Sejak bunga sebagai instrumen profit pada lembaga keuangan disepakati sebagai riba yang diharamkan menurut syariah, akad muamalah menempati tempat tersebut sebagai mekanisme dan instrumen pengganti dalam memperoleh profit pada lembaga keuangan syariah. Proses migrasi akad muamalah yang semula personal (individu) menjadi institusi (lembaga) karena diadopsi dan diadaptasi oleh lembaga keuangan menimbulkan kerumitan tersendiri yang dihadapi oleh praktisi lembagakeuangan.Â
Kerumitan tersebut semakin terasa di era transkasi keuangan modern yang semakin kompleks, karena dibutuhkan desain kontrak (akad) dalam bentuk yang tidak hanya tunggal, tetapi mengkombinasikan beberapa akad, yang kemudian dikenal dengan istilah hybrid contract (Inggirs) atau al-'uqd al-murakkabah (Arab) atau multiakad (Indonesia). Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu merespon transaksi keuangan kontemporer yang selalu bergerak dan terpengaruh oleh industri keuangan baik nasional, regional maupun internasional.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmu mushthalah hadis  dan sejumlah kitab syarah hadis yang digunakan sebagai rujukan konfirmatif, sehingga makna narasi (matan) hadis bisa mengungkap jawaban yang valid. Upaya ini sebagai penelusuran konstruksi multiakad yang diperbolehkan, dan pengembangannya di lembaga keuangan syariah tidak dianggap bertentangan dengan sumber otoritatif (hadis).
Akad Muamalah dan Implementasinya di Bank Syariah
- Istilah "akad" dalam hukum Islam, disebut "perjanjian" dalam bahasa Indonesia, dan disebut contract dalam bahasa Inggris. Kata akad terambil dari kata al-'aqd berasal dari kata 'aqada-ya'qidu-'aqdan, jamaknya adalah al-'uqd. Secara bahasa al-'aqd bermakna al-rabth (ikatan), al-syadd (pengencangan), al-taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan 'aqada al-habl (mengikat tali), maksudnya adalah mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya. Al-'aqd juga bisa bermakna al-'ahd (janji) atau al-mitsq (perjanjian). Adapun al-'uqdah (jamaknya al- 'uqd) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat (Al- Minawi, 1410 : 68; Al-Syaukani, 1964 : 4). Pada awalnya kata 'aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan, namun kemudian dengan majaz isti'arah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti 'aqd al-bay' (akad jual beli), 'aqd al-'ahd (akad perjanjian), 'aqd al- nikh (akad nikah). Dalam konteks ini, 'aqada dimaknai sebagai ilzm (pengharusan), dan iltizm (komitmen) atau irtibth (pertautan) (Al- Minawi, 1410 : 68).
- Dalam pelaksanaan akad, harus memenuhi empat unsur, yang masing-masing mempunyai syarat, yaitu :
1.Subyek akad (para pihak pembuat akad ataual-'qidain)
Subyek akad harus memiliki 2 syarat : (1) berbilang pihak, dan (2) memiliki tingkat kecakapan hukum, disebut tamyiz, yang dikenal dengan al-ahliyyah (kelayakan), yaitu kelayakan seseorang untuk menerima hukum dan bertindak hukum, atau sebagai kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban dan untuk diakui tindakan-tindakan secara hukum Syariah (Wahbah al-Zuhaili, 1989 : 116; Abdul Wahab Khallaf, 1968 :136).
2.Pernyataan kehendak para pihak (shighatal-'aqd)
Pernyataan kehendak para pihak sering disebut dengan  shighat al-'aqd yang terdiri dari ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan). Syarat shighat al- 'aqd yaitu (1)adanya persesuaian ijab dan Kabul yang menandai adanya  persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat,dan
(2) persesuaian kehendak (kata sepakat) itu dicapai dalam satu majelis.
3.Objek akad (mahalal-'aqd)
Objek akad adalah suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah, dengan syarat : (1) objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan, (2) objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek akad dapat ditransaksikan menurut syara' (Al-Sanhuri, 1956 : 36)