Mohon tunggu...
Asa Jatmiko
Asa Jatmiko Mohon Tunggu... Seniman - Tuhan menciptakan kita sebagai kreator, bukan tawanan.

penulis dan aktivitas teater/film. Dilahirkan pada 07 Januari 1976. Menulis puisi, cerpen, essai sastra dan budaya ke berbagai media massa yang terbit di Indonesia, seperti; Kompas, Suara Pembaruan, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Lampung Post, Surabaya Post, Bali Post, Media Indonesia, Jawa Pos, Solopos, dan lain-lain. Karya-karyanya juga termuat berbagai antologi, seperti; Hijau Kelon, Resonansi Indonesia, Grafitti Gratitude, Filantrophi, Trotoar, Tamansari, Gerbong, Jentera Terkasa, Embun Tajalli, Begini Begini dan Begitu, Pasar Kembang, Buku Catatan Perjalanan KSI, dan lain-lain. Selain itu, ia aktif juga di dunia seni pertunjukan (teater), dengan telah menulis naskah drama dan menyutradarai beberapa pentas teater. Karya di bidang teaternya, antara lain; Rekonsiliasi Nawangwulan_Joko Tarub, Performance Art “Dust To Dust”, Parodi Jonggrang Putri Prambatan, LOS (Labours On Stage), Dhemit, Endemic Passion, Jangan Dorr!, Ketika Iblis Menikahi Seorang Perempuan. Pentas keliling 2 Naskah karya Kirdjomuljo, berjudul Senja dengan Dua Keleawar dan Sepasang Mata Indah. Kemudian bermain dan menyutradarai lakon Hanya Satu Kali, Godlob, dan di Universitas Muria Kudus: The Tragedy of Hamlet (2007), The Pillars of Society (2008) dan Sampek – Engtay (2009). Meluangkan waktu untuk pentas tunggal, antara lain; Pembacaan Puisi Keliling SMA selama 2 bulan, kemudian pentas tunggal pembacaan 7 cerpen karya 7 cerpenis Kudus di Hotel Kenari “Cerita-cerita Kota Kretek” dan lain-lain. Dan akhir-akhir ini sedang gandrung dengan penggarapan film, terutama film-film indie. Beberapa karyanya, antara lain; miniseri BLOK D76 yang sudah ditayangkan pada bulan Juni 2006 di ProTV, sebuah stasiun televisi lokal. Dan menyusul penggarapan film indie yang bersetting gula tumbu berjudul SKETSA GELISAH API, sebuah film televisi RINAI SERUNI, Film Pendek SALAH PILIH, Film Dokumenter KEPAK SAYAP TERBANG PAPAT dan Film Pendek MONTOR MABUR KERTAS. Antologi puisi tunggalnya berjudul PERTARUNGAN HIDUP MATI dan kaset pembacaan puisi ANTIFON BURUNG PEMANTIK API. Kini tengah mempersiapkan buku puisinya yang kedua, berjudul ONE AND GONE yang dilengkapi dengan CD pembacaan puisi Asa Jatmiko. Kini tinggal di Kudus, menjadi sutardara NJAWA TEATER.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Orang Gila dan Sesobek Plumeria

16 Oktober 2015   12:02 Diperbarui: 16 Oktober 2015   12:02 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sore itu masih terasa gerah. Matahari mulai beringsut merendah di langit sebelah Barat. Angin seolah tak bergerak sama sekali. Seorang lelaki paruh baya, orang mengenalnya sebagai orang gila, nampak berjalan di trotoar yang memuai. Ia berjalan dan masuk ke sebuah pemakaman umum.

Ia hanya bercelana panjang di kaki kirinya, kaki kanannya terbuka hingga betisnya. Daki hampir melumuri sekujur tubuhnya. Radius 10 meter orang sudah tahu siapa yang bakal lewat, baunya memperkenalkan dirinya. Meskipun ia sendiri jarang banyak bicara.

Namun beberapa hari ini beberapa orang sering mendengar ia berbicara. Entah dengan siapa. Mungkin ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mungkin ia sedang berbicara dengan orang yang tidak diketahui oleh orang umumnya. Mungkin dia berbicara tapi kita tidak mengerti maksudnya. Mungkin dia sedang berbicara untuk kita. Entahlah.

Duduk dia di bawah Plumeria yang tengah lebat berbunga. Mahkotanya putih dan beroles kuning keemasan di bagian dalam. Dari kejauhan, bunga-bunga Plumeria itu seperti aksen indah pada selembar kain batik di tanah makam.

Orang gila itu menghela nafas, kemudian tertawa tiba-tiba. Giginya kuning kehitaman. Rambutnya yang acak-acakan bergoyang. Lalu tangan kirinya menggaruk kepalanya, dan dijilatinya jari-jarinya setelah itu. Mungkin ia makan kutu. Karena kemudian ia bersendawa. Glegeken. Bau mulutnya menguap memenuhi udara.

Udara yang tercemari bau mulutnya, menggetarkan bunga-bunga Plumeria yang lagi bersolek indah di atas kepalanya. Setangkai yang tak mampu bertahan, pingsan. Terlepas ia dari pegangan. Terlepas dari gagang tangkainya.

Setangkai Plumeria yang terlepas itu berputar di udara. Seperti kitiran helikopter, seperti gangsingan anak-anak di halaman sekolah. Sebentar terombang-ambing. Lalu jatuhlah ia di atas tanah makam, dua senti dari ibu jari kaki kiri orang gila itu.

Mendadak merah raut muka orang gila itu. Ia mengumpat. Misuh-misuh. Kalau ada 100 kata-kata kotor untuk mengumpat, ia punya 200 kata umpatan. Kalau ada 10 kata untuk misuh, ia mengulang-ulangnya sepuluh kali lipatnya. Ia berhenti saat ia mengubah orientasi.

Matanya tajam menatap bunga Plumeria yang tengkurap tak berdaya. Lalu tangan kirinya mengambilnya. Sebentar ia menatap kelopaknya yang berjumlah lima. Sore itu pemakaman amat tenang. Sunyi. Tak ada orang. Orang gila itu pun mungkin sudah tak menganggap dirinya "orang".

Orang gila itu kemudian merobek salah satu lembar kelopaknya. Ia seperti tengah membaca. Mungkin menurutnya pada selembar itu ada tulisannya. Ia memasukkan bagian bunga yang lain ke dalam saku celananya, dan ia mulai membaca pada selembar yang disobeknya: "Ketuhanan Yang Maha Esa".***

 

14 Okt 2015

Salam,

-aj-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun