Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Namaku Dahlan, bukan Dhani: Tanggapan Atas Yusran Darmawan

18 September 2010   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262220" align="alignleft" width="300" caption="sumber: republika.co.id"][/caption]

Film Sang Pencerah (SP) yang diputar jelang Idul Fitri 1431 H menarik sebagian besar orang untuk menontonnya. Kabarnya, selama delapan hari diputar angka penonton telah menembus 500 ribu orang, suatu jumlah yang tak bisa dianggap sedikit di tengah tengah gempuran film yang bertema horor dan cinta.

Tentu suatu kebanggaan bahwa film yang menampilkan salah satu tokoh sejarah pendiri Muhammadiyah dapat diangkat ke layar lebar dan menjadi hiburan alternatif di tengah libur lebaran yang amat panjang.

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi massa Islam yang bergerak di bidang dakwah, sosial, pendidikan, dan kesehatan di Indonesia tentu tak asing lagi bagi sebagian masyarakat. Usianya yang telah beranjak seratus tahun disebut sebut sebagai organisasi terbesar di dunia yang bergerak di ranah sosial dan agama. Tak banyak organisasi massa berlatar agama yang mampu bertahan sedemikian panjang, dan Muhammadiyah adalah salah satunya. Kini, usianya sedang melaju menuju seratus tahun kedua.

Hanung Bramantyo, sutradara muda yang pernah bersekolah di Muhammadiyah dan tempat tinggalnya yang bertetangga dengan Kampung Kauman di Yogyakarta membuat SP ini sebagai kado seratus tahun Muhammadiyah. Kebetulan sekali Muktamar Muhammadiyah Satu Abad ke-46 diadakan di Yogyakarta yang sekaligus juga sebagai “ibu kota” Muhammadiyah.

Mungkin juga Hanung dengan SP-nya ini dihadirkan sebagai bentuk apresiasi terhadap KH. Ahmad Dahlan yang dengan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah di tengah tengah kolonialisme Belanda yang sedang mengalami jaman normal. Tentu saja kita tak bisa membandingkan antara Muhammadiyah dengan Sarekat Islam. Muhammadiyah yang tak bergerak di bidang politik agak tak kesulitan ketika meminta izin pendiriannya kepada pemnerintah kolonial Belanda dan menggerakkan roda organisasinya.

Beberapa apresiasi terhadap film SP ditunjukkan oleh sebagian postingan yang tayang di Kompasiana. Dua diantaranya memantik saya untuk membacanya dan memberi tanggapan terhadapnya. Postingan pertama datang dari Yusran Darmawan yang menulis “Benarkah KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah?” dan yang kedua datang dari Laura Khalida yang menulis postingan “Sang Pencerah: Ketika “Kafir” Menghambat Kemajuan”. Namun yang ingin saya tanggapi adalah tulisan dari Yusran karena menarik untuk didiskusikan berdasar beberapa pertanyaan yang diajukan olehnya. Dan ia pun sangat mengapresiasi film tersebut.

Saya sedang belajar menanggapi tulisan orang dan tidak bermaksud apa apa. Apalah artinya saya seorang kompasianer yang masih anak bawang dan kemarin sore, ditambah pendidikan saya yang masih rata rata dengan kebanyakan orang.

Sebelumnya saya hanya ingin menegaskan film SP hanyalah seupil tafsir Hanung atas perjalanan KH. Ahmad Dahlan yang mungkin terlampau singkat. Ia hanya berusia 55 tahun dan mendirikan Muhammadiyah ketika usianya masih 44 tahun, usia yang boleh dikatakan muda menurut orang Inggris. Hidup dimulai ketika berusia 40, kata orang London sana. Dan sebelumnya pula saya ingin menyatakan bahwa SP belum saya tonton seperti halnya Bung Yusran yang mengakui belum membaca biografi KH. Ahmad Dahlan. Dalam menulis tanggapan ini saya dibantu oleh Novel Sang Pencerah yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral berdasar skenario film ini yang berarti tak jauh jauh amat serta dibantu oleh beberapa literatur yang mendukung.

Tentu saja kita tak bisa berekspektasi berlebih terhadap riwayat Dahlan yang dimampatkan dalam dua jam di atas seluloid. Dan realitasnya bahwa Dahlan ketika hidup adalah seorang man of action ketimbang man of thinking. Makanya tak banyak warisan tulisan yang ditinggalkan Dahlan. Mungkin, tak pernah ia sengaja menulis buku dan menuliskan pikiran pikirannya. Kalau tak salah di majalah Suara Muhammadiyah nomor nomor awal yang masih berbahasa Jawa Dahlan beberapa kali menulis. Dan rasa rasanya Hanung pun tak hendak mengajak ngajak agar penonton menjadi “Muhammadiyah” dengan hanya dua jam. Ia hanya menyodorkan ini loh salah satu tokoh bangsa selain Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman, Pak Harto, dan lain lain.

Menarik mencermati tulisan Yusran. Yusran menulis dengan nada mempertanyakan apakah benar KH. Ahmad Dahlan adalah Sang Pencerah? Memang tak bisa utuh kalau hanya melihat Dahlan hanya dari dua jam tanpa melihat Muhammadiyah sebagai satu kesatuan dengannya.

Bagi saya ia adalah Sang Pencerah dalam artian ia mewariskan Muhammadiyah sebagai organisasi yang telah melewati beberapa jaman. Ia dengan caranya sendiri mampu menghadirkan sebuah organisasi yang tak hanya berdiri ketika ia hidup namun terus berkembang ketika ia sudah wafat dan meninggalkan serta mencetak kader kader tangguh setelahnya.

Realitasnya-beberapa kali Bung Yusran menyebut kata ini-Muhammadiyah dari segi kuantitas dan mudah mudahan kualitasnya telah berkembang pesat yang mungkin tak terpikirkan oleh Dahlan pada waktu itu. Realitasnya, jumlah sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lain lain merupakan salah satu media dalam mencerahkan ribuan generasi bangsa yang terselamatkan oleh Muhammadiyah.

Mengutip sebuah pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa jasa pahlawannya. Dan kalau boleh saya mengutip Bung Karno, Jas Merah. Jangan sekali kali melupakan sejarah. Hanung, dalam kapasitasnya sebagai sutradara mencoba menginterpretasikan-mungkin saja-perkataan Bung Karno ke dalam layar kaca dengan mengangkat Dahlan yang punya ikatan emosional dengan Hanung dari segi geografis (tinggal dekat Kauman) dan administratif (pernah sekolah di Muhammadiyah).

Selanjutnya, dari postingan tersebut, Yusran menulis “Masjid Besar Kauman, sebuah masjid yang menjadi sumbu kekuasaan Islam di Yogyakarta. Masjid Besar Kauman bukan saja tempat beribadah, namun menjadi symbol dari sentrum kekuasaan Islam tradisional Jawa, sebagaimana diwariskan turun-temurun sejak masa penguasa Islam pertama di Jawa yang dikawal oleh Sembilan wali bijaksana (Wali Songo).

Kalau saya tak salah tangkap, Yusran menyimpulkan bahwa Masjid Besar Kauman seusia dengan Wali Songo dan penguasa Islam pertama di Jawa (Raden Fatah yang menjadi raja di Kerajaan Demak). Padahal, setelah saya membaca literatur bahwa Masjid Gede Kauman didirikan berdasar rancangan dari KH. Wiryokusumo dan selesai pengerjaan Masjidnya itu pada tanggal 29 Mei 1773, kira kira 18 tahun setelah Sri Sultan HB I berkuasa. Berdasar fakta ini jelas bahwa Masjid Gede Kauman baru berusia 237 tahun yang berarti jauh lebih muda ketimbang jaman Wali Songo dan Raden Fatah.

Di paragraf lain Yusran juga menulis, “Melalui ide Abduh, ia hendak memurnikan keberislaman itu sehingga membawa rahmat bagi umat. Untuk itu, ia harus melabrak tradisi. Ia berdakwah dengan tegas dan tanpa kompromi. Cara berpikirnya hitam putih. Ketika sesuatu salah, maka salah. Ketika sesuatu benar, maka benar. Ia tak mengenal negosiasi dan kompromi demi sebuah keyakinan. Ia kepala batu. Semuanya demi keyakinan.

Benarkah ia kepala batu? Justru saya melihat bahwa ketika ide Dahlan-salah satunya-mengubah arah kiblat Masjid Gede Kauman dan kemudiaan dilontarkan pada rapat dengan Kiai Penghulu dan hasilnya ditolak oleh rapat para kiai, Dahlan tak memaksakan kehendak dengan serta merta mengubah arah kiblat, perlu diingat bahwa ketika melontarkan ide tersebut Dahlan telah menjadi seorang khatib amin yang berarti imam besar Masjid Gede Kauman. Mungkin bisa saja Dahlan dengan kekuasaan sebagai khatib amin dengan segera mengubahnya, toh faktanya Dahlan tunduk pada keputusan permusyawaratan dan memilih mendirikan langgar kidul ketimbang berkonfrontasi dengan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Pun ketika kemudian iamengundurkan diri sebagai khatib amin karena merasa idenya tak diterima. Ia bersikap legawa dengan mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai khatib amin. Dahlan tak pernah frontal karena ia merasa bersikap frontal dan apalagi kekerasan tak akan menyelesaikan masalah.

Yusran juga mengkritik Dahlan karena bersikap paradoks ketika menggunakan kompas dan peta serta berpakaian ala Eropa ketika mengajar. Apa yang salah ketika Dahlan menggunakan kompas dan peta dalam mempresentasikan peralihan arah kiblat. Dahlan dengan caranya sendiri sedang mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di perantauan Mekkah. Dalam konteks berpakaian ala Eropa yang dikenakan oleh Dahlan, perlu diketahui bahwa saat itu Dahlan sedang mengajar agama Islam di sekolah umum yang para muridnya mayoritas adalah anak priyayi yang bisa jadi terkena stereotype bahwa kiai itu jijik dan bau. Ternyata setelah Kiai Dahlan masuk, anggapan itu berubah karena Dahlan mampu mencairkan suasana dengan insiden kentut seorang anak priyayi. Bagi saya ini bukanlah hal paradoks, Dahlan sedang bernegosiasi dengan keadaan dan konteks yang dihadapinya, kecuali masalah yang prinsipil.

Ketika membahas arah kiblat, Yusran menulis bahwa “Dahlan hanya mengulang-ulang dalil dari ilmu falak atau ilmu bumi. Ia juga hanya berkata sekilas bahwa Masjidil Haram tetap saja bagian terpenting dan Rasulpun menghadapkan wajahnya ke situ. Sayang sekali karena ia tidak membantah pendapat kiai itu dengan dalil yang juga digali dari khasanah pemikiran Islam”. Yusran menyayangkan bahwa Dahlan tak menggali dalil dari khasanah pemikiran Islam.

Bagi saya pribadi bahwa apa yang dikemukakan Dahlan itu sudah tepat bahwa ia tak hendak adu argumen ayat dan tanding hadist. Seperti halnya beberapa partai di masa lalu yang ketika kampane membawa bawa ayat untuk merendahkan partai yang lain. Dahlan memakai ilmu pengetahuan yang bisa diukur oleh siapapun. Sayangnya memang bahwa pada saat rapat arah kiblat dilakukan tak dihadiri-tepatnya tak datang- oleh kiai yang menguasai ilmu falaq yakni KH Raden Dahlan dari Termas Pacitan dan Sayid Usman Al Habsyi dari Batavia. Tinggallah Dahlan seorang diri yang menguasai falaq yang akhirnya tak disepakati pengubahan arah kiblat Masjid Kauman

Kemudian, kalau pun kita sepakat bahwa Al Qur’an adalah khasanah pemikiran Islam paling otentik maka Al Qur’an sendirilah yang menyatakan bahwa ke Masjidil Haram-lah kita mesti menghadap. Hal ini bisa dibaca dalam QS 2: 143-144. Dahlan menghindari tanding ayat seperti ini karena biasanya jika adu ayat maka persoalannya tak lagi objektif.

Dalam paragraf lain Yusran berujar, “agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja.” Namun, saat ditanya apa ketenangan dan keindahan itu, ia hanya memainkan biola dan menyuruh muridnya meresapi. Saya sendiri jadi geli sebab agama seolah sesuatu yang meninabobokan orang-orang. Saya jadi ingat kata Marx, mustahil seseorang beragama ketika perutnya lapar”.

Yusran menyimpulkan bahwa ia geli sebab agama seolah sesuatu yang meninabobokan orang orang. Perlu diketahui bahwa ketika mengajarkan biola, murid yang dihadapinya itu adalah Daniel, Jazuli, dan Hisjam yang dalam novel SP-nya Akmal adalah anak anak yang bisa dikatakan mampu dan tak lagi dibelit masalah pangan dan apalagi kelaparan, sehingga tak jadi masalah jika dikatakan bahwa agama adalah yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja.

Pernyataan Yusran yang mengutip Marx bahwa mustahil seseorang beragama ketika perutnya lapar justru gantian saya yang menjadi geli karena pada faktanya Dahlan amat menyantuni yatim piatu, terlantar, faqir miskin. Di Yogyakarta pernah terjadi apa yang disebut sebagai Geger Al Maun karena Dahlan selalu berulang ulang mengajarkan surah Al Maun dan tak pindah pindah surat. Seorang muridnya merasa kesal karena tak pindah pindah ayat mengajinya dan lantas Dahlan bertanya, “apa kalian telah mengamalkannya?” Setelah itu disebarlah murid Dahlan untuk mencari orang orang yatim dan tak mampu, mereka diberi makan, pakaian, dan lain lain. Gerakan inilah yang menjadi cikal bakal didirikannya Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang kini telah bermetamorfosa menjadi rumah sakit, klinik, poliklinik, dan panti asuhan.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Hanung bahwa ia hendak mengenalkan Ahmad Dahlan supaya anak muda pun mengenalnya selain Ahmad Dhani yang telah lebih dulu wara wiri di lubuk hati anak muda.

Itu saja dulu ya. Mengenai enam pertanyaan yang diajukan Bang Yusran, saya tak hendak menanggapinya sekarang karena keburu lapar dan pingin tidur. Zzzzzzzz. Tabik. Salam damai kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun