Trah bangsawan saat ini mungkin sudah tak populer lagi. Yang tersisa hanya tinggal kenangan dan nostalgia belaka. Tidak seperti ratusan tahun silam, ketika para bangsawan menempati tempat terhormat, terutama pada status sosial.
Konon, ketika masa Pemerintahan Raffles-lah kaum bangsawan mula-mula menempati jajaran birokrasi pangreh praja. Menjadi bupati, wedana, asisten wedana, camat, juru tulis dan lain-lain. Tentu saja karena berdasarkan kebangsawanan, turunan bangsawan mendapat keistimewaan yang tak bisa didapat oleh masyarakat jelata.
Dengan keistimewaan inilah kaum bangsawan bisa mendapat akses untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak, setingkat dengan orang-orang kulit putih. Maka tak heran jika kemudian, pada awal abad ke-20, sebagian bangsawan Jawa mendeklarasikan Boedi Oetomo. Mereka ada pelajar-pelajar STOVIA yang sebelumnya belajar di sekolah-sekolah bersama orang-orang Belanda.
Di berbagai tempat di Indonesia, ada banyak sebutan untuk merujuk pada kaum bangsawan. Macam-macam gelarnya. Teungku di Aceh. Raden di Jawa, Andi di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Di Jawa Barat sendiri bangsawan pada umumnya disebut dengan menak. Lebih khusus lagi kalangan Sunda dan terkhusus di daerah Priangan, yang meliputi wilayah Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Bandung, dan Cianjur.
Bahkan Prof. Nina Lubis menelitinya dengan seksama bagaimana kehidupan menak di Priangan pada masa pemerintahan kolonial Belanda sampai sebelum datangnya. Karena pada masa di bawah Belanda inilah para menak merasakan kepopulerannya dan kemudian berangsur memudar seiring dengan kemerdekaan yang dicapai oleh Indonesia.
Menak dengan status sosialnya dengan mudah bisa bersekolah dan kemudian berkarir. Kalau berminat untuk menjadi pangreh praja, setelah lulus dari AMS atau HBS, mereka masuk MOSVIA. Di Bandung, MOSVIA ini kalau tak salah sekarang menjadi gedung Polres  Kota Bandung. Dekat dengan gereja katedral dan Bank Indonesia.
Di MOSVIA inilah para menak dipersiapkan untuk menduduki jabatan pemerintahan di sejumlah kabupaten dengan terlebih dahulu menapaki karir dari bawah. Walaupun begitu tetap saja, yang bisa mencapai jabatan bupati dan jabatan lainnya hanya yang menak saja. Tidak bisa yang lain. Bahkan, sesama menak pun bisa bersaing. Makin tebal status menaknya, maka semakin mudah naik pangkat dibanding dengan status menaknya yang tipis.
Pun, kekerabatan antara menak di tiap daerah kental sekali. Dalam artian, sesama menak di satu daerah berhubungan satu sama lain dengan menak di suatu daerah. Misalkan, bupati di kabupaten A adalah anak dari bupati di kabupaten B. Atau menantu wedana di kabupaten C adalah adik dari bupati di kabupaten D.
Begitulah, karena perkawinan seorang bangsawan mesti menikah dengan yang sederajat. Kalau itu tidak dilakukan maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan di antara sesama menak. Tapi itu jarang terjadi sih.
Pada kenyataannya, menak bersanding dengan menak. Seperti di Jawa, Raden Ajeng Kartini ya menikahnya dengan seorang bupati. Seiring dengan kemajuan zaman, persaingan untuk mendapat tempat tak lagi harus berkaitan dengan status sosial yang tinggi.
Kini, semuanya mesti mempunyai kompetensi dan mesti berkompetisi. Apalagi saluran untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal pada saat ini sangat terbuka lebar. Walaupun memang harus ditebus dengan kerja keras dan kerja cerdas.
Tak bisa berleha-leha dan ongkang-ongkang kaki. Seperti ucapan Ali bin Abi Thalib, "Seorang pemuda adalah yang berani berkata inilah aku. Bukan inilah bapakku".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H