Sore itu masih terasa gerah. Matahari mulai beringsut merendah di langit sebelah Barat. Angin seolah tak bergerak sama sekali. Seorang lelaki paruh baya, orang mengenalnya sebagai orang gila, nampak berjalan di trotoar yang memuai. Ia berjalan dan masuk ke sebuah pemakaman umum.
Ia hanya bercelana panjang di kaki kirinya, kaki kanannya terbuka hingga betisnya. Daki hampir melumuri sekujur tubuhnya. Radius 10 meter orang sudah tahu siapa yang bakal lewat, baunya memperkenalkan dirinya. Meskipun ia sendiri jarang banyak bicara.
Namun beberapa hari ini beberapa orang sering mendengar ia berbicara. Entah dengan siapa. Mungkin ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mungkin ia sedang berbicara dengan orang yang tidak diketahui oleh orang umumnya. Mungkin dia berbicara tapi kita tidak mengerti maksudnya. Mungkin dia sedang berbicara untuk kita. Entahlah.
Duduk dia di bawah Plumeria yang tengah lebat berbunga. Mahkotanya putih dan beroles kuning keemasan di bagian dalam. Dari kejauhan, bunga-bunga Plumeria itu seperti aksen indah pada selembar kain batik di tanah makam.
Orang gila itu menghela nafas, kemudian tertawa tiba-tiba. Giginya kuning kehitaman. Rambutnya yang acak-acakan bergoyang. Lalu tangan kirinya menggaruk kepalanya, dan dijilatinya jari-jarinya setelah itu. Mungkin ia makan kutu. Karena kemudian ia bersendawa. Glegeken. Bau mulutnya menguap memenuhi udara.
Udara yang tercemari bau mulutnya, menggetarkan bunga-bunga Plumeria yang lagi bersolek indah di atas kepalanya. Setangkai yang tak mampu bertahan, pingsan. Terlepas ia dari pegangan. Terlepas dari gagang tangkainya.
Setangkai Plumeria yang terlepas itu berputar di udara. Seperti kitiran helikopter, seperti gangsingan anak-anak di halaman sekolah. Sebentar terombang-ambing. Lalu jatuhlah ia di atas tanah makam, dua senti dari ibu jari kaki kiri orang gila itu.
Mendadak merah raut muka orang gila itu. Ia mengumpat. Misuh-misuh. Kalau ada 100 kata-kata kotor untuk mengumpat, ia punya 200 kata umpatan. Kalau ada 10 kata untuk misuh, ia mengulang-ulangnya sepuluh kali lipatnya. Ia berhenti saat ia mengubah orientasi.
Matanya tajam menatap bunga Plumeria yang tengkurap tak berdaya. Lalu tangan kirinya mengambilnya. Sebentar ia menatap kelopaknya yang berjumlah lima. Sore itu pemakaman amat tenang. Sunyi. Tak ada orang. Orang gila itu pun mungkin sudah tak menganggap dirinya "orang".
Orang gila itu kemudian merobek salah satu lembar kelopaknya. Ia seperti tengah membaca. Mungkin menurutnya pada selembar itu ada tulisannya. Ia memasukkan bagian bunga yang lain ke dalam saku celananya, dan ia mulai membaca pada selembar yang disobeknya: "Ketuhanan Yang Maha Esa".***
14 Okt 2015
Salam,
-aj-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H