Genderang perdagangan bebas (baca: globalisme) telah berkumandang dan mengudara beberapa tahun sebelum rencana pemerintah mengenai pasar global tersebut diejawantahkan. Hampir seluruh lapisan masyarakat mengeksplorasikan opininya dari warung kopi hingga pelbagai media yang mendukung untuk publikasi hal tersebut.
Kini, ketika gelombang pasar global tersebut telah terjadi di Negara kita, timbul beberapa fenomena yang menggelitik seluruh pihak terutama pemerintah dan ekonom untuk memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya. Disatu sisi hal ini memberikan gambaran jelas bahwa bangsa Indonesia tengah bergerak menuju suatu level kehidupan yang lebih baik lagi, karena turut serta mencurahkan pemikirannya terhadap pelbagai hal-hal yang dilakukan pemerintah dalam upaya memajukan ekonomi bangsa. Namun disisi lain, dengan terjadinya pasar global tersebut maka menandakan bahwa sistem kapitalisme ekonomi tengah ditegakkan di Negeri tercinta, sehingga meniscayakan pemerintah untuk ikut campur dalam menentukan nilai pasar. Tentu saja hal ini mengakibatkan efek buruk bagi para pelaku pasar, yaitu minimnya pendapatan masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah telah menginformasikan bahwa kekuatan ekspor Negara kita menurun dari target yang diperkirakan, dari 4,4% - 5,0% menjadi 3,3% - 4,0%.[1] Senyatanya, melesetnya perkiraan tersebut bukanlah hal yang baru bagi pemerintah dan bangsa kita, sehingga pada akhirnya masyarakat menjadi terbiasa dengan tekanan kebutuhan hidup yang -luar biasa- dahsyatnya. Dengan demikian, alih-alih untuk mensejahterakan kehidupan bangsa dan membawa bangsa kepada level kehidupan yang lebih baik, tidak lebih hanyalah apologi dari ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kenyataan ekonomi bangsa yang semakin terpuruk.
Entah apakah tingginya biaya pendidikan yang menyebabkan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa kita masih pantas untuk diwacanakan atau tidak? Kenyataan yang sebenarnya telah mengatakan bahwa hingga hari ini masih banyak warga Negara yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Sehingga rendahnya tingkat SDM yang terjadi menjadi konsekuensi logis dari rendahnya kualitas pendidikan individu sebagai warga Negara. Ironisnya, usaha pemerintah untuk membebaskan biaya pendidikan hanya berlaku Sembilan (9) tahun, sehingga kalau di ibaratkan masakan, peserta didik tersebut masih setengah matang. Telor setengah matang mungkin tinggi gizinya, tetapi jika peserta didik setengah matang pengetahuannya, apa kata dunia?
Gambaran dari fenomena tersebut pada akhirnya meniscayakan kepada seluruh lapisan masyarakat-khususnya kalangan ekonomi menengah ke bawah-untuk berfikir dan bekerja lebih keras lagi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat, meskipun terkadang keringat dan tenaga yang keluar tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Sabda alam telah berkumandang bahwa live must go on meski apapun yang terjadi. Dari pernyataan tersebut maka lahirlah berbagai entrepreneur - entrepreneur amatir dari berbagai kelompok lingkungan mikro, tentunya dengan jenis-jenis usaha yang tidak membutuhkan modal besar namun dapat memenuhi (lagi-lagi) kelangsungan hidup. Salah satu bentuknya adalah dengan mengumpulkan dan mendaur-ulang benda-benda yang sudah tidak terpakai.
Sampah-sampah an-organik adalah salah satu benda yang sudah tidak digunakan lagi namun masih dapat didaur-ulang dan kemudian dimanfaatkan lagi. Dengan demikian, pe-rekrut-an sampah-sampah an-organik menjadi alternative terakhir bagi masyarakat, karena tidak memerlukan modal yang besar. Selain itu, pekerjaan ini pun tidak membutuhkan SDM yang tinggi, cukup dengan mental yang besar maka pendapatan pun bisa dipastikan akan lumayan.
Benda-benda yang masih dapat di daur ulang tersebut seperti; kardus-kardus bekas, plastik-plastik bekas botol atau gelas air mineral, kaleng bekas susu atau minuman bersoda, potongan-potongan besi, tembaga, kuningan dan lain sebagainya. Benda-benda tersebut dikumpulkan dalam satu tempat dan ketika sudah berjumlah beberapa kilo atau ton, benda-benda tersebut kemudian dijual kepada tengkulak dengan harga-harga yang telah ditetapkan sesuai dengan bendanya.
Terdapat adagium menarik yang mengatakan bahwa "lebih baik mencari uang yang halal dari pada meminta atau mencuri". Inilah motto kinerja yang dua tahun lalu dijadikan sebagai semboyan oleh sekelompok anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna Unit RW 002 dibilangan Timur Jakarta, tepatnya di kelurahan penggilingan, kecamatan Cakung. Kelompok pemuda yang terdiri dari berbagai disiplin tersebut menuangkan semua ide-ide untuk mengembangkan SDM lingkungannya dengan mendirikan sebuah "Lapak" sebagai tempat untuk mengkoleksi barang-barang bekas yang dikumpulkan oleh anak-anak yang notabene masih di tingkat sekolah menengah serta remaja yang berada di wilayah RW 002.
Para pengurus Karang Taruna beranggapan bahwa dengan diberdayakannya SDM-SDM yang ada di wilayah RW 002 ini, maka secara edukatif mereka (anak-anak dan remaja) akan mendapat wawasan mengenai dunia pekerjaan dan wawasan mengenai pemanfaatan waktu untuk diisi dengan hal-hal positif. Secara ekonomis mereka akan mengerti sistem jual beli (baca: perdagangan) yang berlaku di dunia syariah Islam dan dunia ekonomi konvensional.
Sistem yang diterapkan oleh pengurus karang taruna dalam "lapak" tersebut ialah sistem ekonomi syariah untuk mereka yang beragama Islam, sedangkan untuk mereka yang non-Islam dengan sistem konvensional. Pada sistem ekonomi syariah Islam, maka keuntungan/uang yang diperoleh dari hasil penjualan barang dibagi dua antara pencari barang bekas dengan pengurus yang menjual barang tersebut kepada tengkulak, dengan didasari asas-asas kejujuran tentunya. Dalam konsep muamalah maka hal ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil). Sedangkan pada sistem konvensional, jual beli barang dilakukan seperti biasa yaitu pengurus lapak tersebut langsung membeli barang yang dibawa ke lapak dan memilahnya berdasarkan jenis barangnya.