Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ber-Kalajengking Ala Higuita

5 Juni 2010   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urusan sepak bola memang tak pernah tuntas diulas. Selalu saja menampilkan narasi narasi menarik dan tak terbayangkan sebelumnya. Ia bukan saja permainan an sich yang dibatasi oleh stadion berpagar dan bertempat duduk, melainkan lebih jauh dari itu. Dan sepak bola tentu saja tak melulu didefinisikan dalam bingkai olahraga, sepak bola telah melampaui hampir semua aspek kehidupan. Bisnis, politik, nasionalisme, etnis, hiburan, komoditi, industri, bahkan mungkin agama. Konon kabarnya, sebuah negara pernah melarang sepak bola karena dianggap melecehkan seorang suci yang diakui luas di negara tersebut.

Henrik Ibsen mungkin benar ketika berkata tentang sepak bola “Jika permainan ini tak ada, sia sialah dunia”. Sampai segitunya seorang Ibsen ihwal sepak bola. Ya iyalah, saya rasa juga demikian, kalau tak ada sepak bola mungkin dunia tak akan seramai sekarang. Berterimakasihlah pada Inggris yang menemukan sepak bola. Lain Ibsen lain pula Albert Camus. Penulis buku Mythe Sisifus ini pernah merasa berutang dengan sepak bola, “Jika bicara moral dan tanggung jawab, saya berutang dengan sepak bola”. Sepak bola memang mengajarkan banyak hal dan tanggung jawab yang mesti diperankan oleh para pelakonnya, tak hanya oleh 22 pemain, tetapi juga mesti dipatuhi oleh wasit, manager, pelatih, pemain cadangan, anak gawang, dan supporter. Masing masing mempunyai peran yang mesti dimainkan dengan fair play.

[caption id="attachment_159562" align="alignleft" width="280" caption="sumber: www.kaskus.us/showthread.php%3Ft...page%3D4"][/caption]

Eduardo Galeano, seorang wartawan Uruguay pernah menulis buku tentang sepak bola yang berjudul “Football in Sun and Shadow”. Terbit pertama kali tahun 1995, ditulis dalam Bahasa Spanyol. Ia menulis dengan mantap ihwal kiper misalnya. Menurutnya, kiper adalah, “Dia yang mengenakan nomor satu di punggungnya. Yang pertama kali menerima bayaran? Bukan, yang harus membayar lebih dulu. Selalu saja salah kiper. Dan kalaupun bukan, dia tetap yang disalahkan. Manakala ada pemain melakukan pelanggaran, dia satu satunya yang menerima hukuman: mereka membiarkannya di sana dalam kepungan jaring yang kosong, ditinggalkannya untuk menghadapi eksekutornya sendirian”.

Itulah tugas kiper. Ia adalah palang pintu terakhir ketika bola lolos dari sergapan bek kiri, kanan, dan tengah. Ia jugalah yang menghadang sendirian sebuah bola dari titik 12 pas. Ia bisa menjadi pahlawan manakala berhasil menahan bola ke gawang, namun bisa menjadi tertuduh ketika bola bergulir menghampiri jaring yang dijaganya. Dan tak semua mampu menjadi kiper. Kiper adalah perpaduan antara badan kuat yang berani adu fisik dan mentalitas berlipat ketika gawang terancam genting.

Ada banyak kiper yang pernah merumput di panggung sepak bola dunia, khususnya Piala Dunia, dan saya tak melupakan kiper yang satu ini. Seorang Kolombia nyentrik yang pernah menjaga mistar gawang dengan nyentrik pula. Berambut gimbal dengan kulit kehitaman. Nama lengkapnya adalah Jose Rene Higuita, lahir di Medellin Kolombia pada tanggal 27 Agustus 1966. Pernah berkiprah di World Cup yang tentunya memperkuat Kolombia. Ia seangkatan dengan-kalau tak salah-Carlos Valderrama yang gimbal juga. Selain menjadi kiper yang tugas utamanya menjaga gawang, Higuita juga beberapa kali pernah mencetak gol, total gol yang diciptakannya adalah 57 termasuk delapan gol yang diciptakannya untuk tim nasional Kolombia. Ketakbiasaan seorang kiper inilah yang mungkin menyebabkan ia dijuluki sebagai El Loco yang berarti Si Gila.

Salah satu “kegilaannya” yang dikenang hingga sekarang adalah ketika ia beraksi melakukan scorpion kick yakni menahan tendangan yang dilakukan Jamie Redknapp pada laga persahabatan antara Kolombia dan Inggris di Stadion Wembley Bulan September 1995. Ia ketika itu bukan menahan bola dengan tangan melainkan dengan kaki ditarik melengkung dan badan yang ditekuk ke belakang. Reporter yang mengomentari pertandingan itu bahkan terheran heran dengan aksi El Loco ini. Untuk melihat aksi hadangan kalajengkingnya klik disini .Tak selalu sukses memang ketika Higuita beraksi nyentrik. Higuita pernah kena “batunya” ketika Kolombia menghadapi Kamerun di laga Piala Dunia. Dan Roger Milla adalah pelakunya.

Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia, pernah menyebut bahwa sepak bola menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik. Aksi individual Higuita inilah yang mungkin dapat dimasukkan dalam komponen inisiatifnya Gramsci.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun