Mohon tunggu...
Asep Bahtiar Pandeglang
Asep Bahtiar Pandeglang Mohon Tunggu... Wiraswasta - bahtiar.net

Baca buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Embuhlah, Tulisane Opo Iki

23 Desember 2021   04:31 Diperbarui: 23 Desember 2021   04:40 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masalahnya, iman kita kepada Sang Pencipta adalah buah dari pohon kita adanya. Kami beruntung telah bertemu orang-orang baik. Bayangkan, apa jadinya jika kita bertemu dengan orang yang berniat buruk. Buah kita berat, sedangkan akar kita, keyakinan kita pada diri sendiri belum begitu kuat. Karena kita sendiri tidak terlalu mengenal diri kita sendiri. Karena iman kita hanyalah "suap". Tanpa diimbangi dengan usaha kita sendiri untuk 'makan dan mengunyah'. Kalau begitu, bukankah pohon kita akan mudah dirobohkan oleh orang-orang yang berniat jahat?

Sekali lagi, kita harus menyeimbangkannya dengan terus mencari, berdialektika dengan diri sendiri, belajar mengenali diri sendiri. Ada hal lain yang berkontribusi pada stabilitas saya dalam sikap identifikasi diri ini. Katakanlah kita hidup dalam ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang dan waktu, setidaknya ada dua arah gerakan yang bisa kita lakukan di dalamnya. Bergerak ke atas (vertikal) atau bergerak ke samping (horizontal). Gerak kesamping yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya terbatas ke kanan dan ke kiri, tetapi juga ke depan dan ke belakang.

Katakanlah dialektika kita dengan diri kita sendiri adalah gerakan horizontal. Sedangkan menuju Tuhan adalah gerakan vertikal. Sekarang mari kita perkenalkan diri kita. Ke arah mana kita akan bergerak, jika kita terjebak dalam gerakan menyamping. Pilihan lain tetap ada, bukan? Artinya jika kita belajar membiasakan diri mengasah hati dan pikiran, belajar berdialektika dengan diri sendiri, pada akhirnya tidak akan ada pilihan lain. Selain itu, kami terbang ke "surga", semakin dekat dan dekat dengan Pemilik semua langit.

Bagaimanapun, ini kurang lebih kontribusi pada jawaban atas keingintahuan saya. Bagaimana Maiyahan ini bisa mengajarkan kita untuk belajar budaya, sejarah, membaca diri, berdialektika dengan diri sendiri, mengasah akal dan hati nurani. Bukannya sibuk menyampaikan ucapan-ucapan agama. 

Bagaimana mungkin Maiyah bisa diterima oleh jamaah yang berbeda agama. Ya, sebelumnya karena ini. Di sini kita tidak hanya diberi makan dengan argumen. Kita diajak untuk mengenal diri kita sendiri, berdialektika untuk menemukan Yang Esa. Dan bukankah wajar bahwa jauh di dalam kesunyian yang paling dalam, setiap hati pada dasarnya merindukan Yang Esa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun