Mohon tunggu...
Asakir Asakir
Asakir Asakir Mohon Tunggu... -

Pelajar, suka membaca, bekerja sebagai penerjemah, menulis sebagai nafas, tulisan-tulisan di kompasiana merupakan catatan harian yang dipublikasikan, bisa dikoreksi tapi jangan dituntut, hehe, sekarang sedang kangen kampung halaman.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tidak Enak Jika Tidak Korupsi

20 Januari 2010   21:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_57880" align="alignleft" width="212" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Entah apa yang salah dengan bangsa Indonesia, saya sudah mencari kemana-mana dan apa saja yang menyebabkan Negara ini tidak maju-maju, sistem pemerintahan, sudah bagus, pejabatnya hebat-hebat, rakyatnya pintar-pintar, geografisnya strategis, tanahnya subur, apa saja yang diinginkan seharusnya ada, menanam tongkat bisa menjadi tumbuh-tumbuhan, lautnya luas dan kaya, tapi mengapa Negara ini masih miskin? Dimanakah letak kesalahannya? Katanya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, terus kemana kekayaan itu, mengapa hanya untuk pejabat, sedangkan rakyat tetap melarat? Kalau memang kita menganut demokrasi, yang notabenenya semua urusan Negara berasal dari rakyat, berarti ada yang salah dengan cara kita (rakyat) bernegara. Seharusnya yang menjadi pemimpin dalam Negara demokrasi itu atas persetujuan rakyat, mau berbuat sesuatu harus melalui rakyat, menurut rakyat bagus, berarti pemimpin harus mengatakan bagus, kata rakyat tidak baik, berarti pemimpin tidak boleh melakukannya, begitu seterusnya, kalau nanti ada pemimpin yang neko-neko, berarti rakyat punya hak untuk memberi aba-aba, apakah harus berhenti atau bisa dilanjutkan dengan syarat. Inilah seharusnya yang terjadi di Negara demokrasi! Rakyat menjadi raja dan pemimpin menjadi pembantunya. Dalam Negara yang menganut sistem demokrasi juga seharusnya pemimpin dipilih berdasarkan suara rakyat, siapa yang dikehendaki rakyat, dialah yang berhak menjadi pemimpin, siapa yang tidak baik menurut rakyat berarti dia tidak akan menjadi pemimpin, dan kalau seumpama ada yang terlanjur terpilih, tapi kemudian rakyat taubat dengan pilihannya, berarti dia bisa diberhentikan di tengah jalan, dan ini bisa terjadi jika dikehendaki rakyat. Pokonya semua urusan rakyat dan Negara harus benar-benar persetujuan rakyat! Saya kira sampai di sini belum ada masalah. Nah sekarang bagaimana dengan keadaan sebenarnya Negara kita? Apakah rakyatnya sudah benar sebagai rakyat? Apakah pemimpinnya sudah benar sebagai pemimpin? Dan apakah sistemnya sudah dilaksanakan dengan benar sebagai sebuah sistem? Benarkah kita sudah benar sebagai rakyat? Yang bertugas memilih pemimpin, kemudian mendudukkannya sebagai pemimpin, setelah itu mengontrolnya dan yang terakhir baru mengevaluasinya. Untuk urusan memilih sebenarnya bisa diserahkan kepada nurani masing-masing individu, tidak boleh mendahulukan nilai apapun di atas kualitas, tidak karena satu partai, tidak karena satu golongan, tidak karena satu daerah, tidak karena satu keturunan, dan tidak karena memberi iming-iming, selama ada yang paling berkualitas dialah yang berhak menjadi pemimpin, kalau alasan pilihan ini sudah benar berarti cara memilih kita sudah benar. Setelah dapat pemimpin baru tugas kita adalah mengontrolnya, jangan sampai kita hanya memilih orang untuk memakan kekayaan kita, apalagi menyimpannya untuk anak cucunya sendiri. Dan yang terakhir kita harus mengevaluasinya, apakah kekayaan dia dan keluarganya seimbang antara sebelum menjadi pemimpin dengan sesudahnya, kalau seimbang berarti cocok, tapi kalau ada yang mencurigakan perlu diusut. Sebenarnya sangat mudah bukan untuk memperbaiki sebuah Negara jika kita sepakat? Akan tetapi mengapa yang terjadi di Negara kita kok sangat rumit? Pencurian uang Negara dimana-mana, bukan hanya pejabat berpangkat tinggi yang doyan, yang berpangkat rendahpun ikut-ikutan, tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, terang-teranganpun sering, mau dikatakan karena gaji rendah, keluarganya banyak memakai sarana dan perlengkapan hidup mewah, mau dikatakan karena tuntutan, apa iya makan uang rakyat jadi sebuah tuntutan? Itu semua karena kita salah pilih atau karena kita kurang kontrol? Sepertinya dua-duanya, bukankah ketika ada pemilihan pemimpin, banyak diantara kita yang berpikiran praktis, siapa yang memberi iming-iming dialah yang akan mensejahterakan kita, padahal kalau kita mau berpikir agak dalam sedikit, justeru pemimpin seperti inilah yang sangat berbahaya, karena merasa banyak mengeluarkan biaya ketika pemilihan, akhirnya setelah jadi, langsung menuntut balik modal, kalau perlu lebih banyak dari pengeluaran. Kemudian setelah jadi, kita biarkan mereka berbuat semau mereka, yang mau korupsi ya silahkan korupsi, yang mau nepotisme ya silahkan nepotisme, yang mau kolusi ya silahkan kolusi, yang mau berbuat apa saja silahkan berbuat apa saja, akhirnya, kebebasan berbuat ini membuat mereka makin meraja lela, dari awalnya sedikit akhirnya menjadi banyak, dari yang awalnya malu-malu akhirnya menjadi percaya diri, dari yang awalnya takut-takut, akhirnya menjadi siapa takut? Dari yang awalnya tidak enak ketika korupsi akhirnya menjadi tidak enak jika tidak korupsi, dari yang awalnya cuma dilakukan atasan, akhirnya menjadi kebiasaan bawahan, dari yang awalnya di bawah meja akhirnya menjadi tidak butuh meja, dari yang awalnya kebiasaan segelintir orang akhirnya membudaya. Dan sekarang! Ketika semua sudah merasa tidak enak jika tidak korupsi, kita sudah terlambat untuk memperbaiki satu-satu, bahkan lebih parah lagi, kita yang berusaha mengontrol mereka malah akan dianggap mencemarkan nama baik mereka. Bagaimana cara memperbaikinya? Saya sendiri bingung, mau mulai dari mana dan mau berakhir dimana? Mau mulai dari siapa dan berakhir pada siapa? Yang jelas mulai dari diri sendiri merupakan jawaban paling menghibur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun