Mohon tunggu...
Asep Ikhwan
Asep Ikhwan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat sosial enterpreneur yang mengelola yayasan pendidikan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin Yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, Yang tumbuh di tepi danau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudah Siapkah Pendidikan Kita Memasuki Era Society 5.0?

5 November 2022   07:46 Diperbarui: 5 November 2022   07:57 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai teknologi yang lahir dan berkembang di era industri 4.0, akan menghantarkan ke gerbang industri 5.0.  Revolusi Industri 5.0 lebih akrab disebut dengan era society 5.0. Setiap saat, manusia akan terhubung dengan teknologi atau Internet Of Things (IOT) yang serba memudahkan. 

Ketika kita mencoba membayangkan betapa mudahnya kehidupan manusia pada era society 5.0, tentunya itu merupakan hal yang menyenangkan. Namun, kenyataan yang perlu kita pikirkan bersama, yaitu keadaan dan kesiapan kita sebagai sebuah bangsa yang masih berkembang. 

Sudah siapkah kita menjadi bagian dari era society 5.0?. Lantas, hal apa yang menghambat kita menjadi bagian dari era society 5.0?.

Hasil Tes PISA

Tes PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukan Tahun 2015, hasil tes PISA menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 9 terbawah dari 72 negara yang mengikuti tes PISA. Sedangkan pada tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat 6 terbawah dari 79 negara. Artinya pada 2015 dan 2018 berturut-turut Indonesia berada pada peringkat 63 dari 72 negara dan peringkat 73 dari 79 negara.  Tes ini mengukur kemampuan anak-anak berumur 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains serta kemampuan mereka dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, tes ini juga mengukur kesiapan anak-anak Indonesia dalam menghadapi kehidupan di masa depan .

Literasi

Ada satu hal yang mengejutkan tentang literasi  yaitu Lant Pritchett dari Oxford University dari tulisannya  berjudul "The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesia" pada 2016 lalu, bahwa anak Indonesia di Jakarta yang telah sudah kuliah memiliki literasi yang lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SMP dari Yunani atau Denmark. 

Beliau juga menuliskan bahwa, terdapat sebuah kesenjangan kemampuan yang dimiliki anak Indonesia, dan bila gap atau kesenjangan tersebut diukur dalam satuan waktu, kita, negara Indonesia tertinggal selama 128 tahun.

Model pembelajaran yang membosankan karena hanya berupa ceramah, kurang asyik  dan kurang memunculkan motivasi membuat anak-anak tidak tertarik dengan pembelajaran. Pada akhirnya, pendidikan seolah menjadi penjajah bagi anak-anak Indonesia. Jadi bukan sekedar data dan sudah menjadi fakta, bahwa rentetan masalah tersebut jadi penghalang menciptakan generasi emas di era society 5.0.

Hari ini pemerintah melalui Kemendikbudristek telah mencanangkan program Kurikulum Merdeka dengan konsep merdeka belajar , kampus merdeka dengan diiringi program sekolah penggerak dan guru penggerak. Apakah perubahan kurikulum tersebut menyentuh akar permasalahan pendidikan kita yaitu kemampuan membaca, matematika dan sains serta literasi? kita kembali disibukan dengan banyak istilah baru dan kekinian. Guru-guru disibukan dengan pelatihan-pelatihan daring tentang guru penggerak dan kurikulum merdeka. Apakah hasilnya bisa menyelesaikan masalah fundamental kita.

Ada beberapa faktor yang harus dikaji, berapa persen dari guru kita memiliki kemampuan literasi digital apalagi kita akan memasuki eras sekolah digital? Berapa persen dari guru kita memiliki kemampuan untuk menulis misalnya menulis artikel sederhana ? Berapa persen dari guru kita memiliki kebiasaan membaca setiap hari? Berapa persen guru kita meluangkan waktu untuk melatih kemampuan presentasi atau public speakingnya sehingga gaya bicara dan gaya bertuturnya menarik bagi siswa untuk dicerna dan diikuti? Berapa persen dari guru kita minimal mengadakan riset kecil-kecilan mengenai tindakan kelas?  inilah beberapa pertanyaan yang sering muncul agar kita benar - benar siap memasuki era society 5.0, yaitu learning society, masyarakat pembelajar.

Peran pihak swasta sebagai katalisator

Pihak swasta mampu bergerak dan melakukan perubahan dengan cepat. Kita melihat bagaimana secara ajaib tiba-tiba hanya dengan mengklik sebuah aplikasi tiba-tiba ojek motor sudah ada didepan kita, tiba-tiba ada mobil plat hitam ada didepan kita, cukup dengan aplikasi Gojek atau Grab. Aplikasi yang tiba-tiba mendisrupsi ojek pangkalan dan taksi. Mengubah cara berfikir dan bertindak kita dalam memanfaatkan jasa transportasi.

Pada  dunia Pendidikan, Indonesia punya Ruang Guru, Quipper, Zenius, Pahamify, dan Rumah Belajar. Hal yang menjadi tenaga utama dari pihak swasta diantaranya adalah peran pemuda, yang tidak habis dengan ide kreatif, semangat berinovasi, dan pemikiran-pemikiran yang solutif.

Pada akhirnya Judul artikel ini akan kembali kepada diri kita sendiri, sudah siapkah kita memasuki era society 5.0? sedangkan di era industri 4.0 kita masih gagap dan tertegun dengan berbagai aplikasi dan teknologi yang berkembang sangat cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun