Kurang lebih otak di belakang jidat (korteks pra-frontal; bertanggung jawab untuk pecahkan masalah, tetapkan tujuan, dan kerjakan tugas secara efisien) bekerja samanya dengan sistem limbik yg ada di otak bagian tengah. Nah, untuk orang-orang miskin sistem limbik terus-menerus kirimkan pesan rasa takut dan stress ke otak dekat dahi ini jadi tiga fungsi ini terancam gagal bagi si miskin.
Menurut saya, ini mengapa salah satu kunci mengapa pahlawan bagi si miskin adalah mereka yang bebaskan mereka dari sakit kepala dahi terus menerus ini dan teringat ada yang bilang bahwa negara yang bebaskan warga miskinnya akan cepat selesaikan masalah (individu, kelompok atau masyarakat). Mungkin juga ini berarti masyarakat dapat tetapkan tujuan untuk maju dan bekerja untuk apa yang mereka tuju ini dengan efisien.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Saya kurang paham apakah ada adendum untuk pasal ini, namun mengacu pada kalimat di atas dan cara kerja otak di alinea sebelumnya ini dapat berarti dua hal:
1. Jika negara mampu berdayakan otak pemecahan masalah, tetapkan tujuan dan kerja efisien dari para miskin ini; maka sebagian besar masalah negeRI selesai dengan sendirinya. Data World Bank dan BPS di 2016 dari 252 juta penduduk, lebih dari 28 juta masih di bawah garis kemiskinan dan dan 100,8 juta (40% populasi) terancam jatuh miskin. Definisi miskin adalah pendapat per bulan per orang sekitar Rp350 ribu. Dan memakai $3.10 (paritas daya beli 2011) data 2014 menunjukkan 36.44% jauh membaik dari puncak 91.58% populasi di 1987 (periode 1984 s.d 2014). Catatan di 1998 puncak kedua 88.81%
2. Jika negara belum mampu lalu peran pengusaha besar, organisasi politik, keagamaan dan sosial bisa berdayakan otak 101 juta manusia fakir dan miskin ini, maka ada hutang budi sosial pada pengusaha, organisasi politik, keagamaan dan sosial dimaksud. Sepertinya ini yang terjadi sekarang.
Alternatif solusi hilangkan sakit kepala akibat ketakutan dan stress massal hingga non-produktifnya 101 juta dahi manusia ini adalah kompetisi sehat dari keempat perebut kue hutang budi sosial ini. Insentif bagi pemerintah adalah tercapainya raison d'etre mereka untuk sejahterakan masyarakat dan dikenang prestasinya. Untuk organisasi politik mungkin peluang untuk raih suara untuk kelola administrasi negeRI (yang mungkin lalu bisa lakukan peran sebagai negarawan), untuk organisasi keagamaan mungkin berarti makin taatnya kaum beragama pada agama yang mereka hutang budii, untuk organisasi sosial mungkin berarti nama harum, dan reputasi yang berkelanjutan. Sehat secara sosial (definisi WHO) juga menyebutkan kemampuan untuk bekerja. Jadi, klop bukan?
Jadi bagaimana kompetisi sehat bisa dilakukan? Ini banyak pakarnya namun kita orang per orang yang sebagian membentuk grup-grup dan sebagian bekerja formal dalam organisasi adalah pemain kuncinya. Mensejahterakan bumi adalah raison d'etre kita, semestinya.
Referensi:
http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview
http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301
http://www.who.int/topics/poverty/en/
http://www.who.int/social_determinants/en/
http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.2DAY?end=2014&locations=ID&start=1984&view=chart
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H