Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Pram dan Bang Ali

25 November 2010   09:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir dua minggu tak memposting tulisan di Kompasiana, dan rasa rasanya seperti “mengkhianati” lapak yang telah diberikan secara gratis oleh admin pada saya.

Bukan karena saya sok sibuk dengan pekerjaan (mana ada sih orang yang nggak sibuk) melainkan lebih karena ketidakmampuan saya menulis dan ketiadaan ilham, padahal menurut (alm) Mochtar Lubis, wartawan dan sastrawan senior “Biasakanlah menulis setiap hari, jangan menunggu nunggu ilham yang tak keruan datangnya, dengan demikian kita bisa menyelesaikan roman di tengah kegiatan kita sehari hari”, atau dalam bahasa Omjay, seorang kompasianer senior “menulislah di Kompasiana sebelum tidur”.

Daripada menunggu nunggu ilham yang tak kunjung datang pada saya, diputuskanlah tulisan kali ini hanya mengetengahkan dua cerita yang saya temukan dalam bukunya Ajip Rosidi, seorang sastrawan senior asal tatar Sunda yang kini menetap di Pabelan. Bukunya sendiri bertajuk “Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari”.

Buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau di beberapa media mengisahkan sejumlah kawannya selama bergumul di dunia sastra sejak tahun 1955-an (mudah mudahan tak salah). Kawan kawan Kang Ajip yang berdiri di sisi kanan atau kiri, radikal atau moderat, theis dan bahkan mungkin athesis.

Kang Ajip mengisahkannya dengan humanis, mungkin karena pernah dekat secara personal sehingga tulisannya menjadi “bernyawa”.

Ada dua tokoh yang ingin saya bagi ceritanya disini. Dua tokoh itu adalah Pram dan Bang Ali.

Pramoedya Ananta Toer mungkin tak asing bagi pecinta kesusasteraan. Sastrawan nomor wahid Indonesia yang berkali kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra ini di masa mudanya penuh getir merintis karir di bidang kepenulisan. Kang Ajip dalam bukunya ini menyebut Pram sebagai individualis tulen, dalam arti ia tak bisa dipengaruhi orang lain. Ia hanya melakukan apa yang ia anggap memang harus dilakukan.

Ada kisah dalam buku Kang Ajip ini yang menurut saya memang manusiawi.

Ajip menulisnya di halaman 6, “Pada suatu siang, ketika saya sedang asyik mengetik di ruang depan rumah yang saya sewa di Kramatpulo pintu diketuk orang. Waktu saya buka, yang nongol adalah kepala Pramoedya Ananta Toer yang berbisik dengan suara yang sangat dalam, “Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!” Saya sangat kaget. Pram sedang menghadapi krisis keuangan, Maimunah diungsikan ke rumah mertuanya. Nasi ada, tetapi nasi dingin, dan tak ada lawuh nasi apa pun. Selama isteri saya pergi, saya makan di luar. Maka nasi dingin itulah yang saya sajikan kepada Pram, yang memakannya dengan lahap hanya dengan mentega. Telur pun tak ada!

Begitulah Ajip mengisahkan kawannya Pram yang sudah beberapa hari tak makan. Mungkin serupa Charlie ST 12-dalam pengakuannya di sebuah infotainment-ketika masih merintis karir menjadi musisi ia hanya bisa makan nasi tiga hari sekali bukan tiga kali sehari.

Beda Pram, beda Ali Sadikin atau biasa disebut Bang Ali. Ajip menyebutnya sebagai pembangun Jakarta. Bang Ali tak mungkin dilupakan orang, utamanya oleh warga Jakarta. Dialah peletak dasar pembangunan Jakarta menjadi kota yang modern lagi metropolitan.

Kas Daerah yang cekak tak membuat dirinya putus asa membangun Jakarta. Ia menjawab tugas Bung Karno agar membenahi Jakarta. Bung Karno sendiri menyetujui Bang Ali sebagai gubernur Jakarta karena ia orang yang koppig alias keras kepala, dan Jakarta membutuhkan orang ini.

Ide idenya memang membikin kontroversial. Judi dan prostitusi ia berikan tempat. Tujuannya agar daerah punya pemasukan guna membangun infrastruktur. Seorang tokoh agama yang mengkritik dirinya dijawab: Kalau pak Kiai tak setuju dengan cara pengumpulan dana itu, maka pak Kiai harus membeli helikopter pribadi karena semua jalan di Jakarta dibuat dan diperbaiki dengan uang maksiat.

Ajip punya cerita ihwal ketegasan Bang Ali. Di sekitar tahun 1970, sebuah jembatan di Jakarta Utara yang baru dibangun ambruk karena tak sesuai dengan cetak biru. Kritik dan tuduhan korupsi segera merebak di kalangan pers. Bang Ali tak lepas tangan, ia sebagai pemimpin tertinggi di Jakarta menyatakan bertanggung jawab. Lalu-hal ini tak dimuat pers tapi dari mulut ke mulut-Bang Ali memanggil pimpinan proyek jembatan yang ambruk itu, menyeretnya ke dalam kamar dan lalu menempelenginya.

Itu saja dulu. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun