tokoh nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap bangsa Indonesia, dan merupakan Perdana Menteri Pertama Indonesia. Kita pasti sudah mengetahui bagaimana perjuangan Sjahrir untuk Indonesia, namun apakah kita tahu bagaimana perjuangan Sjahrir dalam kisah romansanya terkhusus dengan Maria Duchateau.Â
Siapa yang tak kenal dengan Sutan Sjahrir,Dalam kesempatan kali ini mari kita bahas bagaimana kisah romansa Sutan Sjahrir dengan wanita Belanda yang bernama Maria Duchateau.
Sutan Sjahrir lahir pada 5 Maret 1909 di Padang panjang, Sumatera Barat. Sjahrir merupakan anak dari seorang penasihat Sultan Deli dan kepala jaksa (Landraad) di Medan yang bernama Mohammad Rasad dari istrinya Puti Siti Rabiah. Lahir dari keluarga berada membuat Sjahrir mudah untuk mendapatkan akses pendidikan.
Sjahrir bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)Â setarap sekolah menegah saat ini, ia lulus pada 1926. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO, Sjahrir melanjutkan sekolah ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. Setelah lulus dari AMS Sjahrir melanjutkan pendidikannya di Belanda.
Sjahrir melanjutkan pendidikan ke negeri kincir angin dan sampai disana pada 1929. Di Belanda Sjahrir tinggal bersama kakaknya yaitu Siti Sjahrizad yang saat itu sedang menemani suaminya yakni Doktor Djauhari yang sedang melanjutkan pendidikan, Sjahrir pun tinggal sementara disana sampai kakak ipar selesai menyelesaikan pendidikannya.
Sjahrir di Belanda memiliki kebiasaan untuk nonton film atau teater, mendengarkan musik klasik, dan melakukan dansa. Dimana dengan kebiasannya itu Sjahrir mudah bergaul dengan orang-orang Eropa disana, tak terkecuali dengan Salomon Tas.
Sjahrir juga sering kumpul kumpul bersama teman-temannya di Restoran Bohemian yang berada di kawasan elit Lange Daitse Dwarstraat dari perkumpulan ini, Salomon Tas yang merupakan teman dekat Sjahrir, membentuk perhimpunan mahasiswa sosial demokrat. Sjahrir juga sering menghadiri pertemuan politik di bar americain.
Salomon tas merupakan aktivis paham sosial demokratis, berdarah yahudi, yang anti kolonial. Memiliki pemahaman yang sama dengan Sjahrir, Tas pun menjadi teman seperjuangan Sjahrir di Belanda.
Pertemanan Sjahrir dan Tas dapat terlihat ketika Sjahrir tak lagi tinggal bersama kakaknya yaitu Siti Sjahrizad karena sang suami Doktor Djohana telah selesai menempuh pendidikan diplomanya pada 1931, dan setelah itu mereka kembali ke Hindia Belanda.
Setelah kakaknya kembali pulang ke Hindia Belanda, Sjahrir tak punya tempat tinggal, dan Tas pun menawari Sjahrir untuk tinggal di apartemennya bersama istrinya yang bernama Maria Johanna Duchateau, dua anaknya, dan teman istrinya yang bernama Judith van Wamel dan Sjahrir pun mau untuk tinggal disana.
Disinilah awal mula pertemuan Sjahrir dan Maria. Mereka yaitu Sjahrir, Tas, Maria, dan Judith, sering menghabiskan waktu bersama untuk nonton film atau teater di Stadsschouwburg karena sama-sama memiliki kegemaran yang sama.
Selama tinggal dirumah Tas, Sjahrir mulai terpikat dengan Istri Tas yaitu Maria Duchateau, Cinta Sjahrir tidak bertepuk sebelah tangan, sebab Maria pun memiliki rasa yang sama kepada Sjahrir, maka tak lama Sjahrir pun menjalin asmara dengan Maria yang saat itu masih menjadi istri temannya sendiri yaitu Salomon Tas.
Hal itu bisa terjadi karena saat itu hubungan antar Maria dan Tas sedang tidak baik-baik saja, disebabkan karena Tas terlalu sibuk dengan aktivitas politiknya, sehingga ia kurang perhatian terhadap Maria dan anak-anaknya.
Tas sebenarnya tau bahwa Sjahrir menyukai istrinya, namun Tas membiarkan itu dan akhirnya ia pun merelakan istrinya untuk menjalin hubungan dengan Sjahrir, dan Maria pun membiarkan Tas yang saat itu juga sedang menjalin hubungan dengan temannya yaitu Judith van Wamel.
Sjahrir dan Maria memiliki panggilan sayang masing-masing, seperti Sjahrir memanggil Maria dengan sebutan Mieske dan Maria memanggil Sjahrir dengan sebutan Sibi.
Sjahrir dan Maria semakin serius dalam menjalin hubunganya. Namun, pada akhir tahun 1931, Sjahrir harus kembali pulang ke Hindia Belanda karena harus menggantikan Hatta memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) sebab Hatta saat itu diproyeksikan untuk memimpin PNI, karena Hatta belum selesai menyelesaikan studinya. Hatta lalu memerintahkan adik tingkatnya yaitu Sjahrir untuk pulang sementara ke Hindia Belanda untuk menggantikannya memimpin PNI dan berjanji akan pulang setelah Studinya selesai, dan setelah itu Sjahrir bisa kembali ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya kembali.
Sjahrir mengajak Mieske untuk bersamanya pergi ke Hindia Belanda, disana Mieske bisa membantu kaum perempuan di bidang pergerakan. Maria Duchateau Sendiri merupakan wanita berpendidikan keturunan Belanda-Perancis yang memiliki paham sosialis yang mana Maria sebelumnya selalu membantu Suaminya Salomon Tas dalam pergerakan politiknya.
Sjahrir berencana menikahi Maria di Hindia Belanda, namun Maria tak bisa ikut saat itu, karena Maria harus mengurus perceraiannya terlebih dahulu dengan Salomon Tas.
Desember 1931 Sjahrir tiba di Batavia, dan tak lama 4 bulan setelahnya yaitu pada April 1932, Maria menyusul Sjahrir bersama anaknya pergi ke Hindia Belanda, dan berlabuh di Medan. saat itu Sjahrir yang sedang berada di Batavia langsung menemui Maria yang berada di Medan dan akhirnya mereka pun bertemu di Medan.
Di Medan Sjahrir dan Maria memutuskan menikah di salah satu Masjid disana pada 10 april 1932. Pernikahan mereka saat itu merupakan pernikahan yang dianggap tak biasa, sebab jarang sekali seorang pribumi menikahi perempuan Belanda atau Eropa, dan saat itu juga ada anggapan bahwa menikahi ras kulit putih dapat dianggap sebuah provokasi, karena hal tersebut juga lantas pernikahan mereka pun sering mendapat gunjingan. Ditambah rasisme saat itu sangatlah kuat.
Saat di Medan Maria gemar memakai kebaya, sebagaimana yang digambarkan Frances Gouda dalam tulisannya Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 “Berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia."
Karena Maria yang berpenampilan berbeda dengan wanita eropa pada umumnya saat itu, ia pun dicurigai oleh polisi setempat karena kecurigaan tersebut, polisi menyelidiki dokumen-dokumen milik Maria, setelah diselidiki ternyata Maria masih berstatus istri Salomon Tas, jadi Maria dan Tas sebenarnya belum resmi bercerai.
Dengan temuan bahwa Maria masih berstatus istri orang lain, hal tersebut membuat gaduh penghulu disana sebab pernikahannya dengan Sjahrir dilakukan sesuai dengan syariat Islam, maka Penghulu setempat memutuskan membatalkan pernikahan Sjahrir dan Maria.
Berita dari pemeriksaan polisi kepada Maria tersebut sampai ditulis oleh Medan Post yang merupakan kantor koran paling besar di Medan pada saat itu.
Setelah peristiwa tersebut, Maria pun pada 5 Mei 1932 di deportasi ke Belanda. Saat di deportasi Maria sedang mengandung anak Sjahrir, namun anak dalam kandungan Maria harus meninggal ketika sedang proses melahirkan.
Sjahrir yang ditinggal Maria ke Belanda ingin segera menyusulnya kesana, apalagi Hatta sudah menyelesaikan studinya di Belanda, namun rencana tersebut harus gagal karena Sjahrir harus ditangkap oleh pemerintah kolonial dan diasingkan ke Boven Digul dan Banda Neira karena aktivitas politiknya.
Dalam pengasingan tidak membuat komunikasi antara Maria dan Sjahrir putus, mereka masih saling berkomunikasi melalui surat menyurat dan itu pula yang menjadi penyemangat Sjahrir ketika berada dipengasingan.
Dua tahun dipengasingan Sjahrir dan Maria memutuskan kembali menikah pada 2 September 1936 melalui pernikahan jarak jauh yang diwakili oleh Salim. Saat itu Sjahrir sedang di Banda Neira dan Maria di Belanda.
Namun pernikahan jarak jauh ternyata membuat hubungan mereka menjadi tidak sehat. Maka, Sjahrir pun menyuruh Maria untuk mengunjunginya ke Banda Neira, Maria tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena tak cukup uang untuk pergi kesana.
Ketika depresi ekonomi melanda pada tahun 1930-an, Sjahrir khawatir dengan perekonomian Maria di Belanda. Maka, Sjahrir pun menyuruh adiknya yang bernama Sutan Sjahsam untuk membantu Maria disana.
Setelah 15 tahun tidak bertemu dengan Maria, akhirnya Sjahrir bisa bertemu kembali pada 1947 di New Delhi karena dipertemukan oleh Nawaharlal Nehru Perdana Menteri India saat itu, Namun pertemuan itu berbeda dengan pertemuan sebelum-sebelumnya, sebab hati Sjahrir sudah bukan lagi untuk Maria karena sebelum bertemu kembali dengan Maria. Sjahrir sudah terpikat oleh seorang gadis yang lebih muda 11 tahun darinya yaitu Siti Wahyunah alias Poppy, sekertarisnya sendiri. Tak lama setelah pertemuan itu pada 12 Agustus 1948, akhirnya keduanya memutuskan untuk bercerai.
Itu merupakan akhir dari kisah cinta Sjahrir dengan Maria wanita Belanda yang memikat hati sang bung kecil (Julukan Sjahril karena memiliki perawakan yang pendek dan kecil) hubungan mereka tetap masih terjalin baik, karena setelah bercerai dengan Sjahrir. Maria menikah dengan adiknya Sjahrir yaitu Sutan Sjahsam yang tadi kita singgung bahwa Sjahrir pernah menyuruhnya untuk membantu Maria di Belanda.
Itulah sedikit kisah cinta dari tokoh nasional kita yaitu Sutan Sjahrir pahlawan yang memiliki slogan "Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan" dengan wanita belanda yang bernama Maria Duchateau.
Surat yang dikirim Sjahrir untuk Maria dari kurun waktu 1931-1940 berjumlah 287 dan surat-surat itu disimpan oleh Maria, lalu dijadikan buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen yang terbit pada tahun 1945 di Amsterdam.
Isi surat Sjahrir paling populer yang dapat menggambarkan betapa besarnya cinta Sjharir pada Maria yang dikutip dari merdeka.com berisi:
"Malam ini aku merasa tenang lagi sayang seperti keadaan aku sekarang, sebagaimana juga perasaanku sekarang, aku tak bisa lagi menampik apa yang kamu sebut sebagai "inti yang paling dalam kita miliki" itu dia Mieske yang bisa berbicara dari suratmu, membersihkan aku.
Apa yang aku tak temukan dalam studiku, apa yang tak aku temukan dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu".
"Disini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri
Didalam pikiranku, aku selalu membutuhkanmu untuk menguji pikiran dan tindakanku, untuk berunding, untuk berbagai perasaan
Aku membutuhkan surat-suratmu untuk bertahan dan mengangkat diri ini saat hampir tenggelam dalam soal-soal sepele, kau tahu semua itu toh Miseke?
Dan apa selain esensi yang mengkristal dari semua yang kita miliki dari semua usaha dan berpeluangnya kita dari suka dan duka".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H