Mohon tunggu...
Humaniora

Potensi Disintegrasi Nasional

27 September 2015   12:10 Diperbarui: 27 September 2015   12:42 4289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Potensi Disintegrasi Nasional

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan memiliki keanekaragaman suku, agama, ras, budaya, dan etnis. Istilah Bhinneka tunggal Ika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Keberagaman hal ini menyebabkan bangsa Indonesia kaya akan kultur budaya sekaligus kaya akan potensi konflik yang menyertai setiap perbedaan itu jika tidak diperkuat dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang dalam kondisi sedang mengalami krisis persatuan dan kesatuan.

Cikal bakalnya sudah nampak dengan seringnya muncul di media masa beberapa golongan bahkan individu-individu yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan umum ataupun kepentingan masyarakat luas, sehingga krisis berkurang dan hilangnya persatuan dan kesatuan ini dapat berakibat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disintegrasi bermakna hilangnya keutuhan atau persatuan. 

Sejak pertengahan 1997 terjadi krisis moneter yang disertai krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang berlangsung membawa implikasi ganda bersifat positif maupun negatif bagi masa depan politik Indonesia. Aspek positif dari krisis tersebut adalah timbulnya gelombang tuntutan reformasi total khususnya di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah memberikan kesempatan emas bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih sehat, adil, dan demokratis. 

Pun demikian di tengah euforia politik saat ini masih terdapat gejolak politik di antara mereka yang pro pemerintah dan yang anti pemerintah, diharapkan transisi menuju demokrasi ini akan dapat dilalui secara damai seperti yang dicita-citakan sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tampaknya tidak menginginkan terulangnya kembali lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke demokrasi, anarki politik dan kembali ke tirani lagi, seperti yang terjadi pada proses pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. 

Masalah disintegrasi politik akhir-akhir ini menjadi perhatian sekaligus sumber kekhawatiran yang luas, baik di kalangan masyarakat, intelektual, maupun kalangan pemerintah. Kekhawatiran itu tidak hanya bersumber dari tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat, tetapi juga lantaran maraknya kerusuhan sosial di beberapa kota besar dan kecil selama akhir-akhir ini. 

Konsep integrasi biasanya menunjuk pada upaya penyatuan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda secara sosial, budaya, maupun politik ke dalam satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional. Dalam hal ini integrasi dipandang sebagai usaha meniadakan kesetiaan-kesetiaan picik dan ikatan-ikatan sempit dalam rangka membangun kesetiaan dan ikatan yang lebih luas ke arah pembentukan identitas sosio-kultural dan politik yang bersifat nasional. Selain itu, istilah integrasi sering juga dipergunakan untuk menunjuk pada upaya membangun suatu otoritas atau kewenangan nasional; penyatuan pemerintah dengan yang diperintah; konsensus tentang nilai-nilai kolektif; dan soal kesadaran setiap anggota masyarakat untuk memperkokoh ikatan di antara mereka. 

Nasionalisme yang melambangkan jati diri bangsa Indonesisa yang selama ini demikian kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini.

Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu diumbar, merupakan salah satu sebab ancaman disintegrasi bangsa, di samping instabilitas yang diakibatkan oleh para pelaku politik yang tidak lagi bersikap netral. 

Meskipun barangkali filosof politik klasik Aristoteles dianggap usang, namun bila dlihat dalam konteks masa kini, orientasinya tetap bisa dijadikan sebagai acuan. Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya disintegrasi bangsa.

Maka menyikapi berbagai kasus dan tuntutan yang mengemuka dari berbagai daerah sudah barang tentu diperlukan konsekuensi politik dan legitimasi bukan janji-janji sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan. 

Legitimasi diperlukan tidak saja untuk menjaga stabilitas tetapi juga menjamin adanya perubahan nyata dan konkret yang dapat dirahasiakan langsung oleh warga terhadap tuntutan dan keinginan mereka. Namun, bagaimanapun juga kita tetap mesti berupaya agar tuntutan terhadap pemisahan dari kesatuan RI dapat diurungkan. Dalam hal ini diperlukan kejernihan pikiran, kelapangan dada dan kerendahan hati untuk merenungkan kembali makna kesatuan dan persatuan, sekaligus menyikapi secara arif dan bijak terhadap berbagai kasus dari tuntutan berbagai daerah.

Potensi konflik dan disintegrasi berakar pula pada kecenderungan elite politik di hampir semua tingkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik, terutama elite birokrasi negara (sipil maupun militer), memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai “kepentingan nasional” serta menyalahgunakan otoritas negara untuk melindungi dan mempertahankan vested interest semacam itu. Fenomena manipulasi itulah tampaknya yang lebih relevan dalam melihat berbagai kasus empirik yang berkaitan dengan soal integrasi dalam periode Orde Baru dan pasca Orde Baru dewasa ini. Karena itu pula, disintegrasi bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia jika para elite politik terus menerus melakukan manipulasi atas aspirasi, isu, dan realitas kultural masyarakat, terutama di tingkat lokal.

Misalnya kasus-kasus kerusuhan Ambon (yang merupakan “kelanjutan” dari kerusuhan Ketapang dan Kupang), mencerminkan dengan jelas bahwa masalah integrasi yang tengah dihadapi Indonesia tidak semata-mata integrasi yang bersifat vertikal, melainkan juga integrasi horizontal. Akibat manipulasi terus-menerus yang dilakukan oleh negara, kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkembang menjadi kerusuhan berbau rasial (anti Cina). Di Ambon dan Maluku pada umumnya, konflik dipertajam oleh isu yang lebih sensitif lagi, yaitu agama Islam dan agama Kristen yang tumpang tindih dengan soal kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk asli dan para pendatang. Sementara di Sambas, Kalimantan Barat, konflik etnis Madura dengan Melayu serta Dayak tumpang tindih dengan soal kesenjangan sosial ekonomi diantara kedua kelompok etnik tersebut. 

Pembelahan masyarakat secara kultural adalah realitas obyektif bangsa Indonesia yang tidak mungkin ditiadakan. Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-sekat primordial itulah yang selalu diupayakan selama sekitar 30 tahun Orde Baru melalui berbagai kebijakan yang sangat sentralistik, seragam, dan memarjinalkan kontribusi faktor lokal. Oleh karena itu, integrasi dan stabilitas yang dicapai oleh rezim Orde Baru sesungguhnya adalah integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme. Akibatnya, ketika negara tak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan otoritarianisme politik, maka harmoni dan integrasi semu Orde Baru secara berangsur-angsur runtuh pula. 

Indonesia akan disintegrasi atau tidak pasti akan menimbulkan pro dan kontra yang disebabkan dari sudut pandang mana yang digunakan. Reformasi sudah berjalan bertahun-tahun, apa yang telah didapat, bahkan rakyat kecil sudah mulai menilai bahwa kehidupan di masa Orde Baru lebih baik bila dibandingkan dengan saat ini. Pandapat rakyat tersebut terjadi karena hanya dilihat dari sudut pandang harga kebutuhan pokok sehari-hari dan itu tidak salah karena hanya satu hal tersebut yang ada dibenak mereka. Kemudian ada kelompok masyarakat yang selalu menuntut kebebasan, dan oleh kelompok yang lain dikatakan sudah kebablasan. Kemudian timbul kembali pertanyaan apa itu reformasi? Yang jelas bangsa Indonesia semua menginginkan kehidupan yang lebih baik melalui reformasi setelah hidup di era Orde Baru. 

Dengan demikian bangsa ini sudah mendekati disintegrasi kalau tidak memiliki pegangan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh bangsa dan negara ini dalam upaya untuk bangkit kembali, yaitu :

  1. Pancasila dan UUD 1945 harus digemakan lagi sampai ke rakyat yang paling bawah, dalam rangka pemahaman dan penghayatan.
  2. GBHN yang pernah ada yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam membangun bangsa dan negara perlu dihidupkan kembali.
  3. Para tokoh dan elit bangsa harus dapat memberi contoh dan menjadi contoh bagi rakyat, jangan selalu bertengkar dan saling mencaci maki hanya untuk kepentingan kelompok atau partai politiknya.
  4. Budaya bangsa yang adi luhur hendaknya diangkat untuk diingat dan dilaksanakan oleh bangsa ini yaitu budaya saling hormat menghormati.
  5. Hubungan baik antar aparat harus segera dibangun dengan tahapan yang jelas yang ditentukan oleh DPR. Jangan ada lagi curiga atau mencurigai antar unsur bangsa ini karena keselamatan bangsa dan negara sudah terancam. 

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa Disintegrasi memiliki makna yang hampir sama dengan kata separatism, tapi separatisme lebih ditujukan kepada gerakan pemberontakan suatu wilayah untuk melepaskan diri dari kesatuan sebuah Negara. Disintegrasi harus dicegah mulai dari sekarang, misalnya dengan dimulai dari diri sendiri, melakukan penanganan yang cepat atas potensi disintegrasi, tetapi tidak gegabah dan bersikap adil.

 

Penulis: Asep Marsel Suherman

Siswa Sespimmen Polri Lembang, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun