Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Diktator, Pemimpin Efektif

18 Februari 2011   15:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak dinyana tak diduga, angin kencang reformasi (revolusi?) sedang bertiup kuat di sebahagian negara negara di Timur Tengah. Menjamurnya jejaring sosial dan akses informasi yang sudah terglobalisasi menambah daya gedor terhadap percepatan reformasi di negara negara itu.

Beberapa negara yang berada di sekitarnya yang belum kena merasa ketir ketir sekaligus khawatir jika kemudian arus reformasi akan melanda negaranya. Bukan apa apa, jika ini terjadi maka tatanan sosial, tepatnya tatanan kehidupan pribadi yang mendompleng pada negara akan terganggu. Persis ketika terjadi reformasi 1998 di Indonesia yang berhasil menumbangkan Soeharto sebagai simbol orde baru. Sebagian pihak yang sudah nyaman dalam ketiak orde baru merasa terusik dan menuding bahwa reformasi tak akan membuahkan hasil.

Bermula dari Tunisia yang berhasil menjungkalkan Presiden Ben Ali dari tampuk kekuasannya. Disusul Husni Mubarok dari negeri piramida Mesir yang didongkel oleh para demonstran setelah sekian lama berkumpul di Tahrir Square. Mubarak, setelah sekian lama bertahan mundur dan hanya akan mundur ketika masa jabatannya berakhir di Oktober 2011.

Kini, tiupan reformasi itu sedang bergerak ke arah Yaman, Aljazair, dan Bahrain. Semuanya hampir menyenandungkan nada yang sama: pemimpin yang telah lama berkuasa silakan mundur. Mungkin benar apa yang diucapkan Lord Acton bahwa power tends to corrupt an d absolute power tends to corrupt absolutely. Mengapa para demonstran di negara negara itu bergerak, karena pemimpin di negara itu berkuasa sudah cukup lama sembari dianggap tak becus menyelesaikan persoalan persoalan klasik dalam negeri.

Mari kita tengok. Ben Ali sudah 23 tahun berkuasa. Mubarak, sejak saya umur satu tahun hingga kini sudah punya anak satu, selama itu dia berkuasa. Pantas saja ia mampu menimbun kekayaan hingga 360 trilyun rupiah. Sebuah angka fantastis yang rasanya tak mungkin saya gapai. Tapi, bolehlah saya mengandai andai, sumbangkan saja dua persen dari kekayaan Mubarak agar saya bisa sekolah lagi setinggi tingginya dan membuat perpustakaan besar.

Bagaimana yang lain? Aljazair sama saja. Bahrain idem ditto, dan Yaman sami mawon. Sepanjang mereka berkuasa, sepanjang itu pula para penguasa pengusa itu tak pandai menyelesaikan problem kemiskinan dan pengangguran, sebuah persoalan klasik yang hampir selalu menghampiri negara negara berkembang nan tak kunjung maju maju. Entah ini kebetulan atau tidak, kok penduduknya mayoritas Islam ya. Silakan dipikirkan.

Kasus pemimpin yang lama berkuasa juga pernah terjadi di Indonesia. Soekarno hampir dua dekade menjadi presiden. Soeharto malah lebih lama lagi, 32 tahun. Keduanya terjungkal dengan cara yang tragis-dramatis.

Namun, dari beberapa pemimpin yang berhasil mempertahankan tampuk kekuasaannya dalam jangka yang relatif lama, saya acungi jempol bahwa-terlepas dari kekurangannya-mereka adalah pemimpin yang efektif. Mungkin diantara kita ada yang menyebutnya sebagai otoriter atau dikatator, bukan jual diktat buat beli motor. Yang jelas dengan segala sumber daya yang dimilikinya baik Ben Ali, Mubarak, Abdullah Ali, Soekarno dan Soeharto telah memainkan peranannya dengan efektif efisien sehingga mampu bertahan cukup lama, walau mungkin saja dengan berlumuran darah.

Dalam sejarah dunia kita cukup mengenal nama nama seperti Hitler, Musollini, Stalin, Lenin, Mao, Pol Pot, Castro, dan masih banyak yang lain. Mereka adalah pemimpin yang akan senantiasa dikenang oleh sejarah, baik dicatat dengan tinta emas atau hitam. Nama nama pemimpin yang disebut dalam paragraf ini bisa dikatakan bertanggung jawab atas deretan ribuan nyawa manusia sebagai tumbal kekuasaannya, bahkan tak jarang kawan seiring seperjuangan menjadi korban.

Lin Biao adalah salah satu contoh itu. Ia meninggal dalam kecelakaan pesawat di Mongolia setelah ia diketahui berkhianat terhadap Mao Zedong. Mungkin kecelakaan dan mungkin juga tidak. Itulah salah satu cara Mao menyingkirkan sang partner yang tak loyal.

Maka dari kediktatoran dan otoritarianisme beberapa penguasa itu, mungkin kita mencapnya sebagai tak demokratis. Namun dari segi manajemen kepemimpinanbolehlah diacungi jempol, terlepas dari lembaran kelam sejarah yang dimilikinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun