Alkisah ada seorang guru bernama Pak Karja, beliau mengajar matematika di sebuah SMP yang cukup terkenal dikotanya. Mengawali tahun pelajaran 2013/2014 ini beliau sempat mendapat panggilan untuk mengikuti pelatihan implementasi Kurikulum 2013 di bulan Ramadhan selama enam hari. Karena sangat tertarik dengan ide dan latar belakang perubahan tersebut, Pak Karja merasa bahwa apa yang diharapkan oleh kurikulum baru tersebut adalah suatu keharusan yang harus diwujudkan oleh segenap pelaksana pendidikan di Indonesia, jika bangsa ini tidak mau tertinggal oleh bangsa lainnya di abad 21 ini.
Pak Karja paham bahwa dalam implementasi kurikulum ini dia harus mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap kegiatan di sekolah, dia sadar bahwa upaya itu harus diaplikasikan juga oleh murid-muridnya dalam kehidupan sehari-harinya di dalam maupun di luar sekolah, dan dia mengerti jika sistem penilaian yang harus dilakukan bersifat otentik, lebih mengutamakan proses dari pada hasil.
Pada awalnya Pak Karja menganggap mudah apa yang harus dia lakukan dalam pelaksanaan pembelajarannya, namun seiring bertambahnya pemahamannya akan makna integrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam pelaksanaan pembelajaran, dia mulai merasa kewalahan. Hampir semua buku yang dibaca oleh Pak Karja menyatakan bahwa keberhasilan suatu proses belajar mengajar akan sangat ditunjang oleh lingkungan sekitar. Dalam pembelajaran dan penerapan ranah sikap, Pak Karja mulai kesulitan untuk memberikan contoh-contoh seseorang yang berhasil karena karakternya yang baik, karena hampir di segala lapisan masyarakat tidak ada tokoh yang betul-betul diharapkan sesuai dengan karakter yang diinginkan oleh tuntutan kurikulum yang disampaikannya. Bahkan media-media informasi pun lebih banyak menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan karakter yang diharapkan, semuanya menyampaikan kebusukan-kebusukan pemimpin daerah, pengurus parpol, atau kebobrokkan para penegak supremasi hukum.
Pak Karja berkesimpulan, hampir tidak ada tokoh-tokoh yang dapat dijadikan suri tauladan bagi siswa-siswanya, akhirnya dia berpikir kenapa tidak mencoba untuk memberi contoh dari para tokoh di lingkungan sekitar sekolah atau tempat tinggal siswa saja, atau bila perlu orang tua mereka sendiri. Ya, kenapa tidak? Namun kegembiraan Pak Karja seketika hilang, dia teringat ternyata tokoh-tokoh disekitar juga tidak ada yang layak untuk dijadikan contoh, bahkan setelah dipikirkan lebih lanjut dia menemukan fakta bahwa hampir semua orang tua siswa yang dia kenal juga memiliki karakter-karakter yang tidak dia harapkan, ada polisi yang suka pungli, PNS yang korupsi, tokoh agama yang poligami dan hal-hal buruk lainnya,… hampir semua….tidak sesuai dengan karakter yang dia harapkan. Dan yang lebih parah lagi, Pak Karja melihat jika para siswanya sudah tidak merasa malu lagi dengan kelakuan orang tuanya, bahkan mereka membanggakannya….
Pak Karja terhenyak, harus mulai dari mana saya melaksanakan tugas untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini? Saya kah yang harus memulai semua ini…? Sayakah yang harus memulai mengubah karakter buruk yang sudah mendarah daging ini…? Kalau tidak saya, siapakah yang bertanggungjawab atas semua ini…? Bisakah saya memulainya…? Bisakah saya… bisakah saya… bisakah saya… sampai dia tertidur kelelahan memikirkannya.
Dalam tidurnya Pak Karja bermimpi, dia dikerubuti oleh para penggagas Kurikulum 2013. Dia disidangkan karena ketidakmampuannya untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut, oleh para anggota DPR yang meloloskan program tersebut dia ditanya: “Karja kenapa kamu tidak bisa…?” belum sempat menjawab dia sudah ditanya oleh para penggagas dari Depdikbud: “hai…Karja, kenapa kamu tidak mampu…?” bahkan dia diberondong pertanyaan-pertanyaan oleh para pihak yang diuntungkan oleh digulirkannya program ini, “kenapa begini…? kenapa begitu…? kenapa…?”
Pak Karja tersudutkan, dia menangis… dalam tangisannya dia berkata: “bukan…bukan saya tidak bisa… bukan saya tidak mampu… bukan saya tidak mau… hanya saja saya tidak mampu… saya tidak mampu memberikan contoh nyata yang ingin diterapkan oleh kurikulum ini… saya tidak bisa mencontohkan tokoh-tokoh yang dapat diteladani oleh siswa-siswa saya, saya juga tidak bisa mencontohkan Bapak-bapak semua yang ada di hadapan saya, karena saya tahu sifat-sifat itu tidak dimiliki, bahkan saya tidak bisa mencontohkan orang-orang yang ada di sekitar siswa-siswa saya tersebut, termasuk saya sendiri... Jadi harus darimana saya memulai…? Tolong Bapak/Ibu jawab: “siapa yang pantas menjadi teladan bagi siswa-siswa kita, dari mana saya harus memulai mengubah karakter buruk bangsa ini yang sudah dicontoh oleh siswa-siswa kita dan sudah mendarah daging, karena kita semua sudah tercemari…? Siapa pa…? Siapa bu…?...” (pertanyaan tersebut terus diulang-ulang oleh Pak Karja karena mereka tidak ada yang menjawab, bahkan satu per satu mereka mulai meninggalkan Pak Karja yang masih kebingungan… sampai akhirnya dia terjaga dari mimpinya).
(Subang, 1 November 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H