Banjir Jakarta makin hari makin melebar dari hanya persoalan air merambah ke persoalan politik. Ada yang mengaitkan persoalan banjir dengan pilpres 2024, ada yang membawanya ke ranah pansus DPRD DKI, ada yang meminta gubernur turun, sampai pada saling sudutkan tentang kewenangan pusat dan daerah.
Sejatinya persoalan banjir didudukkan sebagai persoalan alam semata. Pemerintah pusat dan DKI serta semua komponen masyarakat seyogyanya berpadu padan dan bergotong royong dalam menyelesaikan masalah banjir. Semua berpikir dan berbuat untuk menyelesaikan masalah banjir.
Tidak elok dalam situasi banjir ini dibawa-bawa dalam ranah politik. Tidak elok pula membandingkan cara penanganan banjir gubernur yang satu dengan gubernur yang lain, karena tidak apple to apple.  Situasi alam, demografi dan geografi  tidak sama.Â
Kini harusnya duduk bersama antara pemerintah pusat sebagai leader dan gubernur sebagai pemilik daerah  mencari solusi yang baik agar masalah banjir tidak berlarut-larut. Karena masalah banjir bukan hanya masalah Jakarta, tetapi juga masalah kita semua.Â
Seperti diketahui, banjir Jakarta berasal dari Sungai Ciliwung. Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Jakarta. Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak.
Seperti ditulis di Wikipedia, Ci Liwung, atau biasa ditulis Ciliwung adalah salah satu sungai terpenting di Tatar Pasundan, Pulau Jawa - Indonesia; terutama karena melalui wilayah ibu kota, DKI Jakarta, dan kerap menimbulkan banjir tahunan di wilayah hilirnya.
Panjang aliran utama sungai ini adalah hampir 120 km dengan daerah tangkapan airnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi. Sungai ini relatif lebar dan di bagian hilirnya dulu dapat dilayari oleh perahu kecil pengangkut barang dagangan. Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Jakarta.
Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak.Â
Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Ciliwung bermuara di daerah Luar Batang, di dekat Pasar Ikan sekarang. Di sebelah barat, DAS Ciliwung berbatasan dengan DAS Ci Sadane, DAS Kali Grogol dan DAS Kali Krukut. Sementara di sebelah timurnya, DAS ini berbatasan dengan DAS Kali Sunter dan DAS Kali Cipinang.Â
Di daerah Manggarai aliran Ciliwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena telah dibuat kanal-kanal semenjak zaman Belanda dulu, seperti kanal di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Di Manggarai, dibuat Kanal Banjir Barat yang mengarah ke barat, lalu membelok ke utara melewati Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, hingga ke Pluit. Sedangkan Kanal Banjir Timur direncanakan mulai dari sekitar wilayah Kampung Melayu ke timur, menghubungkan aliran-aliran Ciliwung, Ci Lilitan, Ci Pinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Cakung, hingga ke wilayah Marunda.Â
Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan permukiman-permukiman kumuh.
Sungai ini juga dianggap sungai yang paling parah mengalami perusakan dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Selain karena daerah tangkapan airnya di bagian hulu di wilayah Puncak dan Bogor yang rusak, badan sungai di wilayah Jakarta juga banyak mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan daya tampung air sungai menyusut, dan mudah menimbulkan banjir.
Sungai Layang
 Melihat dan mengamati persoalan banjir Jakarta adalah karena daya tampung sungai Ciliwung yang berkurang. Bisa dibayangkan, zaman dulu hilir Ciliwung sangat lebar sehingga bisa dilalui perahu-perahu, sekarang kondisinya menyempit dan mengalami pendangkalan. Disamping itu, kerusakan lingkungan di hulu mengakibatkan tambahan debit air yang harus ditampung sungai Ciliwung. Ditambah tumpahan air di Jakarta juga banyak yang tidak menyerap ke tanah karena makin minimnya ruang terbuka hijau yang menjadi lahan penyerapan air. Sehingga banjir Jakarta makin tak terbendung.
Dengan melihat hal tersebut adalah harus ada upaya menambah daya tampung air sungai Ciliwung. Harus ada penghitungan, berapa juta kubik air yang meluber manakala sungai Ciliwung ini meluap. Dari kondisi ini baru dikembangkan ide untuk menambah daya tampung air tersebut sesuai dengan hasil perhitungan tersebut.
Saya mencoba meniru jalan layang Jakarta Bekasi, maka apa salahnya membuat sungai layang Ciliwung. Sungai layang Ciliwung ini membentang di atas Sungai Ciliwung. Jadi pemerintah tidak perlu melakukan pembebasan lahan.
Sungai layang Ciliwung diperuntukan untuk mengalirkan air dari hulu langsung ke laut. Di hilirnya agak jauh dari dataran agar tidak terjadi bentrok aliran air dengan Sungai Ciliwung darat. Sedangkan sungai Ciliwung eksisting diperuntukkan untuk menampung air yang ada di dalam kota Jakarta.Â
Dengan konsep Sungai Layang Ciliwung ini diharapkan akan mengurangi dampak banjir di Jakarta. Jakarta aman bagi warganya, nyaman dan adem  karena masalah banjir tidak jadi komoditi politik. Semoga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H