Mohon tunggu...
Ikhsan Fauzi
Ikhsan Fauzi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas/freelancer

Hanya penikmat sastra @ekfrasiss

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Novel "Sumi" Karya Jazuli Imam

12 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 13 Februari 2021   18:25 4313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prestatif akademik, besar dalam keluarga taat beragama, dan diterima sebagai pekerja di salah satu perusahaan asuransi ternama adalah kenikmatan yang menjelma tegangan dalam diri Sumi. Keinginan Sumi dan norma paksaan yang dominan, serupa jembatan putus yang membuat pemuda itu harus diam dan mengalah. Perlawanan akhirnya pecah, ketika Sumi dengan pylox hitam mencoret jargon kantor asuransi tempatnya bekerja “Certainty & Security For Your Life”. Sumi tuliskan ulang di dinding palet, “Life is Adventure, Or Nothing”.
Setahun berlalu, ribuan kilo sudah Sumi berjalan keluar. Alih-alih menemukan kedamaian yang didambakan, yang terjadi, di Jakarta, di kota, desa dan mana-mana, semua orang sama sakitnya. Memilih pulang pada puisi dan tergantungnya Sumi dengan antidepresan, seolah mempersempit ruang Sumi bertahan hidup.
Kedamaian apa yang Sumi cari? Novel ini akan mengajak kita berperjalanan bersama Sumi menemukan jawabannya.

Sekilas dari uraian blurb pada novel tersebut, sedikit banyaknya bisa kita dapati gambaran awal akan situasi yang dialami oleh tokoh utama pada cerita. Keresahan Sumi akan hubungan sosialnya yang dirasa kurang sehat, memaksanya untuk berkehendak sesuai keinginannya. Keresahan yang berujung pada pemberontakan dan konflik batin yang memuncak. Kebahagiaan Sumi yang direnggut oleh keluarganya sendiri, terutama dominasi sang ayah atas dirinya. Norma-norma yang dipaksakan dan ditanamkan padanya, justru membuat Sumi terikat dan kehilangan dirinya sendiri. Itulah titik awal pemberontakannya. Bukan hanya dalam hubungan internal keluarganya, hal serupa juga mencederai nama baiknya di tempat ia bekerja. Tak ada lagi harapan dalam benaknya. Perjalanan panjang harus ditempuh Sumi sebagai suatu keputusan paling berani yang ia kehendaki. Sebuah perjalanan untuk menjadi dirinya sendiri.

Pencitraan awal oleh Jazuli Imam selaku penulis, berhasil menjembatani orientasi cerita menuju bagian lainnya, dalam hal ini adalah komplikasi daripada cerita itu sendiri yang ditandai dengan dimulainya perjalanan panjang Sumi, dengan segala gejolak dan resah yang tak berkesudahan. Sebuah perjalanan yang identik dengan latar belakang penulisnya, nuansa kepecinta alamannya begitu lekat. Idealisme hidup yang kuat ditanamkan pada setiap karya-karyanya. Seperti halnya dalam novel ini, sosok Sumi dihadirkan dengan membawa serta pemaknaan-pemaknaan yang mendalam dari apa yang ia alami lewat puisi-puisi yang ditulis dalam buku hariannya.

Sumi dalam perjalanannya, kini berada di Ujung Timur sebuah wilayah yang sedari awal memang menjadi tujuan utamanya. Pertemuan demi pertemuan telah Sumi lalui, termasuk pertemuannya dengan Bapak Stefan seorang penduduk asli Marlo. Sumi begitu dekat dengan Bapak Stefan, layaknya bapak dan anak. Mereka kerap menghabiskan hari bersama. Tak terbesit sedikit pun dalam diri Sumi untuk melanjutkan perjalanannya, seolah tinggal bersama Bapak Stefan benar-benar menjadi tujuan terakhirnya. Namun pada akhirnya, justru Bapak Stefan lah yang membuat Sumi memutuskan untuk berjalan lebih jauh. Pada sebuah daerah yang sebelumnya sempat terlintas di benaknya. Itulah Bigel, sebuah daerah yang pernah terpikirkan olehnya kala menulis di buku harian. “Telah lahir; Sumi, tulisnya dalam buku harian pada suatu malam, seolah ia belum pernah hidup sebelumnya. Sebuah kabupaten bernama Bigel, 500 kilo meter dari Marlo, melintas di kepalanya ketika ia menuliskan kata-kata itu.”

Sumi memulai perjalanannya menuju Bigel dengan segala keterbatasan. Kejadian tidak mengenakkan, telah merugikan Sumi. Usai memberikan beberapa buah buku untuk seorang anak kecil bernama Klas, ia kehilangan dompetnya. Meskipun begitu, keterbatasan tersebut bukanlah halangan bagi Sumi untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju Bigel. Sumi yakin, bahwa sesuatu yang baru akan menghampirinya selama perjalanan menuju Bigel. Sebuah ungkapan yang meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap berjalan, dengan kondisi dan situasi yang berbeda dari sebelumnya. “Ketiadaan menciptakan ruang, riang, kosong. Segala hal akan datang untuk mengisi yang kosong, pikirnya. Sumi berharap mendapatkan hal dan pengalaman yang berbeda dari perjalanannya kali ini.”

Dalam perjalanannya menuju Bigel, acungan jempol demi acungan jempol telah Sumi layangkan pada kendaraan yang nampaknya jarang sekali melintas. Upaya tersebut pada akhirnya tak membuahkan hasil. Sumi terus melanjutkan perjalanannya. Suatu ketika, pertemuannya dengan Pak Saldi ketika Sumi sampai di Marta; yang mana Pak Saldi merupakan seorang kepala desa, telah memberi Sumi jalan keluar. Kala itu Sumi dihadapkan pada suatu peristiwa dimana dirinya dituduh sebagai pemberontak oleh aparat keamanan, pada saat Sumi bermalam di hutan. Sumi masih bisa selamat, setelah pukulan gagang senapan menghantamnya berkali-kali. Pak Gun seorang kepala tentara, mengetahui bahwa pemuda yang dicurigai dan dituduh itu mengenal Pak Saldi, kepala desa Marta.

Singkat cerita, di rumah Pak Saldi Sumi dipertemukan dengan seorang relawan sarjana yang bertugas sebagai perawat bernama Dawiyah. Sosok Dawiyah lah yang kemudian berhasil menghidupkan Sumi kembali. Sumi yang telah lama kehilangan kendali atas dirinya, kini seolah menemukan jati dirinya kembali. Seolah ia menemukan sosok yang menjadi puisi dalam hidupnya, yang mampu mengetahui apa yang tersembunyi dan penuh misteri pada kedalaman dirinya yang ia cipta.

Sumi layaknya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Jazuli Imam menegaskan hal tersebut dengan menggambarkan Sumi sebagai seseorang yang memiliki ketergantungan pada obat antidepresan yang selalu ia dapat dari seorang psikiater. Fakta itu terungkap tatkala hubungan Sumi dan Dawiyah sedang manis-manisnya. Sumi yang kelabakan karena persediaan obatnya telah habis, membawanya pada keadaan sindrom putus zat yang mengkhawatirkan. Dawiyah yang seorang perawat mengetahui hal tersebut, sebab sebelumnya ia pernah punya pengalaman pada kasus yang sama, tatkala keadaan tersebut menimpa ibunya sendiri. Melihat hal tersebut terjadi pada diri Sumi, dengan sabar Dawiyah menemani dan mengurus Sumi sebagaimana dulu ia menemani ibunya. Dawiyah tahu Sumi membutuhkannya, seolah pemuda yang dicintainya itu menyimpan satu hal lain yang tak semua orang dapat melihatnya.

Ketidaksempurnaan Sumi juga ditunjukkan tatkala Sumi melepas rindu dengan Dawiyah. Sebelumnya Sumi dan Dawiyah terpisah sebab secara mendadak Dawiyah dipindah tugaskan ke Sungai Biru. Dalam pertemuan tersebut mereka melakukan hal yang dianggap tidak sepantasnya dilakukan di tempat umum. Sama-sama merasakan kerinduan yang mendalam membuat Sumi dan Dawiyah hilang kendali, seolah dunia hanya diisi oleh mereka berdua. Dari situlah perjalanan Sumi selanjutnya bermula. Sebab apa yang dilakukannya dengan Dawiyah saat melepas rindu itu, telah memberi kesempatan emas kepada orang-orang yang tidak menyukai hubungan mereka berdua.

Sumi kembali terpisah dengan Dawiyah yang sekarang entah ditugaskan dimana. Akhirnya dengan segala derita yang ditanggungnya, Sumi menatap kembali tujuan awalnya melakukan perjalanan yang sudah begitu jauh dilaluinya. Bigel kembali melintas dalam benaknya. Terlebih ketika Sumi menyangka kalau Dawiyah telah ditugaskan di sana. Perjalanannya telah dimulai kembali.

Kini dalam perjalanannya menuju Bigel, Sumi telah melalui berbagai tantangan yang menghampirinya selama dalam perjalanan. Sumi berhasil berlari menghindar dari pos perbatasan, kabur dari hewan-hewan penghuni hutan, dan berhasil keluar dari hutan Yaba yang menghambatnya. Hingga akhirnya Sumi dipertemukan dengan sekelompok scooterist yang sedang beristirahat ketika melakukan perjalanan yang sama, menuju Bigel. Setiap lekukan peristiwa yang dialami, telah menghadirkan banyak hal baru kepada Sumi. Termasuk perkenalannya dengan sekelompok scooterist yang sedang bersamanya kali ini. Diantara mereka, Metta seorang pejalan sekaligus scooterist itu telah mengajarkan Sumi suatu hal yang begitu berharga, yang ia tulis dan diabadikan dalam buku hariannya. Metta berkata “Membesarkan cinta kasih itu kaya bikin api unggun. Mula-mula bakar kertas, kemudian daun kering, kemudian ranting besar. Saat api telah berkobar, kayu basah pun akan menyala. Kalau sudah nyala enak, hangat, cemerlang, dan senantiasa berkobar di dada sang penyala.”

Perjalanan pun terus berlanjut menuju Bigel. Dari secarik kertas yang tertulis nama Dawiyah, sebagai satu-satunya harapan. Buah dari kelicikan Nina dan Kepala Puskesmas. Sumi, kini berjalan mengikuti suara hatinya. Pertemuan demi pertemuan pun kembali dilaluinya. Realita hutan Ujung Timur yang memesona, serta kontradiksi kelestariannya telah membawa Sumi pada keadaan dilema akan keberadaannya di sana. Bukan hanya itu, berbagai kondisi sosial kebudayaan pun telah ia temui. Dalam hal ini, termasuk pertemuannya dengan Pak Bardi, Wesley, dan lainnya yang ternyata saling berhubungan dan bertautan. Hingga pada puncaknya, Sumi diselamatkan oleh Wesley di tengah konflik antar orang non Ujung Timur dengan orang asli Ujung Timur. Peristiwa itu ialah buntut dari konflik yang terjadi di Jakarta, Yogyakarta dan daerah lainnya.

Selain itu, peristiwa tersebut telah membawa Bapak Sumi untuk menyelamatkan dua orang mahasiswa asal Ujung Timur dan dengan senang hati menampung di rumahnya. Perlahan, dari serangkaian kejadian yang telah dilalui, Bapak Sumi akhirnya menyadari akan kesalahan yang telah diperbuatnya.

Sementara itu, tatkala situasi dan kondisi tak berpihak pada orang Ujung Timur, Sumi dipertemukan kembali dengan sosok Oge, yang tidak lain ialah bapak angkat Klas. Dari anak angkatnya lah Oge tahu tentang Sumi. Pada akhirnya, Sumi berhasil selamat dari kecamuk di Ujung Timur. Seiring dengan itu, telah tersiar pula berita-berita dan tampilnya orang-orang yang berpengaruh dalam perdamaian atas konflik yang terjadi. Atas pertolongan Oge, Sumi selamat dan bisa bertemu kembali dengan Bapak Stefan di Marlo.

Semenjak kejadian itu, Sumi akhirnya memutuskan pulang ke Jakarta dan mengakhiri perjalanannya. Dengan membawa harapan baru, jiwa yang baru, serta suasana dalam keluarga yang kini sepenuhnya baru. Sumi telah menemukan dirinya kembali.

Akhir cerita ditutup dengan Sumi yang menemukan kembali cintanya, Dawiyah. Melalui surat yang telah dititipkan kepada Bapak Stefan, Sumi berhasil menemui Dawiyah dari jelinya membaca puisi. Semacam petunjuk yang telah mempertemukan kembali mereka berdua, di Taman Arung Palakka.

Sebuah novel yang patut diapresiasi, Jazuli Imam dengan segala kekhasannya telah berhasil menyematkan berbagai aspek kehidupan dengan pemaknaan yang mendalam. Hal itu mencakup kritik sosial, budaya, agama, dan pemahaman akan kelestarian alam yang tak pernah luput dari karya-karyanya. Novel ini sejatinya akan menambah wawasan kita. Banyak pelajaran yang bisa diambil setelah membaca novel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun