UN telah usai, hasilnya pun telah diumumkan. Kelulusan siswanya yang mendekati 100% menjadikan alasan untuk tetap mempertahankan RSBI/SBI, terlepas dari semua pro dan kontra terhadap keberadaanya. Masyarakat kelas menegah ke atas boleh bangga karena anak-anaknya bisa masuk dan belajar di RSBI dan lulus dengan nilai yang memuaskan. RSBI menjadi impian hampir semua orang tua dan anak-anaknya yang beasal dari keluarga mampu. Bagaimana dengan anak-anak yang sebenarnya berprestasi, tetapi orang tuanya tidak mampu untuk membiayai belajarnya di RSBI?Adakah jaminan RSBI menghasilkan generasi berkualitas?
RSBI, begitu orang menyebut untuk sekolah yang katanya berstandar internasional. Entah dari mana sebutan internasional itu datang. Apakah hanya karena bahasa Inggrisnya? Yah, selama ini, masyarakat tahu bahwa RSBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar-menagajarnya. Bagaimana dengan sistem dan kurikulumnya? Apakah telah memenuhi standar internasional? Apakah hanya dengan dipaksakan guru mengajar dengan bahasa Inggris, sebuah sekolah sudah dikatakan berstandar internsional?
TIDAK SETUJU!!!!
Tak dapat dipungkiri, lulusan RSBI tahun 2012 tak bisa dipandang sebelah mata. Hasil yang sangat membanggakan. Membanggakan dari sisi nilai ujian, tapi tidak dari sisi yang lain. Bagaimana dengan tenaga pengajarnya?
TIDAK SETUJU!!!!
RSBI, tentu saja akan menghasilkan lulusan yang nilainya memuaskan, tapi itu bukan berarti bahwa RSBI dan tenaga pengajarnya selalu berkualitas. Siswa yang masuk RSBI, dari awal memang siswa pilihan, siswa yang memiliki nilai bagus dari sekolah sebelumnya. Selain itu, dukungan biaya dari orang tua juga sangat menentukan. Begitu banyak dan mahalnya buku-buku yang harus dimiliki oleh siswa RSBI yang mustahil dilakukan oleh orang tua siswa yang tidak mampu. Dengan jaminan itu saja, siswa RSBI sudah berada di atas angin, dibandingkan dengan siswa sekolah "pinggiran" non-RSBI. Namun, jaminan tersebut ternyata belum cukup untuk mengamankan UN. Terlihat negitu nyata, bermunculannya lembaga-lembaga bimbingan belajar yang kian menjamur, seiring berkembangnya RSBI. Siswa RSBI pun ternyata masih takut untuk menghadapi UN tanpa bimbingan belajar. Memang, tidak ada hubungan langsung anatara RSBI dengan munculnya lembaga-lembaga bimbingan belajar, tetapi diakui atau tidak, ADA. Terlihat bahwa pengajar di RSBI pun tak menjamin "keamanan" UN, siswa pun tak merasa terjamin. Kebergantungan terhadap lembaga bimbingan belajar telah menjadi fenomena umum menjelang UAS dan UN.
Tak aneh jika lulusan RSBI bernilai tinggi. Hal yang sama bisa saja terjadi pada lulusan sekolah "pinggiran" jika memang ketika masuk, siswa-siswanya adalah anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang sama dengan siswa yang masuk RSBI. Dengan dukungan biaya dan fasilitas yang tidak berlebihan, jika keaadaanya memang demikian, jaminan untuk lulus dengan nilai memuaskan pasti akan tetap ada. Tidak perlu fasilitas yang wah dan bimbingan belajar yang biayanya selangit, siswa berprestasi tetap akan berprestasi. Tidak perlu harus mengadopsi sistem pengajaran bilingual atau sistem pengajaran yang berstandar internasional. Tidak perlu juga biaya yang selangit, hanya untuk bisa disebut sekolah berprestasi.
Sekolah "pinggiran" bisa berprestasi jika memang siswanya sedari awal berprestasi dan diberikan fasilitas yang memadai. RSBI dengan sekolah “pinggiran” tak ada bedanya. Yang membedakan hanyalah biaya dan GENGSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H