Mohon tunggu...
Asa Lukis
Asa Lukis Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fiksi Mini: Mesin Uap

9 Februari 2024   15:00 Diperbarui: 9 Februari 2024   15:11 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selama ini, kukira aku tak terlalu membutuhkan telingaku. Telinga yang hanya dipenuhi dengan suara ketikan dari mesin ketik dan suara jangkrik di tengah malam. Seorang penulis sepertiku, aku merasa tak begitu membutuhkan sepasang telinga.

Tidak ada siapa pun yang berbicara denganku. Setiap harinya, aku hanya membusuk di dalam kamar. Kantung mata yang setiap detiknya makin menghitam ini pun tidak ada yang melihatnya.

Kukira, aku bisa terus hidup seperti ini.

Sampai adikku yang tak lama kutemui ini tiba-tiba tinggal di rumahku.

***

"Kak Lukes, listriknya tidak menyala lagi!" sahutnya dari lantai bawah. Aku menggerutu. Hidupku yang tenang selama ini, ke mana ya?

"Tak bisakah kau melihatnya sendiri, apa yang salah dengan mesin uap kita?"

"Maaf Kak, aku harus buru-buru pergi ke restoran untuk bekerja... Baru saja aku mau menggunakan toilet, tapi listrik dan airnya tidak menyala."

"Jadi benar-benar harus aku, ya?" ucapku dengan nada masam.

"Tolong ya, Kak, maaf!"

Aku beranjak dari tempat dudukku di depan mesin ketik sembari berusaha menghilangkan pikiran kejiku. Rumah kami, tidak, rumahku yang kubeli sendiri dari hasil kerjaku sendiri ini, hampir tak pernah mengalami kerusakan sebelumnya. Semenjak adikku kemari, rumahku menjadi macam kapal pecah.

Dengan pelan, kunaiki tangga menuju atap di mana mesin uap yang menghasilkan listrik tuk rumah ini berada. Mesin itu membuat suara yang sangat bising, suara yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku baru tahu, di dunia ini ada banyak suara yang sangat mengganggu selain suara adikku.

Kotak perkakas sudah kupersiapkan di tanganku. Meski tak berpengalaman, akan kucoba untuk memperbaikinya. Setidaknya, almarhum ayahku pernah mengajariku sebelumnya.

Meski pada akhirnya, aku menjadi penulis dan bukan orang mekanik.

"Kak, apa perlu bantuan?" ucap adikku yang sedang menaiki tangga, mungkin sedikit merasa bersalah.

"Tidak, tidak usah. Akan kubereskan ini dengan cepat supaya kau bisa ke toilet dan pergi bekerja."

"Benarkah? Terima kasih, Kak! Aku say-"

BOOM, suara ledakan yang keras dapat didengar oleh tetangga sekitar. Kecelakaan yang terjadi hanya dalam hitungan beberapa detik, yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Aku melihat adikku yang menangis, mulutnya bergerak namun aku tak bisa mendengarnya. Apa yang tadi ia ingin katakan?

Apakah itu "Aku sayang Kakak?"

Aku tidak tahu, dan tak akan pernah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun