Secara nama saja, Sex Pistols dan Green Day sudah beda terkait rasa. Yang Inggris berkesan pornografi, yang Amerika Serikat malah ada poin penghijauan. Green Day pun lebih layak jika dihubungkan dengan isu "Green Economy" yang lagi tren pasca Paris Agreement (2015). Sedangkan Sex Pistols, mau diarahkan kemana, orang secara definisi saja kasar. Bisa berasa, kan. Bahwa generasi tahun 1975-an tuh lebih "ngeres" otaknya.
Dalam sebuah pengajuan, saya pun berusaha memadukan "punk rock" dan tema "kearifan lokal". Ini pun ada kaitan saat beberapa tahun lalu saya ikut tim penelaah UU no.33 tahun 2009. Namanya "Punk Dulmuluk", dimana kata "Dulmuluk" mengacu pada kesenian tradisional (teater) yang menjadi ciri khas kami di Sumatera Selatan.
Meskipun pada akhirnya ditolak, saya tak berkecil hati. Via Twitter saya coba membuat tagar #PunkDulmuluk, dengan maksud agar generasi sekarang (atau mungkin nanti) tahu bahwa perpaduan elemen musik dan teater bisa masuk akal. Kalau ditanya, bagaimana caranya? Ini dia, nih.
Saya kasih contoh karya paling melegenda di Sumsel yang jadi lagu wajib para jomblo, judulnya "kaos lampu". Pernah nggak, terfikir bahwa lagu yang terkenal dengan lirik "bujang buntu" itu dibawakan dengan musik punk? Musiknya bernuansa cepat dan keras, sound gitarnya kasar, vokalisnya benar-benar jomblo akut, yang kalau teriak "bujang buntuuu", benar-benar mewakili perasaan hati terdalam. Bisa dibuat komposisi di awal-awal santai kayak duet maut Sahilin dan Siti Rohmah, tapi di bagian tertentu melaju kencang bak NTRL menyanyikan lagu "Wa..lah". Hmmm... Seru juga, ya?
Video klip band Punk Dulmuluk ini dibuat benar-benar bergaya pop art, yang dicampur dengan elemen tradisional. Misal, ada adegan rombongan Punk Dulmuluk naik "kuda dulmuluk" (tau, kan?) terus mengacungkan pedang sambil teriak, "bujang buntuuu". Ini asyik lagi, kita bukan hanya mengekspresikan seni ala-ala anak sekarang yang positif Covid (eh salah), positif jomblo maksudnya. Tapi kita juga melestarikan budaya yang sesuai dengan kearifan lokal itu tadi. Bisa dibayangkan, jika dalam satu video klip tokoh-tokoh legenda Sumsel nongol kayak lagu Chrisye, "cintaku", termasuk sang maestro Wak Pet. Asyik, nih.
Punk Dulmuluk ini adalah jembatan bagi generasi tua ke generasi muda pasca pandemi, kalo emang benar pandemi sudah berakhir. Jadi perbedaan pola pikir kayak "Sex Pistols" dan "Green Day" tadi bisa diminimalisir. Nggak ada lagi yang namanya generasi sekarang lebih payah, terus generasi dulu baik semua. Ya, iyalah. Orang kalau udah tua bawa-annya pengen baik, bukan jadi nggak bener. Nggak ada lagi juga generasi muda yang menganggap bahwa yang tua-tua itu kolot, alias ketinggalan zaman. Dan yang paling penting, gak ada yang benar, gak ada yang salah. Bukan Benar-Salah.Â
Kecuali bagi siapa-siapa yang melanggar hukum dan ketentuan Tuhan. Itu lain lagi.
=====
(26-29 Juni 2022)
-----
Sumber Foto: Majalah HAI, band Prabumulih "Warrior".