Mohon tunggu...
Asep Bahtiar Pandeglang
Asep Bahtiar Pandeglang Mohon Tunggu... Wiraswasta - bahtiar.net

Baca buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Embuhlah, Tulisane Opo Iki

23 Desember 2021   04:31 Diperbarui: 23 Desember 2021   04:40 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya rasa apa yang dikatakan Cak Nun ada benarnya juga. Karena di Maiyahan kita tidak hanya penuh dengan argumen Arab, yang seringkali saya masih tidak mengerti apa maksudnya. Semuanya bisa diterangi di sini. Tidak ada penghalang yang memisahkan pengetahuan ini dan itu.

Kita sering diajak untuk mengakui budaya kita sendiri. Pergi melalui sejarah. Siapa kita, budayanya apa, tentang tempat kita dilahirkan, siapa dan bagaimana kakek nenek kita, seperti apa masa lalu bangsa kita dan sebagainya. Yang jelas, kita diajak untuk tetap berdialog dengan diri sendiri untuk menemukan jawaban siapa diri kita sebenarnya. Kita juga diajak untuk berdamai dengan diri sendiri, belajar dialektika dengan diri kita sendiri, agar kita juga bisa memiliki hati yang penuh.

Kalau dipikir-pikir, kenapa orang-orang ini malah mengajak kita untuk penasaran dengan diri kita sendiri. Bukannya diajari membaca ayat-ayat Al-Qur'an atau semacamnya seperti bacaan umum. Bahasa kekiniannya, biar terlihat lebih 'islami', lho. Lalu seseorang berkata, "Apa di dunia ini yang tidak Islami?" Nah, Anda sendiri yang tahu dan merasakannya.

Sedikit cerita, kebetulan beberapa hari yang lalu saya teringat sebuah hadits oleh seorang guru. Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu. Dia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Logikanya, jika seseorang sudah mengetahui siapa dirinya, ia akan menemukan siapa Tuhannya.

Namun, kedua premis tidak bisa begitu saja dibalik. Artinya, tidak perlu jika seseorang adalah 'arafa rabbahu', dia akan menjadi 'arafa nafsahu'. Dalam matematika ada yang namanya implikasi. Jika p, maka q. Belum tentu benar jika q, maka p. Karena tidak ada jaminan bahwa pernyataan ini akan benar.

Jika hari ini hujan, saya akan membawa payung. Belum tentu benar pernyataan 'kalau saya ambil payung, hari ini akan hujan'. Jika dia mencintaiku, aku akan melamarnya. Belum tentu benar kalimat, 'kalau aku melamarnya, dia akan mencintaiku'.

Menusuk 'akar'

Menurut pengakuan sang guru, langkah ini sangat membantunya dalam membuat murid-muridnya mengenal siapa Tuhannya dan berjalan menuju-Nya. Dengan belajar mengenali potensi diri, apa kelebihan dan kekurangannya, para siswa Guru dapat bercinta dengan Tuhan Yang Maha Esa. 

Agama, kepercayaan, keyakinan seseorang adalah privasi dia sendiri. Ini semua urusan dapur seseorang. Jadi tidak etis jika kita tiba-tiba memadamkan api di dapur orang lain. Kecuali jika pemilik dapur sendiri yang mengajak kita berhenti di situ. Karena itu, ia lebih memilih mengajak siswa belajar mengenal diri sendiri, ketimbang 'menstimulasi' agama dan keyakinan siswa.

Bagaimana dengan kita yang telah belajar mengenal Tuhan? Apakah ini salah? Haruskah kita segera menghapus semua ingatan kita tentang Tuhan? Maka mulailah dari awal, belajarlah terlebih dahulu untuk mengenali siapa diri kita sebenarnya.

Tentu saja tidak demikian. Tidak ada salahnya belajar mengenal Tuhan sebelum mengenali siapa diri kita sebenarnya. Selama ada kemauan untuk mengimbanginya dengan belajar mengenali siapa diri kita. Dengan belajar dialektika, kita belajar mengasah hati dan pikiran kita agar iman kita kepada Sang Pencipta semakin kokoh. Sampai tidak ada keraguan tentang laa ilaha, kecuali Allah, illallah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun