikiran untuk memperdebatkan aturan hukum yang sudah jelas mengaturnya bisa dibaca sebagai sikap ketidakpatuhan terhadap hukum. Apalagi sampai muncul pemikiran untuk mendesak pemerintah menerbitkan Perpu pengganti UU Pelayaran.

Pertanyaan kita, aturan mana yang digunakan Pelindo II melakukan pembangunan Pelabuhan Sorong yang jelas2 berada di dalam area Pelindo IV? Jika dasarnya adalah UU Pelayaran dan PP Kepelabuhanan maka dalam perpanjangan konsesi JICT juga harus mengacu pada UU Pelayaran. Jangan parsial, tapi harus total patuh pada regulasi tersebut.

Rasanya tak perlu minta fatwa Jamdatun, tak perlu melakukan judicial review, tak perlu repot-repot desak pemerintah terbitkan Perpu yang salah satu syaratnya kondisi dlm keadaan genting. Segenting apakah kondisi Pelindo II jika konsesi JICT tidak diperpanjang?

Atau mungkin bisa jadi benar jika saat ini Pelindo II sedang dalam kondisi genting. Indikatornya barangkali bisa dibaca dari surat Dewan Komisaris Pelindo II kepada Menteri BUMN perihal Tanggapan Dekom terhadap Laporan Manajemen Pelindo II semester 1, tanggal 14 Agustus 2015 lalu.

Dalam suratnya, secara khusus Dekom menyoroti global bond yang diperoleh Pelindo II sebesar US $1,6M. Perolehan global bond berdampak terhada rasio utang terhadap modal (DER) Pelindo II pada ambang mengkhawatirkan, mencapai 2,06.

Dengan DER seperti itu, jika listing di bursa saham, besar kemungkinan pialang saham tidak bakal meminati karena resiko2 yang harus ditanggung dari besaran utang yang meski mengurangi pajak tapi menggerus laba. Barangkali juga jika terjadi di perusahaan swasta bisa delisting dari bursa karena dianggap memiliki resiko kebangkrutan yang tinggi.

Dekom jg menyayangkan penggunaan global bond yang ternyata sebagian atau sebesar Rp 6,701T digunakan untuk membayar utang kepada Deutchse Bank. Entah kebetulan atau tidak,selain sebagai pemberi kredit kepada Pelindo II, Deutchse Bank juga ditugaskan Direksi Pelindo II memvaluasi JICT. Dari valuasi inilah, hitung-hitungan up front fee HPH muncul dengan saham sebesar 49%. Berbeda dengan valuasi yang dilakukan FRI, konsultan indepen Dewan Komisaris Pelindo II, yang memvaluasi JICT dan menyatakan up front fee US $215juta dollar itu ‘Cuma’ 25% saham, bukan 49% saham HPH di JICT.

Pertanyaannya, apakah dibenarkan Deutchse Bank sebagai pemberi kredit kepada Pelindo II sekaligus berperan sebagai konsultan untuk valuasi JICT?

Dalam laporan kepada Menteri BUMN, Dewan Komisaris juga seolah menegur Direksi Pelindo II yang seharusnya memanfaatkan global bond untuk investasi produktif, namun kenyataannya untuk membayar utang. Sedangkan sisanya masih sebagai idle cash, sementara pada saat yang bersamaan bunga global bond terus berjalan.

Alhasil, jika membandingkan laporan Dekom dgn rekam jejak Pelindo II selama 6 tahun terakhir seperti: investasi alat yang menguras kas perusahaan, pinjaman KMK yang kemudian ditutup pinjaman dari Deutchse Bank dan selanjutnya ditutup lagi menggunakan dana global bond, spesifikasi alat yang diduga berkualitas rendah dan konon katanya mangkrak, serta kebijakan2 lain yang dianggap tidak prudent, pada akhirnya sampai pada kesimpulan: Pelindo II saat ini dan ke depan membutuhkan sumber dana untuk membayar semua kewajiban2 utang pokok dan bunga global bond tersebut.

Karena kalau mau jujur membaca laporan keuangan Pelindo II yang sudah diaudit, dgn laba rata2 Rp 2T dan kndisi cabang2 yang masih perlu ditingkatkan produktivitasnya, sulit diharapkan sbg cadangan dana pembayaran utang tsb. Apalagi jatuh tempo utang US $1,1M tahun 2025 alias kurang dari 10 tahun lagi!

Maka yang dimungkinkan adalah perpanjangan konsesi JICT di mana dari perpanjangan konsesi itu ada ‘hak’ Pelindo II memperoleh rental cost sebesar US $120jt. Diduga dana inilah yang digunakan untuk cadangan pembayaran utang. Karena kalau hitung2an arus bongkar muat di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat, pengoperasian terminal Kalibaru pun diperkirakan belum akan mampu mendongkrak pendapatan Pelindo II.

Maka  dgn alasan2 itulah barangkali Pelindo II tetap ngotot perpanjang konsesi JICT, meskipun ada yang menuding sebagai praktik bisnis Abu Nawas. Pun, kajian Serikat Pekerja JICT yang menilai hal tsb berpotensi merugikan keuangan negara dan dianggap cacat hukum.

Karena itu, tentu saja bagi yang membaca perpanjangan konsesi JICT secara parsial, tidak akan bisa memahani alasan SPJICT melakukan penolakan perpanjangan konsesi seperti di atas. Yang dilihat hanya Pelindo II memperoleh rental cost US $120 juta dari JICT dan TPK Koja. Tidak ingat bahwa jika tidak konsesi diperpanjang dan JICT TPK Koja kembali ke Pelindo II di tahun 2019, negara diuntungkan puluhan triliun rupiah!. Jika diperpanjang, seperti hitung-hitungan SPJICT, potensi kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah. Ini yang seharusnya dipahami secara benar agar tidak gagal paham.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun