Mohon tunggu...
Asa Adetya
Asa Adetya Mohon Tunggu... Guru - Educator

Lifelong learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cantik, Putih, dan Diskriminasi Gender

11 Desember 2023   12:09 Diperbarui: 11 Desember 2023   12:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, kita selalu mendengar jargon produk kecantikan yang memberi iming-iming memutihkan kulit. Bahkan tak jarang mereka menamai brand mereka dengan menggunakan kata "white". Tawaran untuk mampu mengubah tone warna kulit dalam sekejap ternyata mampu membuat publik tergiur.


Lantas, mengapa masih banyak dari kita yang berpikir bahwa cantik itu harus putih?


Gagasan 'cantik itu putih' mulai muncul sejak jaman kolonialisme. Dulu, Belanda menciptakan stratifikasi sosial antara bangsa mereka dan pribumi. Mereka menganggap bangsa pribumi sebagai kaum rendahan dan tidak lebih bernilai dibandingkan bangsa mereka. Stereotip itu pun akhirnya melekat pada pikiran bangsa pribumi dan akhirnya menciptakan gagasan bahwa bangsa kulit putih adalah bangsa yang lebih baik dari berbagai aspek daripada bangsa kulit berwarna, termasuk dalam aspek kecantikan. Dari sinilah akhirnya muncul gagasan 'cantik itu putih'.


Warisan penjajahan ini ternyata masih disimpan oleh bangsa ini bahkan setelah tujuh puluh tahun lebih merdeka. Hal ini dapat disaksikan dari berbagai macam brand kecantikan yang menjadikan 'putih' sebagai komoditas. Dari sini lah publik akhirnya semakin mempercayai bahwa dengan memiliki kulit putih, maka kita akan lebih memiliki nilai dan dihargai. Ramai-ramai orang semakin gandrung memiliki obsesi menjadi putih. Tak jarang, banyak di antaranya yang bahkan rela untuk melakukan suntik putih di klinik kecantikan yang legalitasnya diragukan.


Obsesi menjadi putih ini juga muncul akibat dari apa yang dipertontonkan lewat industri entertainment. Jika kita amati pada banyak film layar lebar, tokoh antagonis cenderung diasosiasikan dengan atribut berwarna gelap. Sementara mereka yang menjadi protagonis akan muncul dengan warna putih atau warna terang lain.


Tidak hanya itu saja, pada industri entertainment lokal kita juga bisa melihatnya di sinetron yang tayang di televisi. Tokoh yang memiliki kondisi ekonomi lemah seringnya adalah mereka yang memiliki kulit lebih gelap dibanding tokoh yang kaya raya.
Mau tidak mau, doktrinasi ini masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat dan pada akhirnya menciptakan obsesi untuk memiliki kulit berwarna putih.


Namun, obsesi ini nampaknya hanya santer dimiliki oleh kaum perempuan. Sementara, laki-laki cenderung tidak terlalu mempedulikan warna kulit mereka. Produk perawatan kulit yang dimiliki kebanyakan laki-laki cenderung tidak sebanyak yang perempuan miliki. Bahkan, semua teman laki-laki saya sepertinya justru lebih memilih menggunakan uang mereka untuk membeli action figure dibanding produk perawatan kulit.


Mengapa demikian?


Hal ini muncul akibat tuntutan sosial dan diskriminasi gender yang masih kental dalam masyarakat kita. Perempuan selalu dikaitkan dengan unsur feminin, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan estetika atau keindahan. Sementara, masyarakat masih meyakini bahwa keindahan memiliki unsur-unsur yang harus bisa dipenuhi agar mencapai standar. Terang saja bahwa tuntutan terhadap perempuan akan lebih mengarah kepada apa yang mampu dilihat secara kasat mata, seperti warna kulit, pakaian, gaya rambut, dan sebagainya. Tuntutan ini tidak didapatkan pada laki-laki karena apa yang menjadi perhatian masyarakat terhadap laki-laki justru sebaliknya. Laki-laki akan dikaitkan dengan maskulinitas. Sementara, maskulinitas laki-laki cenderung akan dipertanyakan apabila ia melakukan hal-hal yang dianggap memenuhi aspek estetika. Maka, jangan heran jika banyak orang akan melabeli seorang laki-laki yang merawat dirinya dengan ujaran yang bermakna lemah. Laki-laki pun akhirnya mempercayai bahwa 'indah' tidak menjadi tuntutan baginya, melainkan yang lain—kekuatan.


Pada akhirnya, standar kecantikan dan diskriminasi gender sudah sepantasnya kita tiadakan. Bukankah setiap dari kita memiliki hak atas tubuh kita masing-masing? Bukan masing-masing kita memiliki standar selera untuk menentukan 'indah'?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun