Mohon tunggu...
Amiruddin Saddam
Amiruddin Saddam Mohon Tunggu... Programmer - Pekerja dan Pengajar Swasta

Tech Enthusiast, Content Writer and Learner Something New

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putus Asa yang Singgah

30 Agustus 2023   08:00 Diperbarui: 30 Agustus 2023   08:01 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liburan akhir tahun telah usai, aku pun segera kembali ke pesantren tempatku mengenyam ilmu. Banyak sekali kenangan yang harus aku lupakan, akan tetapi hanya satu kenangan yang tidak dapat aku lupakan. Manisnya senyuman yang tersirat dari seorang wanita yang sudah lama aku cintai. Mungkin sebagian orang menganggap rasa cinta yang dirasakan oleh anak kecil hanyalah cinta monyet yang bisa sirna saat beranjak dewasa. Tapi bagiku cinta pertamaku bukanlah cinta yang biasa, karena aku merasakan getaran yang hebat saat aku berada didekatnya. Walaupun aku tahu, aku belum pantas untuk berada di sampingnya, akan tetapi aku akan terus berusaha untuk bisa mendapatkan hatinya. Langkah kaki ini seperti menghapus segala kenangan yang telah tercipta satu persatu.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini, aku harus datang bersama teman-teman ke pesantren. Terlihat beberapa santri lainnya sibuk mempersiapkan daftar ulang dan santri lainnya menikmati waktu bersama kedua orang tua sebelum ditinggal pulang. Pada tahun ini, aku ditempatkan di asrama yang cukup jauh dari akses menuju masjid ataupun dapur. Tetapi walaupun jauh dari masjid, asrama tempat aku tinggal sangat dekat dengan lapangan. Sehingga aku dapat bermain saat waktu kosong dengan mudah.

Tak terasa sudah hampir 2 bulan aku berada dipesantren setelah menikmati libur panjang. Suara adzan berkumandang dengan merdunya, diiringi dengan suara ketukan pintu pengurus asrama. "Bangun bangun bangun, saya hitung sampai lima, semua harus sudah bangun dari tempat tidur dan mengambil wudhu" kata kak riza dengan suara lantangnya. Kak riza merupakan salah satu pengurus asrama tempat aku tinggal. Mendengar teriakan kak riza semua santri langsung bergegas menuju tempat wudhu dan bersiap untuk shalat shubuh. Matahari pagi sudah mulai menampakkan diri dan langit sudah mulai terkena sinar mentari pagi. Aku dan teman-teman pun sudah berlarian menuju lapangan sepakbola. Saking asyiknya bermain, aku sampai lupa bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Setelah selesai makan siang, aku dan jay berkeliling pesantren sekedar untuk bercerita tentang liburan akhir tahun kemarin. Jay merupakan teman sekolah dasarku yang turut menuntut ilmu agama di pesantren. Keinginan jay untuk mondok di pesantren sudah terlihat sejak kelas 5 sekolah dasar, bahkan dia sampai mencari informasi tentang pesantren seperti persyaratan dan lain sebagainya. Berbeda dengan aku, yang masuk pesantren karena paksaan kedua orang tuaku.
Langit sore perlahan berubah semakin gelap, air hujan satu persatu pun mulai membasahi permukaan tanah. Aku dan jay yang sedang antri di bangku wartel pun hanya bisa memandangi hujan yang turun sambil bercerita. Sore ini, aku memantapkan hati untuk mengungkapkan perasaanku kepada icha. Perasaan yang lama terpendam dan hanya bisa membayangkan wajahnya disetiap langkah. Senyumnya yang manis dan juga matanya yang indah hanya bisa aku pandang dari jauh tanpa bisa aku ungkapkan. Bukan hanya jay yang mendukungku untuk bisa mengungkapkan perasaan, akan tetapi ahmad yang pernah sebagai lelaki idaman icha saat masih di bangku sekolah dasar.
"Assalamualaikum icha, gimana kabarnya cha ?" tanyaku kepada icha
"Waalaikumsalam mir, alhamdulillah baik, ada apa mir ?" jawab icha
"Ga apa mir, hanya ingin bicara aja cha"
"bicara apa mir ?" tanya icha penasaran
"Sebenarnya, aku sudah lama suka sama kamu cha tapi aku bingung untuk mengucapkannya, Kamu mau ga jadi pacar aku ?" tanyaku sambil menunggu jawaban icha
"Maaf mir, untuk saat ini, aku mau fokus untuk belajar mir, aku ga mau pacaran dulu" jawab icha
"Ouh gitu, ya sudah ga apa-apa cha, maaf ya cha sudah mengganggu waktunya, assalamualaikum"
"Iya ga apa-apa mir, waalaikumsalam" balas icha
Hati ini terasa sakit seperti disambar petir setelah mendengar jawaban icha, rasa sedih dan rasa kecewa berkecamuk di dalam hati. Berhari-hari rasa sedih itu masih terasa, bagaimana tidak, icha merupakan wanita kedua setelah ibu yang aku cintai. Senyuman dan wajahnya selalu terbersit di pikiran ini.  

Pagi ini, badanku terasa lemas dan juga tak berdaya, sehingga membuat aku tidak sanggup untuk pergi ke kelas. Untuk mendapatkan surat izin tidak masuk kelas, aku harus pergi ke wali kelas. Jarak antara asrama dan kamar wali kelasku cukup jauh, aku perlu melewati beberapa asrama untuk bisa sampai ke kamar wali kelasku. Selain itu, kamar wali kelasku berada di lantai 3, sehingga aku harus menaiki anak tangga untuk bisa ke kamar wali kelasku. Satu persatu anak tangga aku naiki sambil berpegangan dengan railing tangga. Setelah sampai di depan kamar wali kelas, aku melihat seluruh benda yang ada di hadapanku berputar bahkan semakin lama pandanganku semakin kabur dan akhirnya aku sudah tidak sadarkan diri. Ketika aku mulai membuka mata perlahan, aku mendapati diriku sudah ada di balai kesehatan santri. Di sampingku sudah ada indra yang mendampingiku dengan kaos asrama dan juga tanda pengenal. Ingin sekali ku bertanya kepadanya apa yang terjadi padaku, tetapi tubuh ini sangat lemas, bahkan untuk membuka mata saja aku kesusahan.
"Ini ga apa-apa cuma pura-pura aja ini mah" kata perawat yang ada di sampingku
Ingin rasanya aku menyampaikan apa yang aku rasakan, akan tetapi tubuh ini terlalu lemah untuk bisa banyak bergerak. Tidak lama kemudian, entah kenapa dada ini terasa sangat sesak dan setengah tubuhku terasa sangat kaku. Aku pun dibawa ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

Sesampainya di rumah sakit, aku dibawa ke ruang IGD dan tubuhku sudah tidak kaku seperti sebelumnya. Kata-kata yang sama pun terlontar dari perawat yang ada di sampingku bahwa aku hanya berpura-pura sakit. Kata-kata tersebut pun seketika berhenti ketika tubuhku mulai kaku kembali. Aku pun dibawa ke ruang UGD dan dipasang berbagai macam alat bantu ditubuhku. Bahkan untuk buang air pun aku harus melalui selang panjang yang dimasukkan ke dalam tubuhku. Malam pun tiba, tanpa sengaja aku mendengar suara seorang nenek yang sedang berbicara kepada anaknya untuk menyiapkan tas dan bekal cucunya. Tubuh ini sudah terlalu lemas untuk bangun dan melihat sumber suara tersebut. Aku pun kembali melanjutkan tidurku sambil menahan rasa sakit. Kulihat jam dinding yang ada didepanku sudah menunjukkan pukul 5 pagi, dan suara yang kudengar semalam pun sudah tidak ada lagi. Aku pun bertanya kepada indra yang duduk di sampingku.
"Ndra, nenek yang kemarin, sudah pindah kamar ya ?"tanyaku penasaran
"Nenek yang ada di samping kamu sudah wafat mir, setelah adzan subuh tadi" jawab indra
Aku pun kaget setengah tidak percaya bahwa sumber suara yang kudengar semalam sudah tiada.

Kurang lebih 5 hari aku berada di rumah sakit dan kemudian diperbolehkan untuk rawat jalan di balai kesehatan santri. Sudah hampir satu bulan aku berada di balai kesehatan bahkan aku harus sampai mengikuti ujian di balai kesehatan karena kondisiku yang belum kunjung membaik. Suatu hari aku kedatangan rasa putus asa atas apa yang terjadi pada hidupku. Aku merasa menjadi orang yang tidak berguna karena aku hanya bisa menyusahkan orang lain karena rasa sakitku. Selain itu, aku merasa kehilangan seorang wanita yang sangat aku cintai. Saat malam tiba, aku menuliskan surat wasiat diatas selembar kertas dan mencoba minum minyak angin, obat batuk dan obat lainnya yang ada di sampingku secara bersamaan. Tiba-tiba aku mendengar adzan subuh dan aku pun terkejut karena aku masih hidup. Berbagai cara telah aku lakukan untuk bisa mengakhiri hidup. Akan tetapi Allah berkehendak lain. Setelah beberapa hari sejak aku ingin mengakhiri hidup, aku diberikan kesembuhan dan akhirnya aku pun diperbolehkan pulang ke asrama.

Setelah pulang dari balai kesehatan, aku pun semakin menyadari bahwa rasa putus asa yang datang padaku saat itu hanya singgah sementara waktu. Aku merasa hidup ini hanya sekali dan sangat sayang untuk dilalui hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak berguna. Kejadian itu merupakan momen yang tak pernah aku lupakan karena merupakan momen yang menjadi titik balik aku untuk lebih baik lagi.

Tentang Penulis:
Amiruddin Saddam saat ini bekerja sebagai software engineer disalah satu perusahaan e-commerce fashion ternama. Usai menyelesaikan pendidikan di PM. Darussalam Gontor, penulis melanjutkan studi S1 di STTIKOM Insan Unggul Cilegon. Kemudian Melanjutkan studi S2 di Universitas Budiluhur. Penulis juga beberapa kali mengisi webinar mengenai teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun