Mohon tunggu...
Asep F. A. Helmi
Asep F. A. Helmi Mohon Tunggu... PNS -

Berbuat baik janganlah ditunda-tunda ... (penggalan lagu Bimbo)

Selanjutnya

Tutup

Money

Lembaga Keuangan Islam

25 November 2015   09:20 Diperbarui: 25 November 2015   10:13 2629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Kata “pranata” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu; dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia di masyarakat; atau institusi. Sedangkan “sosial” berkenaan dengan masyarakat.[1] Kaitan “pranata sosial” dengan “hukum Islam” secara operasional didefinisikan sebagai institusi atau lembaga yang berada di masyarakat yang diatur berdasarkan aturan doktrin Islam. Pada kesempatan ini, maksud lembaga ialah yang berkaitan dengan ekonomi atau lebih khususnya dengan sistem keuangan menurut Islam (syariah).

Berdasarkan studi kepustakaan, beberapa lembaga dan sistem keuangan Islam yang sudah berdiri sejak peradaban Islam awal (zaman Rasulullah SAW) hingga kini di Indonesia, ialah: (1) Badan Amil Zakat [BAZ]; (2) Badan Perwakafan Nasional; (3) Baitul Maal wa Tamwil [BMT]; (4) Bank Syariah; (5) Bank Perkreditan Rakyat Syariah [BPRS]; (6) Asuransi Syariah; (7) Obligasi Syariah; (8) Pegadaian Syariah; (9) Reksadana Syariah; dan (10) Badan Arbitrase Syariah Nasional.[2]

Sementara itu, menurut M. Zaidi Abdad, pada sinopsis bukunya: Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam, menyebutkan bahwa saat ini pelaksanaan lembaga-lembaga perekonomian umat yang berlandaskan syariah itu belumlah optimal atau dikelola secara profesional. Semua itu belum melembaga dalam tataran yang aplikatif. Padahal, sesungguhnya, lembaga perekonomian umat itu jika ditangani secara profesional dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umat.[3]

Dari prasaran di atas, makalah sederhana ini mencoba-uraikan lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut beserta identifikasi problematikanya yang terjadi di Indonesia secara definitif-literatif.

Pembahasan

Institusi keuangan belum dikenal dengan secara jelas dalam sejarah Islam. Namun prinsip-prinsip pertukaran dan pinjam-meminjam sudah ada dan banyak terjadi pada zaman Nabi SAW bahkan sebelumnya.[4] Tidak dipungkiri bahwa kemajuan pembangunan ekonomi dan perdagangan, telah mempengaruhi lahirnya institusi yang berperan dalam lalu lintas keuangan.

Lembaga keuangan telah berperan sangat besar dalam pengembangan dan pertumbuhan masyarakat industri modern. Produksi berskala besar dengan kebutuhan investasi yang membutuhkan modal besar tidak mungkin dipenuhi tanpa bantuan lembaga keuangan. Lembaga keuangan merupakan tumpuan bagi para pengusaha untuk mendapatakan tambahan modalnya melalui mekanisme kredit dan menjadi tumpuan investasi melalui mekanisme saving. Sehingga lembaga keuangan telah memainkan peranan yang sangat besar dalam mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi di kalangan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya  dapat mewakili kepentingan masyarakat yang luas.[5]

Kalimat terakhir menjadi realita di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, misalnya bank konvensional menerapkan sistem dan instrumen bunga (riba) yang jelas diharamkan Islam seperti pada QS al-Baqarah: 275,

... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...

Operasionalisasi sistem dan instrumen bunga (riba) pada bank konvensional secara sederhana berarti penyimpan dana diberi bunga (bonus), peminjam diberi bunga (denda). Hal ini menunjukkan ada pihak yang sangat diuntungkan, dan sebaliknya ada pihak yang sangat dirugikan. Padahal kedua pihak (penyimpan dan peminjam) sesungguhnya sama-sama telah berikhtiar dalam mengelola dana tersebut. Dengan demikian sedikitnya terdapat dua masalah yang disoroti Islam untuk menyeimbangkan prinsip “pertama” dalam interaksi ekonomi, yakni “ingin untung”. Pertama, transaksi berdasarkan suka sama suka (‘an taraadlin) sebagaimana firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS an-Nisa: 29).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun