Mohon tunggu...
Ahmed S El Hamidy
Ahmed S El Hamidy Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pecinta ilmu yang masih terus belajar untuk lebih baik. Di sela kesibukan kerja, menulis dijadikan sebagai hobby untuk berbagi. "love to share" (sakti_ahmad@yahoo.co.id)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Maafkan Kami, Datuk"

28 Februari 2014   23:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai Community Development Coordinator pada perusahaan di mana saya bekerja saat ini, saya sering mengunjungi institusi Pendidikan di sekitar operasi perusahaan. Di antaranya Pesantren Muhammadiyah, Panti Asuhan “Sayang Omak” dan beberapa organisasi sosial lainnya. Semuanya berada di kota minyak bertuah, Duri. Minggu lalu, dalam perjalanan menuju Pesantren Muhammadiyah, saya dikejutkan dengan penemuan aneh-saya sebut aneh, karena sebelumnya saya tidak pernah dihadapkan dengan penemuan serupa. Bagi warga setempat, itu sudah menjadi hal biasa, tapi bagi saya menemukan gumpalan kotoran gajah (tahi,red) di sisi jalan yang baru diratakan menjadi isyarat bahwa “Datuk” itu sedang memberi peringatan kalau mereka selalu melewati jalanan itu.

Panggilan “datuk” adalah sebutan untuk gajah liar yang masih berkeliaran di hutan kecil, tidak lebih luas dari 10 kali ukuran lapangan sepak bola. Dulunya tempat itu hutan belantara. Tidak ada yang berani menjamahnya bahkan sekedar untuk mendekati. Selain rimbun pepohonan besar, hutan itu juga menjadi habitat untuk makhluk Tuhan lainnya. Termasuk gajah, yang sampai detik ini, masih berusaha mempertahankan kedaulatan tanah mereka. Disebut “Datuk” karena menurut penuturan sesepuh terdahulu, bahwa gajah adalah jenis binatang yang mempunyai adat mirip dengan manusia. Mereka tidak akan menggangu, jika kita tidak mengusik mereka terlebih dahulu. Mereka juga sudah lebih dahulu menjadi penguasa lahan yang saat ini sedang mereka perjuangkan. Hal tersebut membuat para orangtua terdahulu memanggil mereka dengan sebutan “Datuk”. Hingga panggilan tersebut, turun temurun sampai sekarang ini.

Saya tidak tahu banyak tentang “datuk”. Hanya saja, dari pemberitaan di media, membuat saya semakin yakin bahwa keberadaan meraka saat ini seperti berada diujung tanduk. Mereka mau saja pergi dan mencari habitat baru. Namun ke mana mereka harus pergi. Di sekeliling mereka sudah menjadi perumahan warga. Lebih jauh sedikit adalah areal ladang minyak Perusahaan raksasa untuk mengambil hasil bumi dari tanah yang dulunya “datuk” menjadi raja.

Beberapa bulan yang lalu, saya membaca sebuah berita di Tribun, bahwa “seekor induk gajah liar penghuni hutan di kawasan Kota Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, terpantau menderita sakit akibat terperangkap jeratan yang dirakit warga sekitar." Pernah juga saya mendengar, tidak jarang warga memasukkan racun ke tanaman di belakang pekarangan rumah, dan kebun mereka. Sehingga menyebabkan para “datuk” yang sial karena memakan tanaman yang sudah diracuni, mati secara perlahan. Sungguh miris dan menyedihkan.

“Ini salah siapa?”, pertanyaan itu pernah melintas di pikiranku. Di satu sisi, warga, perusahaan tidak akan mau disalahkan. Karena gajah-gajah itu sering merusak perkebunan warga, meruntuhkan pagar perusahaan di sekitarnya. Di sisi lain, Kelompok minoritas itu (gajah/datuk-red) juga harus berjuang untuk keberlangsungan hidup mereka. Mereka butuh makan, sedangkan habitat mereka telah disulap menjadi lahan gersang. Umbi-umbian yang selama ini menjadi santapan mereka telah berubah menjadi susanan perumahan warga.

Jika kita sering berdalih dengan mengusung kekuatan “hak azasi manusia”, bagaimana dengan mereka. Apakah kita akan bisa bersifat adil memberikan kembali habitat mereka dengan alasan yang sama, hak azasi Hewani. Siapa yang harus lebih bertanggung jawab untuk semua ini?, pemerintah, perusahaan setempat, atau warga. Apakah kita akan tinggal diam. Semoga menjadi pelajaran  untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitar kita. Saya yakin masih banyak masalah yang sama di tempat lain. Saat ini saya hanya bisa berucap, “Maafkan kami, Datuk”. ***

Duri, 28 Februari 2014

Ahmed S. El hamidy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun