Sebagai pembaca yang lahir pada tahun 90-an, kehidupan yang dilukiskan dalam novel-novel yang ditulis tahun 70 - 80an tentu akan memiliki pergeseran pemaknaan dalam pembacaan maupun saduran referensi zaman dalam prosa berbentuk novel. Salah satunya adalah novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewatkarangan Mira W, sesosok penulis yang cukup fenomenal pada tahun tersebut sebab kisah-kisah yang diangkatnya dalam bentuk cerpen maupun novel memberikan kesan pada proses modernisasi yang dialami oleh masyarakat Indonesia.
Sebelum berkenalan melalui biografi penulis, saya membayangkan sosok Mira W mempunyai sosok yang mirip dengan penulis angkatan diatas beliau dengan karyanya yang masih membekas dalam ingatan saya Pada Sebuah kapalyaitu N.H Dini. Â barangkali pencitraan sebagai sesosok perempuan yang mandiri dan berindependensi kuat dalam karya-karyanya berhasil memengaruhi seorang Mira W sebagai penulis perempuan Tionghoa yang berkontribusi dalam dunia penulisan tahun-tahun industri.
Alasan mendasar saya tertarik untuk meresensi novel ini adalah proses remaking film yang berjudul "ARINI" dan dulu sempat dibintangi pemain film fenomenal pada masanya, Rano Karno. Film yang rencana bakal tayang 5 April mendatang menarik perhatian saya untuk menebak alur cerita -- salah satu hobi saya dalam menonton -- film ini nantinya, apakah berhasil memenuhi ekspetasi saya sebagai penonton atau belum, kita tunggu saja nanti.
Judul Masih Ada Kereta yang Akan Lewatbarangkali adalah ungkapan metafora penulis yang lagi-lagi menghancurkan imajinasi saya sebagai pembaca sekaligus penilai coverbuku. Sebenarnya penetapan penulisan judul tersebut adalah tindakan pemaksaan, pemaksaan penulis terhadap pembaca agar masuk dalam ruang imajinasi yang diciptakan pengarang. Detail-detail realisme yang menjadi poin penting dalam setiap karya Mira W menundukkan kepasrahan pembaca agar segera menikmati roman yang ia sajikan. Sayangnya dalam novel ini pengembangan analisis tokoh mulai terhenti sejak tahap awal penceritaan, sehinggga karakter tokoh tidak berkembang.
Dari sisi penceritaan (Sjuzet) sebagai elemen penting dalam karangan berbetuk prosa mengikuti perkembangan prosa oleh formalism riusia, penceritaan dalam novel ini mampu meninggalkan kesan "Klasik-modern" yang dilatarbelakangi konflik cinta, akan tetapi jika kita terbiasa membaca novel pada masa sekarang yang mempunyai struktur alur serta penokohan yang kuat dan radikal maka kekuatan struktur alurnya tidak akan sekuat yang kita bayangkan.
Keliahaian Mira W dalam menjelaskan detail cerita serta teknik penempatan Peristiwa yang dibuat maju mundur patut diacungi jempol sebab teknik ini mampu memecah kebuntuan cerita yang mandeg. Pola-pola modernitas yang ditampilkan pun masih terlihat jelas melalui bumbu-bumbu cerita yang lezat. Maka tak heran cerita ini diminati untuk dibuat ulang versi filmnya.
 Lalu permasalahan-permasalahan yang ditampilkan bersama dengan solusinya menjadikan novel ini terbingkai rapat dan rapi, juga permasalahan modernitas yang ditampilkan melalui kehidupan pribadi tokoh menjadi sentralitas novel ini. Permasalahan ini mengingatkan kita akan kepribadian masyarakat kita yang tidak banyak berubah walaupun teori-teori sosial sudah mencapai tahap postmodern. Dari intrik-intrik yang ditampilkan novel ini kita seharusnya belajar ada faktor eksponen penentu dan pemangku kebijakan sosial yang sifatnya permanen. Dari  novel inilah saya banyak belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H