Mohon tunggu...
Hubertus Lajong
Hubertus Lajong Mohon Tunggu... Guru - a chemistry taecher
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

belajar di pendidikan kimia Universitas palangka raya (UPR)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Keadilan yang Tak Berpihak Hingga Menimpa Si Penampung Sampah

20 April 2020   23:48 Diperbarui: 21 April 2020   00:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih adakah beban hidup yang lebih menyakitkan, bila hidup yang kian lama tersandara ketidak-berdayaan karena ketidakadilan dan kemiskinan, tiba tiba mendapat seberkas harapan yang dapat membantu meringankan beban hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar (minimal) yang mendesak.

Tapi siapa sangkah seberkas harapan yang di impikan itu menjadi titian menuju hidup yang lebih layak , justru malah sebaliknya menjadi jembatan menuju sengsara yang yang tak berkesudahan.

Kisah hidup yang menyedihkan dan mengaharukan tersebut, bukanlah dongeng Atau mitos belaka. Kisah nyata yang mengharukan dan memiluhkan tersebut adalah menjadi penomena hidup bagi salah seorang perantau asal flores, manggarai barat dikota palangka raya.

Beliau yang juga merupakan pengepul sampah yang hari-harinya hanyalah bekerja mengumpulkan sampah untuk menghidupkan dan menafkahi dirinya dan juga anak perempuanya yang kini tengah berumur 5 tahun itu harus rela menerita dan melarat akibat pandemi penyebaran covid-19 atau corona virus.

Melihat situasi dan keadaan seperti itu, hingga pada suatu hari pemerintah setempat melalui RT yang merupakan bawhanya mengunjungi kediamanya dengan maksud untuk mendata keluaga kecilnya agar sekiranya mendapat bantuan dari pemerintah daerah setempat.

Seperti yang didapatkan juga oleh keluarga lain yang terkena dampak covid-19 seperti bantuan ; beras, sembako dan uang tunai sebesar 200 per keluarga. tetapi hingga saat ini bantuan tersebut tak kunjung tiba.

Si pengumpul sampah itupun merasa di PHP in Oleh penyelenggara penyaluran bantuan Covid-19 seperti ada keberpihakan dan ketidakadilan untuk keluargan kecilnya itu.

karena tak tahan menderita dan melarat si penampung sampah pun berencana untuk pulang ke daerah asalnya yaitu Manggarai barat, Nusa Tenggara Timur. namun rencana itupun belum tentu berhasil karena melihat kondisi keuangan yang tidak memungkinkan untuk membiayai ticket dirinya dan anak permpuannya untuk sampai ke kampung halaman tercintanya.

Serta situasi yang diharuskan dirumah aja oleh pemerintah pusat dan daerah membuat kehidupan si pengumpul sampah itu serba tidak bisa berbuat apa-apa. hingga sekarang si pengumpul sampah itu hanyalah berdoa kepada sang pencipta dengan harapan mendapatkan keadilan baik sosial maupun ekonominya.

mendengar kisah singkat itu, membuat saya banyak bertanya untuk kebijakan pemerintah khususnya tentang PSBB (pembatasan sosian berskala besar), kebjiakan yang serba dibatasi dengan alasan yang menurut saya kurang sesuai.

Saya setuju dengan pernyataan kementrian kesehatan bahwa covid-19 adalah virus yang membayahakan bahkan mematikan tetapi apakah dengan membatasi semua aktivitas masyrakat virus ini kemudian tidak akan beredar lagi ?

Andai kata kebijakan itu efektif dalam hal pencegahan covid-19 tetapi bagaimana dengan si pengumpul sampah ataupun buruh lepas lainya yang tak beragaji seperti pekerja kantoran dan PNS. ''tapikan walaupun masyrakat di rumah aja kami selaku pemerintah akan bahkan sudah menyalurkan bantuan kepada siapa saja yang terkena dampak covid-19 berupa kebutuhan dasar seperti sembako dan lainya melalui dinsos'' (jawaban pemerintah).

Tetapi tetap saja membuat saya belum puas, karena tidak tepat sasaran buktinya bawha si pengumpul sampah tadi bahkan belum merasakan satupun bantuan atau uluran tangan pemerintah itu.

Tulisan ini terinpirasi dari kisah nyata dan penulis di sini adalah saksi mata dari kisah ini. melaui tulisan ini, ijinkan saya menyampaikan kepada siapapun pembacanya bahwa '' kita boleh dibatasi tapi jangan abaikan kemanusian kita''.

Bagi lembaga pemerintah khususnya yang sudah ditugaskan untuk menyalurkan bantuan bahwa; kerjakan tugas itu sebaik-baiknya dan se-efek-efektifnya ingat bahwa banyak orang semenjak adanya covid-19 ini mengaakui dirinya miskin walaupun pada kenyataanya masih mampu dalam hal ekonominya. dan tetaplah berdoa agar semua ini cepat berlalu tetap solid melawan covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun