Pemuda memang kuli karena itu adalah bakat mereka. Bukan kuli bangunan yang mengangkut bahan bangunan, tapi yang mengangkut beban bangsa, yaitu membangun terus fondas negarai yang telah didirikan para pendahulu kita.
Pencetusan dasar negara oleh para Founding Fathers (Pendiri Bangsa), telah memberikan kita seluruh fondasi, cetakan biru, dan bahan-bahan yang diperlukan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bekal yang telah kita miliki. Sekarang tinggal kita bagaimana mengolahnya agar hidup di tubuh kita, yaitu tubuh Indonesia. Kalau kita biarkan Pancasila dan UUD 1945 hanya diam, yang akan terjadi adalah sama seperti seluruh makanan yang tidak dimakan, busuk.
Dasar negara kini sudah berdiri di tempat yang tersembunyi, bukan didalam sanubari para rakyat, namun hanya berada di ingatan saat dulu sekolah. Selama pembelajaran di sekolah, siswa akan diberikan perlajaran tentang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), namun apa yang mereka dapatkan bukanlah esensi Pancasila, yaitu nilai-nilai yang mampu diimplementasikan, malahan mereka diajarkan tentang fungsi jajaran pemerintahan, seperti tugas DPR RI, DPRD, DPD, dan lainnya.Â
Cita-cita bangsa yang tertera di pembukaan UUD 1945 pun tidak mampu diwujudkan dalam waktu dekat, karena semua masih sibuk problematika lama, yaitu ingin saling memajukan ideologinya masing-masing. Rakyat Indonesia kini seperti dua pengendara motor yang berkelahi di jalan, bukan hanya mereka yang berhenti untuk saling menghantam, namun banyak orang lain juga yang terhalang lajunya, apalagi kalau ada yang berhenti demi numpang nonton. Kasihan yang lain, karena dua pengendara itu, orang-orang lain juga jadi terjebak macet.
Lalu kini pemuda yang harus menjadi kuli, menanggung beban berat untuk mengolah bekal pendahulu kita yang tidak diolah oleh generasi tua kita. Coba lihat kini, para elite politik, kerjanya hanya demi kepentingan dia dan partainya (walau tidak bisa di generalisasi). Sekarang partai politik dipimpin oleh tokoh-tokoh, semuanya memiliki janji dan omongan manis, namun nyatanya tidak ada yang berbeda. Bagai semut mengerumuni gula, kalau sudah habis, ya mereka pindah ke tempat lain.Â
Hal seperti diatas adalah yang terjadi di negara kita saat ini, semua membabat habis harta negara, sumber daya alam, tapi tidak ada pengelolaan untuk meregenerasi, bahkan untuk me-upgrade harta Indonesia. Maka kini kuli-kuli tugasnya makin berat, semen dan bata untuk membangun bangunan pencakar langit, malah habis demi mendirikan rumah-rumah pribadi orang-orang yang memiliki akses ke bahan bangunan itu. Lalu, dengan apa negeri ini dibangun kalau sudah habis bahannya?
Pemuda harus memotong tradisi egois, bahwa kepentingan nasional adalah yang terpenting untuk dicapai, sebelum kepentingan pribadi terwujud. Yang seharusnya menjadi pemimpin rakyat adalah mereka yang sudah selesai menggapai kepentingan mereka. Biar nanti saat diatas, hati mereka tidak lagi diperbudak perut. Kalau seseorang sudah kenyang, tidak mungkin seorang itu akan makan lagi. Namun orang yang lapar, kadang mengambil makanan lebih dari yang ia butuhkan. Â
Yang perlu pemuda lakukan kini adalah mengerti dunia politik yang telah terkontaminasi. Bukan berarti pemuda harus berbondong-bondong masuk partai politik, namun mengerti dulu politik secara ideal agar nanti tidak mudah ditipu dan dimanipulasi oleh parpol yang ingin menggunakan pemuda sebagai alat kepentingan. politik. Bagaimana kedepannya pemuda akan berkreasi dalam menjadikan Indonesia sesuai dengan ideologi, itu bergantung pada sejauh apa pengertian pemuda akan pentingnya implementasi dasar negara dalam mewujudkan cita-cita berbangsa.
Kini sudah mulai terlihat kepedulian pemuda dalam dunia politik, hadirnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah menunjukkan bahwa kini pemuda harus berbuat sesuatu, gerakan baru yang bukan daur ulang lagi, gerakan yang berani berpendapat namun juga dalam cara yang elegan. Kepengurusan PSI yang sebagian besar berskala umur 17-30 tahun, adalah gerakan pemurnian dalam partai politik. Semoga saja kedepannya PSI mampu mempertahankan kemurnian yang mereka miliki.Â
Partai yang baru memang dibutuhkan agar tidak terjadi pengulangan kesalahan, pelunasan hutang lama, terbelit konflik dahulu kala, apalagi yang dikuasi oleh suatu keluarga. Memang yang namanya baru itu tidak memiliki pengaruh yang dahsyat, namun tidak berarti mereka yang baru tidak masuk hitungan.Â
Akhir kata, penulis ingin menyampaikan, bahwa untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari kekelaman yang telah dilakukan generasi tua dan kaum elite, dibutuhkan pekerja-pekerja keras, yaitu pemuda, yang murni dan suci, yang nantinya akan menghapus kebobrokan negeri dan menanamkan kepedulian di dalam sanubari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H