Mohon tunggu...
Asep Totoh Widjaya
Asep Totoh Widjaya Mohon Tunggu... Dosen - Keep Smile and Change Your Life

Guru SMK Bakti Nusantara 666-Kepala HRD YPDM Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kab.Bandung, Wakil Ketua BMPS Kab. Bandung, Dosen di Universitas Ma'soem, Konsultan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Awas, Jangan Jadi Guru Penyakitan

10 Agustus 2020   05:36 Diperbarui: 10 Agustus 2020   05:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEMOGA dengan beberapa coretan kecil ini akan memberi pandangan khususnya bagi orang-orang yang menjadi guru dan juga menjadi calon guru. Paling utama, tulisan ini adalah sebagai bentuk teguran dan refleksi diri penulis sendiri. 

Guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru dituntut sebagai guru yang benar-benar mampu memahami eksistensinya dalam dunia pendidikan. Ibarat perjalanan tanpa kompas, tentulah arah yang akan kita inginkan sulit ditemukan. Demikian halnya, tanpa guru siswa juga akan kehilangan arah sehingga kemudinya tidak berjalan dengan baik.

Dalam penerapannya, seorang guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik seperti kemampuan mengelola pembelajaran, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hasil belajar.

Menarik dicermati kondisi data guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan mengingat peran guru dalam upaya membangun mutu sumber daya manusia sangat strategis. Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menjelaskan, tak hanya guru, 70 persen dari total kepala sekolah juga belum memiliki kompetensi standar.

Rendahnya kompetensi tersebut akibat dari guru dan kepala sekolah sudah tak tertarik dengan tantangan membangun SDM berkualitas, penilaian terebut didasarkan pada data hasil UKG yang belum memuaskan. Yakni, pada 2015 nilai rata-rata guru secara nasional untuk guru TK sebesar 43,74 poin. Guru SD 40,14 poin, guru SMP 44,14 poin dan guru SMA 45,38 poin. Dan sampai pada UKG 2017, nilai rata-rata belum mencapai 70 poin. Kualitas pendidikan di Indonesia masih menjadi perhatian sampai saat ini, hal ini disebabkan karena banyaknya kendala yang mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Menurut Nana Subini (2012) menyatakan beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh guru, di antaranya: Pertama, kesalahan yang berhubungan dengan penampilan, seperti menggunakan kerudung gaul di kelas, rambut sembrawut, merokok di sekolah, menggunakan make up yang tebal (menor), pakaian super ketat, dan sebagainya. 

Kedua, Berhubungan dengan akademik, seperti tidak membuat administrasi (RPP), tidak pernah membuat program tahunan dan program semester, tidak pernah memberi presensi, tidak pernah menganalisis hasil pembelajaran, dan lain-lain. Ketiga, Berhubungan dengan proses pembelajaran, seperti berpikir egosentris, merasa paling pintar, tidak peka pada suasana kelas, tidak menguasai materi, dan sebagainya. 

Keempat, Berhubungan dengan kedisiplinan, seperti korupsi waktu, terlambat masuk kelas, sering bolos ngajar, main HP atau sibuk bermedsos saat mengajar, dan lain-lain. Kelima, Berhubungan dengan psikologis siswa, seperti kurang bahkan tidak memahami kondisi psikologis siswa, tidak memberi contoh teladan, dikenal sebagai guru killer, terlalu permissive, dan lain sebagainya.

Sejalan perubahan dan perkembangan profesi guru, berdasarkan hasil riset dan survey berbagai pihak ditemukan beberapa penyakit yang bersarang pada diri guru sehingga guru tersebut tidak profesional dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ketika diketik #penyakitguru ternyata banyak ditemukan akronim atau istilah-istilah temuan seperti; DBD (Diam Banyak Duduk), LETIH (Lebih banyak Tidak Hadir), LESU (Lemah Sumber), ASMA (Asal masuk kelas), ASAM URAT (Asal Sampai Materi Urutan tidak Akurat), BATUK (Baca Ngantuk), DIABETES (Dihadapan Anak Bekerja Tidak Serius), DIARE (Di kelas Anak diRemehkan), GATAL (Gaji Tambah Aktifitas Lesu), GINJAL (Gaji Nambah Jarang Aktif dan Lambat), HIPERTENSI (Hilang Perhatian Terhadap Nasib Siswa).

KANKER (Kantong Kering), KUDIS (Kurang Disiplin), KURAP (Kurang Rapi), KUSTA (Kurang Strategi), MUAL (Mutu Amat Lemah), LIPER (Lekas Ingin Pergi), PROSTAT (Program dan Strategi tidak dicatat). REMATIK (Rendah Motivasi Anak Tidak Simpatik), STRUK (Suka Terlambat Untuk masuk Kelas), TBC (Tidak Bisa Computer) alias gaptek (gagap teknologi), TIPUS (Tidak Punya Selera), THT (Tukang Hitung Transport), SALESMA (Sangat Lemah Sekali Membaca), MENCRET (MENgajarnya Ceramah Terus), SEMBELIT (Sedikit Membaca Literatur), AIDS (Angkuh, Iri, Dengki, Sombong), dan mungkin banyak lagi penyakit yang bisa ditemukan.

Yakin saja jika setiap penyakit ada obatnya, termasuk juga penyakit guru tersebut. Terdapat pula keterangan lainnya yang menyatakan " Mencegah lebih baik dari pada mengobati", kuncinya adalah keamuan kita untuk selalu menjadi guru profesional yang mampu mengevaluasi dirinya dalam memberikan proses pemelajaran dan pendidikan yang akan bermakna bagi masa depan generasi penerus bangsa ini. Pandemi Covid19 pun seolah menyadarkan kita, kita dipaksa untuk beradaptasi dengan perubahan radikal yang sebelumnya lamban kita untuk melakukan perubahan, bahkan ada beberapa kebiasaan kita yang sendirinya mampu kita atasi sebagai solusi dari penyakit kita itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun