Prologue
Terdapat satu kisah menarik antara seorang anak berusia delapan tahun dengan kedua orangtuanya. Sebut saja nama anak tersebut adalah budi, si anak memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk belajar disekolah. Berkat keseriusan dan ketekunannya ia diterima di salah satu sekolah milik negara, sehingga budi dibebaskan dari biaya pendidikan. Beruntung karena sekolah tempat budi belajar merupakan salah satu sekolah unggulan dari sekolah-sekolah milik pemerintah lainnya. Dengan demikian budi mendapatkan fasilitas yang baik untuk menunjang curiositas belajarnya yang begitu tinggi.
Namun, sepulangnya budi dari sekolah ia tidak dapat istirahat untuk sekedar merenggangkan otaknya yang setengah hari sudah ditegangkan. Budi harus segera berganti kostum untuk mencari uang, karena sang ayah hanyalah buruh kasar yang tidak memiliki keahlian khusus. Sehingga dengan kenyataan tersebut dapat dibilang kehidupan keluarga budi sangat jauh dari kesejahteraan bahkan kenyamanan.
Semua uang yang terkumpul digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan jika ada sisa maka akan digunakan untuk keperluan sekolah seperti alat tulis, buku, seragam sekolah dan lain sebagainya, namun itupun jika tersampaikan. Tidak pernah terpikirkan oleh orang tua budi untuk memasukan budi dilembaga-lembaga kursus di luar jam sekolah untuk menunjang kebutuhan pengetahuannya budi. Orang tua budi hanya terpikir pada sekolah budi yang katanya gratis tetapi hal-hal lain yang berhubungan dengan pendidikannya tidak gratis. Bagi orang tua budi, sekolah hanyalah kegiatan positif yang harus dilewati oleh anaknya dari pada ia melakukan hal-hal yang tidak jelas dan ketika sudah besar nanti dapat bekerja dan menghasilkan uang banyak.
Sungguh ironis dan begitu dilematis, disatu sisi mereka harus memenuhi kebutuhan primer keluarganya namun disisi lain sekolah tidak dapat ditinggalkan. Sehingga meniggalkan beberapa pertanyaan-pertanya-an, apakah dengan adanya sekolah gratis anak-anak seperti budi akan terus melanjutkan sekolahnya hingga keperguruan tinggi atau hanya akan sampai disembilan tahun wajib belajar saja yang diselenggarakan oleh pemerintah? Bukankah faktor ekonomi lebih mendesak dari pada sekolah gratis?
Perbaikan Pendidikan atau Perbaikan Ekonomi
Dalam kerangka waktu, wacana pendidikan semakin melaju dan meluas hingga tidak mengkrucut pada satu tujuan yang tunggal. Aneka model pendidikan diapresiasikan untuk membuktikan bahwa aktor-aktor pendidikan bangsa tidak pernah berhenti untuk selalu melakukan inovasi dalam dunia pendidikan dan menjadikan pendidikan lebih berkarakter atau berciri-khas, sehingga output yang dihasilkan benar-benar dapat diandalkan ketika telah terjun ke dunia pragmatis nantinya. Inilah hal yang disebut-sebut sebagai dampak logis dari mewabahnya output pendidikan tinggi yang kekurangan aktifitas karena kehabisan ladang untuk digarap.
Baru-baru ini pemerintah menggelar dan menggelegarkan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia di tanah air tercinta ini. Dengan asumsi bahwa jika SDM bangsa kita bagus, maka bangsa pun akan ikut bagus. Kenyataannya, lagi-lagi para penyelenggara SBI tersebut memberlakukan tariff yang tinggi bagi para peserta didik yang akan mengikuti jalur pendidikan tersebut. Walhasil, perjalanan rencana tersebut tersendat-sendat dan hanya berlaku bagi mereka yang berasal dari golongan menengah atas.
Senyatanya, praktik penyelenggaraan pendidikan memang tidak akan pernah lepas dari berbagai unsur yang terkait di dalamnya. Salah satu unsurnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu meliputi guru, staff-staff sekolah, peserta didik dan orang tua. Sebenarnya, kompleksitas problematika dalam penyelenggaraan pendidikan akan menjadi mudah dan sederhana, kalau saja para penggiat pendidikan-terutama mereka yang berada pada jajaran teoritis-mampu mengidentifikasi kurikulum pendidikan dari jati diri bangsa Indonesia. Beberapa asumsi mengatakan bahwa pendidikan hari ini tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas, karena banyak mengadopsi system pendidikan luar, sehingga akhirnya pendidikan nasional Indonesia tidak memiliki karakter sendiri. Untuk itu, jangan heran kalau outputnya pun tidak memiliki karakter yang jelas.
Terlepas dari hal tersebut, aspek sumber daya manusia yang terakhir disebutkan di atas (sesungguhnya) kurang digarap secara mendalam oleh para pembuat kebijakan pendidikan yang tujuannya adalah untuk menyatukan perspesi pembelajaran yang berkelanjutan, tidak hanya sebatas pada Persatuan Orang Tua Murid saja atau komite. Orang tua adalah faktor eksternal sekolah yang berfungsi untuk meng-counter serangkaian budaya non-indigenous yang meninabobokan peserta didik bangsa melalui media audio-visual diluar jam belajar. Dengan tidak adanya koordinasi tersebut, maka terputuslah rantai edukasi antara pihak penyelenggara pendidikan dengan pihak yang berkuasa atas peserta didik yaitu orang tua.
Melalui beberapa kasus yang dimunculkan di pelbagai media, cara berfikir masyarakat masih mengarah pada pelengkapan kanan-kiri-atas-bawah kehidupannya. Hal ini menunjukan bahwa penyelenggaraan sekolah seperti yang terjadi hari ini belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Peningkatan kualitas pendidikan yang berlaku hari ini, senyatanya mengarah pada perbaikan ekonomi suatu masyarakat. Sehingga tak heran, jika hari ini kuantitas pendidikan komersial yang berbasis kemampuan buruh kasar banyak diminati oleh masyarakat. Bukankah hal ini sungguh suatu hal yang menyedihkan untuk sebuah julukan Negara yang sedang berkembang? Dan jika dikembalikan pada awal pembuka tulisan ini, besaran persentase orang-orang seperti budi dan keluarganya, akan semakin menelanjangi kualitas pendidikan di Indonesia, jika tidak segera dicarikan solusinya.
Atas nama, nama saya, saya minta tolong ya pak guru...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H