Mohon tunggu...
Asep Sunardi
Asep Sunardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Anak yang suka Membaca
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Perbanyaklah membaca untuk memperbanyak ilmu pengetahuanmu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Suap PN Medan, "Warning" Bagi Para Hakim

28 Juli 2015   15:35 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:53 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah upaya keras Presiden Jokowi memulihkan citra penegakan hukum di Indonesia, anehnya justeru satu persatu para hakim banyak tersandung kasus hukum. Setelah hakim Pengadilan Tangerang, Muhtadi Asnun yang terjerat kasus suap, menyusul hakim Syarifudin yang dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap kasus kepailitan dari PT, Sky Camping Indonesia.

Yang paling heboh, adalah penangkapan Ketua PN Medan beserta 2 hakim dan 1 panitera karena tertangkap tangan oleh KPK menerima suap dari seorang staf kantor pengacara kondang.

Seperti diberitakan cnnindonesia.com, KPK menangkap lima orang dalam operasi tangkap tangan di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/7). Kelima orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan pada Jumat malam (10/7).

Pengacara M Yagari Bhastara alias Geri yang diduga memberi suap mendekam di Rumah Tahanan KPK; Tripeni ditahan di Rutan Pomdam Jaya Guntur Cabang KPK; Amir Fauzi dibui di Rutan Polres Jakarta Pusat; Dermawan Ginting menghuni Rutan Polres Jakarta Selatan; dan Syamsir mendekam di Rutan Polda Metro Jaya.

Dari operasi tangkap tangan, mulanya penyidik menemukan duit US$ 5 ribu di ruang kerja Hakim Tripeni. Selanjutnya, ketika diperiksa oleh tim penyidik, Tripeni mengaku masih ada duit lainnya di ruangan tersebut. Setelah digeledah, penyidik pun menemukan duit US$10 ribu dan Sin$ 5 ribu.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengacara senior Otto Cornelis (OC) Kaligis sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara.

Kaligis dijadikan tersangka setelah sebelumnya memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi. Penyidik KPK juga telah menggeledah kantor OC Kaligis di Jakarta Pusat. Penyidik berhasil membawa berkas dan dokumen yang dimasukan ke dalam dua koper besar.

Sebelumnya, kasus dugaan suap terhadap hakim juga telah terjadi, seperti yang menimpa Syarifudin,  hakim senior di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syarifudin ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, pada pertengahan Juni lalu.

Penangkapan Hakim Syarifudin, sebagai tersangka kasus suap ini menambah panjang daftar penegak hukum yang  tersandung kasus hukum. Mei 2010 silam, hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Muhtadi Asnun,  juga diperiksa penyidik Mabes Polri,  karena terjerat dugaan  suap  dari terdakwa mafia  pajak,  Gayus Tambunan.

Banyaknya hakim dan jaksa yang menghianati kewibawaan hukum melahirkan pertanyaan, masih adakah keadilan yang bisa diharapkan dari lembaga peradilan saat ini.

Munculnya kasus  pelanggaran  hukum  terhadap para  hakim dan penegak hukum ini tidak seharusnya terjadi, jika semua pihak  benar-benar mematuhi hukum. Namun jika ternyata terjadi, sudah seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang lebih berat, dari siapapun. Bukankah mereka adalah punggawa  hukum yang memahami  betul arti penegakan hukum.

 

Kasus suap Hakim oleh OCK, sinyal agar KPK awasi kasus JIS

Ada hal menarik, yakni informasi bahwa sebelum terjerat suap kasus kepailitan, Syarifuddin Umar juga sempat membuat putusan yang dinilai sejumlah pihak kontroversial, saat menjadi ketua majelis hakim dalam kasus korupsi dana bagi hasil PBB dan BPHTB Bengkulu, senilai 21, 3 milyar rupiah. Syarifudin memutus bebas terdakwa Agusrin M Najamudin, Gubernur Bengkulu non aktif, dari semua tuntutan baik primer maupun sekunder, pada  24 Mei  lalu. Padahal dalam sidang sebelumnya, terdakwa dituntut hukuman 4 setengah tahun penjara dan denda 500 juta rupiah, subsider 6 bulan penjara, oleh jaksa penuntut umum.

Kontan putusan ini mengundang reaksi berupa kritik keras atas vonis bebas  terhadap Agusrin, antara lain diungkapkan Indonesia Corruption Wacth (ICW).  Menurut  peneliti divisi investigasi ICW, Tama S. Langkun, terdapat sejumlah kejanggalan dalam putusan hakim,  yang mengarah pada dugaan suap. Antara lain, hakim tidak mempertimbangkan putusan hakim  Pengadilan Bengkulu, yang memvonis satu tahun penjara terhadap Kadispenda Bengkulu, Khairudin,  atas kasus  yang sama. Hal lain adalah hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi ahli dari BPK dan BPKP, yang melihat adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.

Jika dalam kasus hakim Syarifudin yang diawasi KPK adalah personal hakimnya karena yang menyuap adalah penggugat, maka hal serupa sebenarnya bisa dilakukan bagi kasus-kasus yang sedang ditangani oleh Kantor Pengacara OC Kaligis ini. Sebab selain kasus di PN Medan ini, banyak kasus besar dan kontroversial lain yang sedang ditangani Kantor Hukum Kaligis ini, salah satunya adalah kasus JIS yang sidangnya bahkan berlangsung tiga paket, yaitu gugatan dakwaan pidana atas para pekerja kebersihan, lalu 2 gurunya dan terakhir yang masih berlangsung adalah gugatan perdata senilai USD 125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun terhadap Jakarta Intercutural School (JIS).

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI-FHUI) Melli Darsa mengatakan, kasus suap yang diduga melibatkan kantor pengacara OC Kaligis telah mencoreng wajah advokasi Indonesia.

"Kita mengingatkan semua advokat bahwa profesi ini adalah pembela hukum, bukannya kasir gratifikasi apalagi korupsi,” kata Melli Darsa. Menurut Melli, jika kasus ini tidak segera ditangani, masyarakat akan mempertanyakan berbagai kasus lain apakah diputuskan berdasar keadilan hukum atau karena praktik gratifikasi advokatnya.

"Pengawasan terhadap kasus-kasus yang melibatkan kantor pengacara itu harus diperketat. Korupsi peradilan ini adalah masalah mental," tandas Choirul Huda, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Jakarta beberapa waktu lalu.

Dalam kasus JIS, OC mewakili TPW, ibu MAK, salah satu murid di JIS yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Dalam persidangan perdata terungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Di antaranya adalah keterangan tertulis dari Dr. Osmina dari RSPI yang menyatakan bahwa TPW telah menyalahgunakan surat rujukan yang dia keluarkan. Surat yang harusnya digunakan untuk mengurus klaim asuransi MAK, justru digunakan TPW sebagai bukti adanya kasus kekerasan seksual terhadap MAK.

Celakanya, surat keterangan RSPI tersebut dijadikan dasar oleh majelis Hakim untuk memvonis 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan pidana penjara 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Padahal sejak awal bukti medis adanya kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun