Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Rimet

14 Juni 2010   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Jika sepak bola terikat dengan olimpiade, itu hanya akan seperti turnamen dunia amatir. (Jules Rimet, Presiden FIFA 1921-1954).

Kalaulah diadakan survey tentang apa olahraga paling favorit di kolong langit pada seluruh penduduk bumi, maka mungkin bisa dipastikan sepak bola akan menempati tempat pertama pada jajak pendapat tersebut. Dan saya meyakini hal itu, minimal dari pengamatan kasat mata yang saya lakukan lewat mata layar kaca dan hiruk pikuk sepak bola di kampung yang-meminjam istilah orang Betawi-kagak ada matinye. Sepak bola bisa dimainkan di Stadion Old Trafford Manchester, Inggris, tetapi juga tak ada larangan untuk melakukan laga di Stadion Dolog, lapangan sepak bola di kampung saya yang kebetulan tepat di belakang gudang beras milik Bulog. Sepak bola, juga tak hanya dilakoni oleh Frank Ribery-pemain Perancis yang pernah digosipkan berkencan dengan Zahia Dehar-yang merumput di Allianz Arena milik Bayern Muenchen, melainkan juga sangat digemari oleh si Alka, bocah delapan tahunan-tetangga rumah-yang hampir selalu bermain bola ketika sore mulai tiba.

Sepak bola melintasi ruang dan sekat geografis, ras, negara, dan bahkan agama. Bahkan, dalam tingkat yang paling ekstrim-mungkin-sepak bola adalah “agama” itu sendiri bagi mereka yang amat fanatik terhadap sepak bola. Tak berlebihan kiranya jika Nelson Mandela suatu kali pernah berujar, bahwa “Sepak bola adalah aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia”.

Didalamnya, jika ditelisik lebih lanjut terdapat banyak filosofi hidup manusia. Di situ berkumpul kerja sama, konflik, kepentingan, egoisme, keriangan, duka, kepahlawanan, jiwa besar, lapang dada, optimisme, rasa bersalah, fanatisme, fair play dan lain lain dengan para aktornya adalah pemain bola yang berjumlah 22 orang pada satu kali pertandingan. Jean Paul Sartre-filsuf Perancis-pernah berkata ihwal tim dalam sepak bola, katanya, “In football everything is complicated by the presence of the opposite team”. Dua tim dalam kurun waktu penuh itulah mereka saling seteru demi sebuah kemenangan yang membanggakan. Prestasi individu memang penting, tetapi lebih penting adalah juara tim. Ronaldo, pahlawan Brazil di World Cup 2002 Korea-Jepang suatu ketika menyatakan “Saya tak peduli dengan gelar pemain terbaik, saya tak terobsesi dengan predikat individual, saya lebih tertarik menjadi bagian sebuah tim ketika memenangkan tropi juara”.

Becoming winner, itulah titik akhir dari sebuah optimisme kemenangan yang mestinya juga didapat dengan cara fair play, dan spirit sepak bola berkali kali mengingatkan hal itu. Barangkali, sportifitas pulalah yang menjadi nadi dari sebuah pertandingan terbesar sepak bola sejagat. Sebuah kompetisi bernama World Cup. Kaum Bumiputra Indonesia menyebutnya sebagai Piala Dunia. Orang Perancis melafalkannya Coupe Du Monde, lidah seorang Italia mengejanya dengan Campionato Mondiale Di Calcio. Semuanya bermuara pada ajang sepak bola paling akbar empat tahunan. Tak ada yang meragukan hal itu, tidak juga Piala Eropa, tidak Piala Afrika dan Piala Asia, tidak pula Piala Libertadores atau juga Piala Champion yang menjadi rebutan klub klub terbaik di seantero Eropa.

Tak bisa disangkal, Piala Dunia adalah kejuaraan sepak bola paling berwibawa di muka bumi, dan FIFA (Fédération Internationale de Football Association) boleh berbangga atas hal itu. Pertaruhan wibawa sebuah negara dan perebutan supremasi tertinggi sepak bola menjadi titik utama Piala Dunia. Tak mudah untuk lolos ke babak kualifikasi final Piala Dunia. Setiap negara mesti melakukan serangkaian pertandingan babak penyisihan di masing masing zona dengan jatah ketat yang telah ditentukan FIFA. Namun, tahukah pembaca, siapa gerangan penggagas Piala Dunia sejak diadakannya pada 1930 di Uruguay? Kalau tak ada nama ini, mungkin saja kita tak akan mengenal apa itu Piala Dunia, dan perkembangan sepak bola bisa saja berjalan datar.

Nama yang dimaksud adalah Jules Rimet, seorang Perancis visioner yang membawa FIFA dalam rentang tahun tahun genting di suasana sosial politik dunia pada waktu itu, dan Rimet sukses menakhodai FIFA selama 33 tahun dari 1921 hingga 1954. Sukses terbesarnya adalah memprakarasai pertandingan sepak bola tingkat dunia di kelas profesional, tak lagi amatiran. Pikiran cemerlang Rimet mewujud lewat FIFA yang dipimpinnya.

Sebelum Perang Dunia kedua pecah pada 1939 yang sebab khususnya adalah invasi Jerman ke Polandia, Rimet sukses mengadakan tiga kali World Cup. Pertama, di Uruguay 1930, di Italia 1934, dan tahun 1938 di kampung halamannya sendiri, Perancis. Tak bisa dinafikan, inilah prestasi gemilang Rimet dalam menorehkan tinta emas bagi perkembangan sepak bola dunia. Pelaksanaan Piala Dunia perdana di Uruguay tentulah menjadi titik tolak dan sekaligus pertaruhan program yang digagasnya. Jaman Malaise yang mendera dunia dari 1929-1932 tak menghalangi niatnya untuk mengimplementasikan wacana yang ada dipikirannya. Rimet tak ingin bahwa omongannya berhenti disebatas cangkem saja. Ia ingin agar teori bergerak ke arah praksis.

Setiap permulaan pastilah sulit, mungkin Rimet pun merasakan hal ini. Nyatanya, semua berjalan seperti yang diharapkan. Piala Dunia Uruguay 1930 diikuti oleh 13 negara dengan jumlah penonton kurang lebih 434.500 orang. Juaranya adalah tuan rumah Uruguay yang menundukkan Argentina di babak final dengan skor 4-2.

Menyebut nama Jules Rimet sejatinya adalah bahwa saya tak ingin dan tak hendak melupakan jasa jasanya. Betul, bahwa tokoh FIFA yang lain seperti Guerin, Wollfall, Havelange, Blatter, dan lain lain juga berjasa, namun kredit lebih mestilah disematkan padanya. Meminjam istilah Bung Karno dalam salah satu pidatonya yang berjudul, “Jas Merah, jangan sekali kali melupakan sejarah”. Dengan menulis tentang Jules Rimet inilah saya hendak merawat ingatan sejarah agar tak digerus oleh laju waktu yang terus berlalu bahwa Piala Dunia yang dari waktu ke waktu semakin gemuruh dan gegap gempita bisa hadir karena pionir seorang bernama Jules Rimet. Rimet merupakan bagian penting-sangat penting-dalam memoles wajah FIFA umumnya dan sepak bola pada khususnya. Rimet menyadari betul ketika memangku jabatan sebagai Presiden FIFA bahwa kelak di kemudian hari sepak bola akan menjadi olahraga yang lebih profesional. Tilikannya tak meleset, saat ini sepak bola sangat mengglobal dan pada tingkat tertentu-bahkan-sudah terkomoditi dan terkomodifikasi.

*****

Namanya Jules Rimet. Melihat terangnya dunia pada tanggal 14 Oktober 1873 di Theuley-les-Lavoncourt, sebuah kota kecil di sebelah timur Perancis. Rimet lahir dari keluarga bersahaja-untuk tidak menyebutnya miskin-yang nafkah utamanya adalah berdagang kelontongan. Di usia 11 tahun, keluarga Rimet melakukan urbanisasi ke Paris. Tak dijelaskan mengapa mereka pindah ke Paris, mungkin untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sebagai bocah belasan tahun, Rimet tentu senang senang saja pindah ke sebuah kota besar, ibu kota Perancis.

Walau pada akhirnya Jules Rimet dikenal sebagai “Bapak Piala Dunia”, nyatanya di waktu kecil, Rimet tak menjadikan sepak bola sebagai kegemarannya. Ia lebih memilih olahraga berlari. Bahkan, dalam salah satu tulisan tentangnya, Rimet disebut sebagai orang yang tak pernah bermain sepak bola. Aneh ya? Hobi orang orang hebat memang tak pernah bisa diduga alias unik dan nyentrik.

Lulus dari sekolah menengah, Rimet bergegas melanjutkan studi hukum. Kecintaannya pada sepak bola disemai ketika mulai beranjak dewasa awal. Pada usia 24, tepatnya di Bulan Maret 1897, bersama dengan kawan kawannya mendirikan klub sepak bola lokal yang diberi nam Red Star. Inilah titik dimana Rimet mulai menceburkan diri dalam dunia sepak bola. Ia berkeyakinan bahwa olahraga pada umumnya dan sepak bola pada khususnya bisa menyatukan dunia.

Namanya mulai harum di jagad sepak bola ketika tahun 1910 ia berhasil mewadahi federasi federasi sepak bola Perancis dalam satu organisasi bernama FFF (Fédération Francaise de Football). Tahun 1914 ia menjadi utusan FFF pada Kongres FIFA di Christiania Norwegia. Di kongres inilah ia melontarkan gagasan brillian tentang perlunya sebuah kompetisi tersendiri bagi sepak bola, terpisah dari olimpiade. Di forum ini ia berkata “"Melihat pelaksanaan (sepak bola) di olimpiade yang sesuai dengan peraturan FIFA, sebaiknya FIFA melaksanakan turnamen sendiri. Jika sepak bola terikat dengan olimpiade, itu hanya akan seperti turnamen dunia amatir,". Tentu saja banyak yang tak setuju. Mereka menganggap bahwa ide yang dilontarkan Rimet tak matang secara konsep sebab hanya ingin memisahkan saja dari olimpiade. Mereka yang kontra mungkin berpikiran juga bahwa Komite Olimpiade Internasional lebih dulu berdiri ketimbang FIFA .

Jules Rimet maju terus. Ia tak gentar dengan masih sedikitnya dukungan terhadap gagasan penyelenggaraan turnamen sepak bola kelas profesional. Faktanya ia terus menanjak namanya. Gagasannya semakin mendapat ruang semenjak ia menjabat Presiden FFF pada 1919 dan dua tahun kemudian Rimet terpilih sebagai Presiden FIFA yang dijabatnya hingga 1954. Semakin leluasalah Rimet menggulirkan gagasan turnamen sepak bola empat tahunan. Rimet melihat bahwa sepak bola telah menjurus ke arah yang lebih profesional dan di olimpiade modern-hasil gagasan Pierre Baron de Coubertin-profesionalisme olahraga kurang berkenan untuk diperbincangkan dan apalagi dilaksanakan.

Dengan “keras kepala” dan menyakini kata hatinya, Rimet terus saja keukeu menggelindingkan gagasan ini, dan akhirnya-bersama koleganya, Henry Delauney-pada Kongres FIFA di Amsterdam tahun 1928, FIFA resmi mengajukan resolusi untuk mengajukan turnamen sendiri. Hasilnya, 25 negara mendukung kontra lima suara tak mendukung, dan Uruguay menjadi tuan rumah Piala Dunia pertama mengalahkan ajuan negara negara Belanda, Spanyol, Italia, Swedia, dan Hungaria.

Persoalan lain kembali muncul pasca ditunjuknya Uruguay. Tak semua sanggup mengirim kontingen bola ke negara itu. Selain mesti mengarungi ganasnya lautan Atlantik karena belum ada pesawat terbang yang mengangkut secara massal, juga karena jauhnya jarak nun di Benua Amerika sana. Beberapa negara di Eropa menolak untuk ikut turnamen. Negara negara rumpun Britania seperti Inggris, Skotlandia, Irlandia, dan Welsh belum perlu untuk mengirim delegasi bola ke Uruguay. Rimet tak patah arang. Dilobilah beberapa negara agar sudi mengirim kesebelasannya ke sana. Dua bulan jelang pembukaan, Belgia, Perancis, Yugoslavia, dan Rumania setuju buat mengirim tim ke sana.

Inilah sosok seorang Rimet yang tak menyerah oleh keadaan. Ia bahkan berhasil mengubah keadaan. Hambatan hambatan yang mengelilingi dirinya tak menjadi alasan untuk berhenti meraih mimpi mimpinya. Sebuah mimpi agar sepak bola menjadi olah raga populer dan sekaligus dihormati. Rimet tak henti hentinya mengubah tantangan menjadi peluang yang pada akhirnya tinta emas sejarah menoleh padanya. Di samping itu, Rimet tak hanya ingin menjadikan sepak bola sebagai olah raga an sich, ia mempunyai cita cita agar sepak bola menjadi alat pemersatu sekaligus duta bagi bangsa bangsa di seluruh dunia. Ia berharap bahwa sepak bola di suatu hari nanti, dapat mempersatukan ras manusia dalam kesatuan yang humanis, dimana ketika itu kepercayaan akan timbul tanpa kebencian dan tanpa penghinaan.

Agaknya, cita cita perdamaian yang diimpikan Rimet inilah yang menjadi alasan di tahun 1956 ia menjadi salah satu kandidat peraih Nobel Prize for Peace. Namun sayangnya, ia ditolak oleh panel juri Nobel, dan lebih aneh lagi pada tahun tersebut peraih hadiah Nobel Perdamaian tak diumumkan alias tak ada Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1956. Desas desus menyatakan, penyelengaraan Piala Dunia 1934 di Italia yang kebetulan pada masa kediktatoran fasisme Benito Musollini menjadi ganjalan bagi Rimet.

Dua tahun setelah mengakhiri masa jabatannya di FIFA, akhirnya Rimet wafat di Kota Suresnes, Perancis pada tanggal 16 Oktober 1956. Atas jasa jasa itu, piala yang diperebutkan sampai penyelenggaraan World Cup tahun 1970 di Meksiko dinamakan Trofi Jules Rimet. Di kampung halamannya, Theuley, pemerintah setempat membuatkan monumen sebagai penghargaan atas jasanya dalam mengubah dunia lewat sepak bola. Ini menjadi sebagian tanda bahwa tanpa Rimet mungkin tak ada Piala Dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun