5. Yang juga mengherankan adalah Lino begitu saja mengabaikan peraturan perundangan yang ada. Proses perpanjangan konsesi itu dilakukan tanpa persetujuan Menteri Perhubungan yang berarti merupakan pelanggaran UU 2008 tentang Pelayaran. (Dalam hal ini, dengan merujuk UU Pelayaran, Pelindo II pada dasarnya adalah operator sementara pihak yang berhak memberikan konsesi atau perpanjangannya adalah Kementerian Perhubungan)
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sudah menyatakan perpanjangan konsesi tersebut harus mendapat persetujuan Kementeriannya. Melalui suratnya (AL 107/1/5 Phb 2015) Menhub bahkan sudah menyatakan agar Menteri BUMN sebaiknya TIDAK MEMPERPANJANG KERJASAMA PIHAK KETIGA untuk ‘potensi negara dan kemandirian nasional’. Namun, Lino mengabaikan begitu saja kewajiban meminta persetujuan dari Menhub. Kepada tempo.co (02/07/2015), Lino menyatakan: “Kontrak JICT bukan urusan Menhub!”.
6. Lino menyatakan ia memang sudah meminta persetujuan dari Menteri BUMN. Rini Soemarno memang sudah mengeluarkan surat yang menyatakan ia pada prinsipnya menyetujui perpanjangan konsesi. Tapi dalam surat yang sama, Rini meminta Pelindo II memperhatikan aspek hukum terkait pemisahan fungsi operator dan regulator sesuai UU No 17 2008. Dengan kata lain, menteri BUMN ingin mengingatkan bahwa Pelindo II tidak dapat begitu saja melakukan perpanjangan konsesi tanpa persetujuan pihak regulator, yaitu Kementerian Perhubungan. Dengan kata lain, Menteri BUMN sebenarnya menyatakan menyetujui perpanjangan konsesi, selama syarat-syaratnya dipenuhi. Sangat mengherankan bahwa Lino mengklaim bahwa ia sudah mendapat persetujuan Menteri BUMN.
7. Lino berkilah ia sudah meminta opini Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara yang menyatakan konsesi ke HPH memang tidak perlu tunduk pada UU Pelayaran 2009, mengingat keputusan itu dilakukan pada 1999 jauh hari sebelum UU dikeluarkan. (Pada 1999, Pelindo memang berperan sekaligus sebagai regulator dan operator pelabuhan. Tapi ini berubah sejak dikeluarkannya UU Pelayaran tahun 2008, di mana Pelindo hanya menjadi operator pelabuhan). Pertanyaannya, opini Kejaksaan itu mungkin bisa diterapkan pada kasus pemberian konsesi pada 1999, namun apakah pemberian konsesi pada 2019 (atau 2014) juga tidak perlu tunduk pada UU Pelayaran 2009? Selain itu apakah OPINI JAKSA MUDA AGUNG PERDATA TUN cukup kuat digunakan sebagai rujukan berhadapan dengan ketentuan UU?
8. Lino juga mengabaikan begitu saja rekomendasi Oversight Committee (Erry Riyana, Faisal Basri, Li Chen Wei, Natalie Soebagio, Fikri Assegaf) yang dibentuk Pelindo II bahwa perpanjangan konsesi sebaiknya dilakukan dengan tender terbuka, agar tercapai harga optimal dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional. Lino tidak melakukan tender terbuka melainkan begitu saja memutuskan perpanjangan konsesi dengan HPH, dengan harga murah.
9. Lino juga mengabaikan begitu saja penilaian Direktur BPKP Bambang Utoyo yang menyatakan bahwa proses perpanjangan JICT harus dilakukan dengan tender terbuka untuk menghindari post bidder claim yang melekat pada peserta tender di awal tahun 1999. Penilaian BPKP ini diabaikan Lino begitu saja.
Dengan latar belakang itulah, SP JICT akan terus menggugat keputusan Lino. SP tidak ingin aset bangsa yang sangat menguntungkan ini dipindahtangankan begitu saja untuk kepentingan asing, apalagi tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Idealnya dalam pandangan SP, JICT dikelola sepenuhnya oleh anak bangsa dengan cara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Namun kalaupun keterlibatan modal asing masih diperlukan, itu seharusnya tetap dalam skema yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia dan tetap dengan tunduk pada aturan hukum yang ada di Indonesia.
Masalahnya, alih-alih menghadapi gugatan SP ini dengan cara yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya, manajemen Pelindo II malah melakukan tindak balasan dengan beragam bentuk intimidasi, perubahan struktur, ancaman dan pemecatan. Di Koran Tempo (09/08/2014), Lino menyatakan” “Penolak Hutchison Musuh Negara”.
Berlangsungnya pemogokan total JICT 28 Juli lalu terjadi semata-mata karena SP menolak dipecatnya dua karyawan yang tidak didasarkan alasan professional dan masuk di akal.
Dengan kata lain, gerakan SP JICT ini bukanlah didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok atau ideologi anti-asing atau pasar bebas. Yang diperjuangkan adalah pemanfaatan asset bangsa sebesar JICT untuk kepentingan bangsa sebasar-besarnya dengan cara yang mengikuti prosedur hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.