Secara umum lembaga parlemen diisi oleh mayoritas kaum laki-laki, karena dunia politik merupakan arena yang umum bagi laki-laki. Namun, hal unik terjadi di Rwanda. Negara yang terletak di kawasan Afrika Timur ini memiliki lembaga parlemen yang didominasi oleh perempuan. Persentase perempuan mencapai 63,8%, atau 51 dari total 80 kursi di parlemen Rwanda (IPU Parline 2024). Fenomena ini cukup unik, mengingat Rwanda merupakan negara dunia ketiga, tetapi dalam perkembangannya mampu mencapai kesetaraan gender di dunia politik.
Pencapaian tersebut bukanlah suatu fenomena tanpa sebab. Kebijakan yang dilakukan Rwanda lahir atas konflik etnis dan genosida yang terjadi di tahun 1994. Konflik yang berlangsung selama 100 hari ini menewaskan 500.000 hingga 1.000.000 orang etnis Tutsi dan mayoritas korban adalah laki-laki. Banyaknya korban laki-laki dalam peristiwa genosida tersebut membuat populasi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Populasi perempuan diperkirakan sebesar 70% pasca genosida tersebut. Secara terpaksa perempuan di Rwanda mengambil peran yang jauh lebih besar di pemerintahan, termasuk parlemen (Handelman 2017: 134).
Genosida membawa masalah serius bagi Rwanda. Hal ini membuat pemerintah Rwanda merekonsiliasi negara dengan berbagai kebijakan pembangunan. Salah satu kebijakan untuk mempercepat pembangunan pasca genosida adalah mendorong partisipasi perempuan dalam sektor pemerintahan, seperti parlemen. Pada tahun 2003, Rwanda menetapkan konstitusi terbaru di negaranya. Konstitusi ini tertuang dalam Pasal 10 ayat 4 konstitusi Rwanda yang berbunyi sebagai berikut (Constitute Project 2024):
"Building a State governed by the rule of law, a pluralistic democratic government, equality for all Rwandans and between men and women is affirmed with womenoccupying at least thirty percent (30%) of positions in decision-making organs."
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pasal tersebut berbunyi:
"Membangun sebuah Negara yang diatur oleh aturan hukum, sebuah pemerintahan demokratis yang majemuk. Kesetaraan untuk semua orang Rwanda dan antara laki-laki dan perempuan ditegaskan dengan perempuan menduduki setidaknya tiga puluh persen (30%) dari posisi dalam organ-organ pengambilan keputusan."
Berdasarkan pasal 10 ayat 4 konstitusi tersebut, pemerintah Rwanda mengisyaratkan untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam setiap jabatan pemerintahan, termasuk parlemen. Hal ini yang membuat parlemen Rwanda perlahan didominasi oleh perempuan.
Sebelum peristiwa genosida yang melumpuhkan Rwanda pada 1994, jabatan pemerintahan diisi oleh mayoritas laki-laki, termasuk jabatan parlemen. Sebelumnya, pencapaian tertinggi terkait representasi perempuan di parlemen Rwanda hanya 16% pada tahun 1988. Namun, semua berubah pasca genosida yang terjadi pada 1994, representasi perempuan di parlemen justru didominasi oleh perempuan. Terdapat perubahan signifikan dalam struktur politik Rwanda. Perempuan mengambil peran lebih aktif dalam pemerintahan. Tercatat pada tahun 2004 perempuan memiliki representasi yang tinggi di dunia dengan mencapai angka lebih dari 60% (VOA Indonesia). Dominasi perempuan di parlemen berlangsung secara terus menerus, hingga saat ini jumlah representasi perempuan di parlemen berjumlah 63,8% atau 51 dari total 80 kursi parlemen.
Selain itu, dominasi perempuan di parlemen Rwanda juga berimplikasi terhadap terbentuknya kebijakan-kebijakan politik yang responsif terhadap gender. Salah satunya adalah terbentuknya Forum Feminisme Rwanda, dan lain-lain (Eky Nanda 2011: 55). Hal ini membuktikan bahwa Rwanda bukan hanya berhasil mencapai kesetaraan gender dalam kuantitas (jumlah perempuan di parlemen), tetapi juga berhasil mencapai kualitas (kebijakan-kebijakan yang responsif terhadap gender).
Â
Referensi: