Di antaranya adalah keterangan tertulis dari Dr. Osmina dari RSPI yang menyatakan bahwa TPW telah menyalahgunakan surat rujukan yang dia keluarkan. Surat yang harusnya digunakan untuk mengurus klaim asuransi MAK, justru digunakan TPW sebagai bukti adanya kasus kekerasan seksual terhadap MAK.
Celakanya, surat keterangan RSPI tersebut dijadikan dasar oleh majelis Hakim untuk memvonis 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan pidana penjara 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Padahal sejak awal bukti medis adanya kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap.
Yang miris, ada salah satu bukti berupa surat keterangan dari sebuah rumah sakit di daerah Bekasi yang memberatkan tuduhan terhadap para tersangka. Namun belakangan, setelah ditelisik lebih jauh dan dikonfrontir kembali, surat tersebut dicurigai palsu karena tak diakui oleh Rumah Sakit Amanda, tempat dimana surat keterangan itu dikeluarkan oleh seorang oknum Dokternya.
Kejanggalan besar dari bukti-bukti itu, tentu tak layak sedkitpun untuk dijadikan acuan keputusan dalam hukum untuk membenarkan gugatan. Para Hakim sendiri mengenal prinsip, "lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada memenjarakan seorang yang tak bersalah".
Kasus JIS ini harus diakui, menjadi ujian berat bagi para hakim. Dilematis, jika membebaskan para tersangka dari dakwaan maka mereka akan dianggap tidak pro terhadap perlindungan anak. Namun jika mereka harus menghukum dan memaksakan dakwaan dengan bukti-bukti yang lemah, tentu itu melanggar prinsip hakim yang selama ini dijunjung tinggi mereka.
Namun yang harus lebih diwaspadai oleh para hakim adalah modus suap, mengingat beberapa hari lalu OC Kaligis ikut dicokok KPK karena diduga berperan besar dalam suap itu di Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Terkait penetapan OC Kaligis sebagai tersangka gratifikasi peradilan, sejumlah aktivis hukum meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan lebih ketat terhadap kasus yang kini ditangani oleh kantor pengacara ini. Salah satunya yang sangat kontroversial adalah gugatan perdata senilai US$ 125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun terhadap Jakarta Intercutural School (JIS).
"Pengawasan terhadap kasus-kasus yang melibatkan kantor pengacara itu harus diperketat. Korupsi peradilan ini adalah masalah mental," tandas Choirul Huda, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Jakarta beberapa waktu lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H