Mohon tunggu...
Asa Lukis
Asa Lukis Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Melaut

3 Maret 2024   06:42 Diperbarui: 4 Maret 2024   08:14 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Emak bilang, bapak sedang mendayungi lautan, melewati Segitiga Bermuda dan samudera-samudera. Beliau tidak akan pulang dalam waktu dekat, jadi saya harus bersabar. Dari kecil hingga saat ini, saya tetap menunggunya.

Di atas pasir putih yang hangat, lautan yang meninggi dilihatku. Emak memanggilku untuk masuk ke dalam karena langitnya sudah menggelap. Saya bangkit dari renungan dan berlari ke rumah yang berada di belakang tempat saya duduk sebelumnya. Rumah kecil yang terbuat dari papan-papan kayu, yang mana penghuninya sedang menunggu kepulangan seseorang.

"Tumben senyum-senyum terus. Kenapa, Dit?" Tanya Emak saat menyiapkan nasi dari dandang.

"Hehe, iya Mak. Tadi Adit dapat tawaran dari Pak Joko untuk membantu beliau menangkap ikan nanti malam. Boleh kan, Mak?"

"Ooh, ya bagus kalau begitu. Hati-hati ya, Le."

Nasi dengan lauk ikan tongkol ini disantap bersama-sama dengan senyuman yang terlukis di wajah saya. Mungkin saja saya akan bertemu dengan Bapak nanti, hati ini rasanya berdebar-debar.

***

Langit nampak hitam pekat dan bulan telah menunjukkan kehadirannya. Saya sedang berjalan menuju pantai, di sana Pak Joko sedang menyiapkan perahu dan jalanya. Senang hati saya ketika Pak Joko mempersilakan saya untuk membantu beliau menangkap ikan. Karena dengan melihat laut, saya dapat berandai-andai bahwa Bapak sedang menangkap ikan di suatu perairan yang jauh nan asing.

Ombak  laut mulai bertabrakan dengan dinding perahu Pak Joko, menghadirkan rasa ombang-ambing yang biasanya memabukkan bagi anak kota. Karena dari tadi Pak Joko tidak mengucapkan apa-apa, saya berinisiatif untuk memulai sebuah percakapan seperti biasanya.

"Pak, dulu Bapak akrab dengan Bapak saya kan?"

"Kok dari kemarin nanya itu terus, Le?"

"Ya... nggak papa Pak, hehe."

"Sudahlah Le, kamu harus belajar untuk merelakan. Sampai kapan ibumu akan merahasiakannya?"

"Merahasiakan apa maksudnya Pak Jo-"

Bruk! Perahu yang sedari tadi berombang-ambing tiba-tiba berhenti dengan kasar. Saya kebingungan, begitu pula Pak Joko. Namun beberapa saat kemudian, angin darat berhembus dengan sangat kencang dan melepaskan perahu kami dari jeratan aneh tadi. Pak Joko tidak terlihat panik, jadi tak kutemukan alasan untuk merasa demikian. Aneh, kakiku terasa dingin.

Pak Joko berdiri dan mengambil jala yang sudah ia siapkan tadi. Kami berdua melempar jaring lebar itu ke lautan yang luas. Rasanya seperti ada yang menjanggal, kaki ini terasa sangat basah. Penasaran, saya melihat ke bawah. Air-air menggenangi badan perahu, tidak terlalu tinggi, namun tidak wajar.

"Pak, kok di sini banyak air?"

"Ya jelas lah Le, wong ini laut."

"Bukan Pak, maksud saya di lantai perahu."

Pak Joko melihat ke bawah, dan nampak kaget. "Le, kayaknya perahunya bocor!"

"Lho kok bisa Pak?!"

Lubang yang awalnya hampir tak terlihat menghasilkan bunyi krek yang pelan, air laut semakin menggenang. Perahu yang kami tumpangi perlahan-lahan karam. Pak Joko menyuruh saya untuk melompat dari perahu dan berenang.

Saya melakukan apa yang disuruh Pak Joko, melompat dan berenang. Namun begitu kaki saya mendayung, muncul rasa kram yang begitu menyakitkan. Saya tidak bisa bergerak. Ingin rasanya kujeritkan nama Pak Joko, namun air laut memasuki hidung dan mulut ini. Apakah ini akhir dari segalanya?

Ya, seperti yang Pak Joko bilang, mungkin saya memang harus merelakan Bapak dan berhenti berpura-pura bahwa Bapak hanya sedang pergi jauh. Kejam sekali kehidupan ini. Maaf Bapak, saya tidak bisa menerima kenyataan. Maaf Emak, saya tidak bisa menjadi anak yang membanggakan. Maaf Pak Joko, saya terus merepotkan Bapak. Maaf, saya..

Allahu akbar Allahu akbar...

Kudengar suara adzan dari masjid di sebelah rumah.

"HAH!" Saya megap-megap. Apa yang barusan terjadi? Kulihat sekeliling, ini kamarku. Tubuh ini bercucur keringat dan detak jantungnya begitu kencang. Namun, segalanya baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Saya merasa sehat seperti biasanya.

Butuh beberapa menit untuk menyadari bahwa saya baru saja mendapatkan mimpi buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun