Mohon tunggu...
As Zulfa Nurkholishoh
As Zulfa Nurkholishoh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Jember

life, love, and cats.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Moneter Yang Dialami Indonesia selama 77 Tahun Merdeka, Ada Apa Saja?

3 April 2023   00:05 Diperbarui: 3 April 2023   00:11 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Frederic S Mishkin dalam bukunya yang berjudul "Monetary Policy Strategy" (2007)  krisis moneter merupakan krisis uang atau keuangan yang dialami oleh suatu Negara. Hal ini dapat terdeteksi dari kondisi keuangan yang tidak stabil akibat keuangan dan nilai tukar mata uang yang mengalami inflasi (jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan resesi).

Terdapat pula beberapa penyebab krisis moneter dapat terjadi pada suatu Negara, seperti:

  • Terjadinya kesenjangan produktifitas terhadap factor produksi (aset).
  • Sektor produksi yang tidak seimbang.
  • Hutang luar negeri yang meninggi (bahkan terkesan ketergantungan) dan waktu pembayaran terlampau pendek, menyebabkan ketidak stabilan terjadi.
  • Sistem perbankan yang lemah.
  • Situasi politik sedang menghangat juga akan berdampak pada perekonomian.

Indonesia sendiri sudah pernah mengalami krisis moneter. Terhitung 3 kali dalam 77 tahun ini. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia mengatakan "terdapat pembelajaran di setiap krisis yang melanda". Hal tersebut dikatakan beliau pada webinar  Beasiswa LPDP 2022, yang bertema "Berkontribusi bersama LPDP, Menyongsong Transformasi Diri dan Kemajuan Negeri," Jum'at (25/02/2022).

Beliau juga melanjutkan, bahwa "Dalam 30 tahun terakhir saja kita melihat 3 krisis besar pernah menghantam Indonesia, tahun 97- 98 waktu itu kita menghadapi krisis keuangan yang luar biasa yang melanda Indonesia," kata Menkeu Sri Mulyani. Dilansir dari liputan6.com

Pada masa itu, Indonesia sampai harus melakukan dana talangan dalam jumlah besar agar dampak yang terjadi dapat dicegah meskipun sulit.

"Itulah yang sampai hari ini kalau kalian masih suka mendengar berita mengenai bagaimana pemerintah mencoba mendapatkan kembali bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI itu adalah warisan dari krisis 97-98," ujarnya.

Seperti juga yang telah dijelaskan di awal, bahwa krisis moneter pada 1997-1998 merupakan krisis moneter terberat yang dialami Indonesia. Menurut Sri Mulyani, krisis tersebut terjadi karena kebijakan makro ekonomi yang keliru diambil oleh Negara-negara ASEAN.

Saat itu Negara-negara ASEAN dapat terbilang dalam kondisi maju dalam beberapa decade (menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih bagus), dikarenakan ekspor industrialisasi yang sedang terjadi sangat kompetitif.

Krisis moneter yang terjadi saat itu juga dikarenakan oleh current account deficit (CAD) yang ada di Negara-negara Asia Timur termasuk juga Korea Selatan. "Jadi capital flow nya bebas tetapi nilai tukarnya fix dan kemudian terjadilah CAD. Di mana CAD itu mencapai level yang disebut biasanya 3 persen sebagai trigger dianggap negara itu mungkin tidak sustainable," ujarnya.

Sehingga hal tersebut mengakibatkan nilai tukarnya merugi hingga tidak dapat dipertahankan karena CAD yang mengalami penurunan signifikan. "Jadi kalau kita lihat krisis pertama adalah krisis yang ditrigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fix, Maka krisis pertama itu ditandai dengan tidak hanya di sektor riil tetapi sektor perbankan. Negara itu sistem keuangan yang pasti terkena secara langsung makanya yang terjadi adalah krisis moneter disebutnya Jadi ini krisis pertama penyebabnya sangat spesifik" ujar Sri Mulyani.

Dalam usahanya untuk bangkit kembali, Indonesia  melakukan berbagai langkah reformasi, terutama dalam bidang keuangan Negara. Hal ini dapat terlihat dari lahirnya dari Undang-uang yang kemudian muncul, seperti UU keuangan Negara, UU perbendaharaan Negara, dan UU mengenai BPK. Selain itu, lebih mentransparankan APBN agar sesuai dengan standar internasional guna mengatasi permasalahan pembangunan dan ekonomi juga menjadi langkah yang diambil oleh Indonesia.

Kemudian krisis kedua yang Indonesia alami terjadi pada tahun 2008-2009. Terjadinya krisis ini memberikan dampak yang besar karna tidak hanya di Indonesia, namun Amerika Serikat dan Eropa juga mengalami krisis keuangan ini sehingga dikatakan bahwa ini merupakan krisis keuangan global.

Pada kejadian kali ini, langkah yang diambil oleh Indonesia adalah melakukan reformasi kembali terhadap sector keuangan. Sehingga terbitlah UU mengenai OJK, yang dimana mengawasi sistem keuangan terutama pada sektor keuangan dalam negeri (domestic).

Krisis ketiga yang terjadi sebenarnya juga dapat dikatakan krisis secara global juga, yaitu Pandemi Covid-19. Pandemi ini telah berlangsung sekitar 2 tahun lebih yang dampaknya sangat terasa bagi banyak kalangan. Hal ini karena perubahan pola kehidupan yang menuntut agar lebih bersih dan menjaga kesehatan juga menjadi salah satu factor pemberat dari krisis yang sedang terjadi ini.

Pada krisis kali ini Sri Mulyani berkomentar "Jadi setiap krisis menghasilkan suatu pembelajaran saat ini 2 tahun lebih kita dihadapkan pada krisis yang luar biasa Dahsyat seluruh dunia yaitu pandemi covid 19. Sebuah krisis yang akan unpredicted (tak terduga) di dalam 100 tahun terakhir," pungkasnya acara webinar yang sama tersebut.

Dalam penanggulangan krisis moneter, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu melakukan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal sendiri merupakan perencanaan pemerintah dalam "berapa banyak" uang yang akan dibelanjakan, "kapan" direncanakan akan habis atau digunakan, serta "berapa bunga" yang harus dianaikkan atau diturunkan. Hal tersebut dilakukan guna menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan yang ada dalam sistem moneter karena dari situ juga dapat menilai apakah sistem perekonomian berjalan dengan baik atau tidak.

Namun, kunci agar hal tersebut dapat terlakasana adalah perilaku kebijakan fiskal. Karena jika pemerintah bertujuan agar kegiatan ekonomi dan lapangan pekerjaan meningkat maka diperlukan pengeluaran. Namun jika pemerintah bertujuan mengurangi pengeluaran dan menciptakan banyak kelonggaran pada bidang ekonomi, yang perlu dilakukan adalah menciptakan lebih banyak stimulus ekonomi.

Akhir-akhir ini pula sempat terdengar kabar bahwa resesi akan melanda beberapa Negara karena terjadinya penurunan pada 2-3 kuartal berturut-turut. Kemudian terdengar kabar bahwa terdapat beberapa Negara melakukan kebijakan fiskal ini. Namun alih-alih membaik, keadaan malah semakin terpuruk.

Sehingga tentu saja, kebijakan fiskal ini meskipun dapat sangat membantu menstabilkan, namun dalam pengaplikasiannya juga tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup panjang agar dapat terlaksana sesuai dengan kestabilan yang diinginkan pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun