Kasus suap Hakim oleh OCK, sinyal agar KPK awasi kasus JIS
Ada hal menarik, yakni informasi bahwa sebelum terjerat suap kasus kepailitan, Syarifuddin Umar juga sempat membuat putusan yang dinilai sejumlah pihak kontroversial, saat menjadi ketua majelis hakim dalam kasus korupsi dana bagi hasil PBB dan BPHTB Bengkulu, senilai 21, 3 milyar rupiah. Syarifudin memutus bebas terdakwa Agusrin M Najamudin, Gubernur Bengkulu non aktif, dari semua tuntutan baik primer maupun sekunder, pada 24 Mei lalu. Padahal dalam sidang sebelumnya, terdakwa dituntut hukuman 4 setengah tahun penjara dan denda 500 juta rupiah, subsider 6 bulan penjara, oleh jaksa penuntut umum.
Kontan putusan ini mengundang reaksi berupa kritik keras atas vonis bebas terhadap Agusrin, antara lain diungkapkan Indonesia Corruption Wacth (ICW). Menurut peneliti divisi investigasi ICW, Tama S. Langkun, terdapat sejumlah kejanggalan dalam putusan hakim, yang mengarah pada dugaan suap. Antara lain, hakim tidak mempertimbangkan putusan hakim Pengadilan Bengkulu, yang memvonis satu tahun penjara terhadap Kadispenda Bengkulu, Khairudin, atas kasus yang sama. Hal lain adalah hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi ahli dari BPK dan BPKP, yang melihat adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.
Jika dalam kasus hakim Syarifudin yang diawasi KPK adalah personal hakimnya karena yang menyuap adalah penggugat, maka hal serupa sebenarnya bisa dilakukan bagi kasus-kasus yang sedang ditangani oleh Kantor Pengacara OC Kaligis ini. Sebab selain kasus di PN Medan ini, banyak kasus besar dan kontroversial lain yang sedang ditangani Kantor Hukum Kaligis ini, salah satunya adalah kasus JIS yang sidangnya bahkan berlangsung tiga paket, yaitu gugatan dakwaan pidana atas para pekerja kebersihan, lalu 2 gurunya dan terakhir yang masih berlangsung adalah gugatan perdata senilai USD 125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun terhadap Jakarta Intercutural School (JIS).
Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI-FHUI) Melli Darsa mengatakan, kasus suap yang diduga melibatkan kantor pengacara OC Kaligis telah mencoreng wajah advokasi Indonesia.
"Kita mengingatkan semua advokat bahwa profesi ini adalah pembela hukum, bukannya kasir gratifikasi apalagi korupsi,” kata Melli Darsa. Menurut Melli, jika kasus ini tidak segera ditangani, masyarakat akan mempertanyakan berbagai kasus lain apakah diputuskan berdasar keadilan hukum atau karena praktik gratifikasi advokatnya.
"Pengawasan terhadap kasus-kasus yang melibatkan kantor pengacara itu harus diperketat. Korupsi peradilan ini adalah masalah mental," tandas Choirul Huda, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam kasus JIS, OC mewakili TPW, ibu MAK, salah satu murid di JIS yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Dalam persidangan perdata terungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Di antaranya adalah keterangan tertulis dari Dr. Osmina dari RSPI yang menyatakan bahwa TPW telah menyalahgunakan surat rujukan yang dia keluarkan. Surat yang harusnya digunakan untuk mengurus klaim asuransi MAK, justru digunakan TPW sebagai bukti adanya kasus kekerasan seksual terhadap MAK.
Celakanya, surat keterangan RSPI tersebut dijadikan dasar oleh majelis Hakim untuk memvonis 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan pidana penjara 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Padahal sejak awal bukti medis adanya kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H