Siapa yang tak kenal Daoed Joesoef? Sosoknya pernah dianggap kontroversial ketika ia menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) di masa orde baru.Â
Setelah tak lagi menjadi menteri, ia kembali berkiprah sepenuhnya di CSIS (Centre for Strategic and International Studies), lembaga yang pernah didirikan bersama-sama temannya pada bulan September 1971. Daoed Joesoef pensiun efektif dari CSIS tanggal 19 November 1999, setelah "berdinas" selama 28 tahun.
Ia tak pernah benar-benar pensiun dari dunia intelektual. Minatnya adalah menulis dan membaca sebagai sebuah aktivitas yang tak bisa dipisahkan. Bukunya yang berjudul Borobudur dan Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran adalah salah dua karyanya.
Manisnya ilmu pengetahuan telah menyedot perhatian Daoed Joesoef sejak muda. Orangtuanya selalu mewanti-wanti bahwa mereka, kelak tak bisa mewariskan harta-benda yang sifatnya hanya sementara, sedangkan ilmu pengetahuan itu akan abadi. Dari merekalah Daoed Joesoef selalu dipacu untuk membaca dan sekolah setinggi-tingginya.
Ia selalu terngiang kata-kata emaknya. "Kekayaan benda berpisah dari kita bila diberikan kepada orang lain, tetapi kekayaan pikiran tetap melekat pada kita walaupun dibagi dengan orang lain. Dan yang tidak boleh kau lupakan, nak, adalah bahwa salah satu jalan yang ampuh, salah satu sumber yang tak pernah kering, dari kekayaan pikiran ini adalah buku" seperti dikutip dalam bukunya Rekam Jejak Anak Tiga Zaman.
Didikan orangtuanya membuat Daoed Joesoef selalu ingin memuaskan dahaga mencari "kebenaran" ilmu pengetahuan. Walaupun untuk itu ia mesti terbang sendirian seperti elang, seperti pesan bapaknya. Memilih jalan yang tak biasa ditempuh orang. Merantau keluar dari kepompong kampung halaman di Medan menuju Yogyakarta, tempat yang menjadi perhentian pertama Daoed Joesoef menuntut ilmu.
Cita-cita awal Daoed sebagai tentara karena suasana zaman, ia memutar haluan tak jadi memasuki Akademi Militer. Ia malah masuk SMA di Yogyakarta masa revolusi fisik. Inilah tonggak awal Daoed Joesoef menempuh jalan sunyi sebagai intelektual yang memuaskan hati nuraninya, bukan akademisi penjilat yang selalu membenarkan kata-kata sang penguasa. Ia lebih memilih kata hatinya bersekolah. Situasi Jogja malah tak menerbitkan keinginan Daoed untuk meneruskan profesinya menjadi tentara.
Menekuni studi ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) membawanya bergaul dengan begawan macam Prof. Sumitro, Prof. Scheffer, Wakil Presiden Mohamad Hatta, dan lain-lain. Ia ikut membangun fondasi sejumlah Fakultas Ekonomi di luar jawa. Bahkan di Palembang, ia ikut membantu menegerikan universitasnya, dari Perguruan Tinggi Swasta "Syakyakirti" menjadi Universitas Sriwijaya. Â
Di tengah kerja-kerja birokratis sebagai dosen, Daoed tetap saja tak suka dengan sifat-sifat kemunafikan dan penghambaan pada penguasa. Daoed Joesoef selalu saja kritis dengan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani dan akal sehatnya. Walaupun dengan sikap seperti itu ia mesti terkucil. Ia menyebut dirinya sebagai "The Ugly Duckling".
Ia baru menyadari itu ketika membaca Buku Kenangan Empat Dasawarsa FEUI yang disusun pada 18 September 1990. Di buku itu namanya tidak tercantum dalam daftar nama dosen, padahal sepengakuan Daoed, ia telah menjadi staf akademis sejak tahun 1952 hingga ia memilih pensiun dini sebagai dosen pegawai negeri sipil setelah tak jadi menteri.
Sibuk sebagai dosen tak melupakan semangat Daoed Joesoef untuk studi lanjut. Hanya saja, ia terkenal "bengal" dan menuruti kata hatinya. Di kala yang lain memilih belajar ekonomi di Amerika Serikat seperti kebanyakan dosen muda yang lain, ia berkeras hati melanjutkan studinya di Sorbonne, Perancis. Sesuatu yang kemudian membuatnya mesti menghadapi hambatan artifisial dari Prof. Widjojo Nitisastro.