Setiap orang memiliki hobi yang berbeda-beda; ada yang hobi memancing, bermain bola, menulis, membaca, berenang, dan lain-lain. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kesenangan. Seseorang merasa senang dengan aktivitas tersebut, lalu melakukannya terus-menerus hingga terbentuk kebiasaan, yang kemudian melahirkan cinta. Dari cinta itu tercipta kebahagiaan.
Sebaliknya, orang yang tidak menyukai aktivitas di luar hobinya akan menggerutu, mengomel. Karena hobi terbentuk dari cinta, wajar jika seseorang cepat bosan dengan aktivitas yang tidak disukai. Butuh adaptasi agar aktivitas tersebut menyenangkan dan menjadi hobi. Membentuk kebiasaan tidak bisa dilakukan dalam dua atau tiga hari; butuh waktu lama hingga aktivitas tersebut benar-benar menyenangkan dan menjadi solusi atas suatu masalah.
Menulis, misalnya, adalah hobi yang unik. Tidak banyak orang mampu menulis, merangkai kata, dan membangun narasi yang menarik bagi pembaca. Namun, hobi menulis tidak bisa dipisahkan dari membaca. Biasanya, orang yang banyak membaca juga bisa menulis, tetapi banyak pula yang banyak membaca tetapi tidak bisa menulis. Oleh karena itu, hobi menulis adalah suatu privilege.
Menjadi penulis butuh kebiasaan dan banyak "amunisi" dari membaca. Jenis bacaan akan memengaruhi gaya bahasa yang digunakan. Misalnya, banyak membaca buku ilmiah, penelitian, atau filsafat akan menghasilkan bahasa yang lebih formal. Sebaliknya, banyak membaca novel atau puisi akan menghasilkan bahasa yang lebih ringan, estetis, dan kaya akan nuansa sastra.
Jadi, penulis harus banyak membaca. Apa pun jenis bukunya, bacalah! Dengan banyak membaca, akan banyak pula ide dan imajinasi yang dapat dijadikan bahan tulisan. Saya berani mengatakan bahwa orang yang tidak banyak membaca tidak mungkin menjadi penulis yang baik. Membaca adalah dasar untuk menganalisis dan membangun narasi yang menarik dan berbobot. Menulis dan membaca adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
Sayangnya, banyak orang, terutama mahasiswa, yang lebih suka bercengkrama dengan HP mereka daripada membaca. Media sosial, video pendek di TikTok dan Instagram, membuat otak mereka "buntu" dan kekurangan "amunisi" berupa ide dan gaya penulisan. Sangat disayangkan jika seorang mahasiswa menyadari ketidakmampuannya menulis, padahal menulis dan menganalisis adalah kemampuan penting bagi seorang mahasiswa.
Banyak cara menulis yang baik dan benar, tetapi seringkali kita merasa tidak perlu mempelajarinya. Padahal, mempelajari teknik menulis itu penting. Tidak perlu selalu bertanya hal-hal dasar yang sudah dipelajari di SMA dan S1. Seorang mahasiswa S2 seharusnya sudah mampu menulis dengan baik.
Di era teknologi canggih ini, sudah banyak alat bantu menulis, seperti AI (ChatGPT) dan sejenisnya. Ini menjadi tantangan bagi penulis pemula, yang semangat menulisnya sering naik turun. Banyak tulisan yang masih dicurigai sebagai hasil karya AI. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima, di mana tulisan kita dicurigai bukan hasil karya sendiri karena kemudahan menghasilkan tulisan dengan bantuan ChatGPT.
Apakah tantangan ini membuat kita berhenti menulis? Jika kita berhenti, siapa yang akan menuangkan ide-ide brilian kita menjadi narasi? ChatGPT tidak bisa menghasilkan ide unik; ia hanya sistem. Namun, kemampuannya meniru tidak bisa diremehkan. Oleh karena itu, kita harus menciptakan versi lain dari ChatGPT -- versi yang lebih orisinil dan kreatif. Terkait anggapan orang bahwa tulisan kita berasal dari AI, biarkan saja; itu konsekuensi hidup di dunia teknologi modern.
Tulislah apa yang ada di pikiran kita. Ide-ide brilian dan unik tidak boleh hanya berkutat di otak karena lambat laun akan hilang. Kembangkan bahasa, pahami, dan buat narasi yang memikat pembaca. Kata-kata dan pengetahuan yang dituangkan dalam narasi akan hidup, dan hati kita pun akan bahagia. Saya berani bertaruh bahwa karya yang tidak dihasilkan dari usaha keras tidak akan mendatangkan kebahagiaan.