Women march yang diselenggarakan beberapa hari lalu masih menyisakan sedikit benak tanda tanya besar bagi saya pribadi, penyelenggaraan acara ini masih terbilang baru serta corak acara yang gagal mencerminkan kebangsaan pasca reformasi, berbagai simbol ditampilkan dalam perhelatan ini. Mulai simbol feminisme, LGBT, gender equality, reformasi imigrasi dan berbagai macam aksi dalam menyuarakan ketidakadilan sosial. Salah satu kritik besar saya terhadap pelaksanaan ini adalah tendensi kepentingan golongan "Putih" dalam melakukan fragmentasi hagemoni golongan mereka dalam perlakuan nasib yang katanya sama.
Dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterjemahkan oleh Arjmin Pane, Kartini mengutarakan kegelisahan budaya patriarki yang jamak terjadi pada zamannya, utamanya dalam dunia pendidikan serta ungkapan harapan besarnya agar dapat belajar ke eropa. Memang, pada masa itu gerakan feminisme mulai gencar disuarakan di Eropa dan gema suaranya terasa hingga negeri ini, hal tersebutlah yang ditenggarai oleh Kartini muda sebagai basis dasar pemikiran pergerakan perlawanannya. Akan tetapi muncullah dilematisasi pemikiran Kartini muda terhadap perubahan yang ingin diadopsinya dari bangsa lain, Kartini muda melihat ceruk kosong yang seharusnya tak boleh diisi selain nilai-nilai sejati yang dimiliki oleh bangsa ini bukan nilai putih dari peradaban yang berbeda kultural terutama heterogonitas masyarakat kita.
Dalam perkembangannya, feminisme sendiri terbagi menjadi dua gelombang besar yang dicirikan melalui perbedaan pandangan epistemologis teori kritis mereka. Pada gelombang pertama, teori-teori feminisme mengedepankan pandangan epistemologis yang bersifat sosiologis dan politis berupa pengajuan pertanyaan tentang argumentasi gender serta peranan perempuan dalam subordinasi masyarakat. Pandangan inilah yang menjadi embrio kelahiran beberapa aliran feminisme seperti Feminisme Liberal, Radikal, dan Marxisme.
Pada gelombang kedua, penekanan epistemologisnya terpusat pada penjelasan konseptual fundamental terhadap penindasan perempuan sekaligus memberikan respon atas kritik-kritik marxisme. Sehingga muncul dorongan penerimaan perempuan terhadap posisi yang dimiliki oleh laki-laki (Arivia, 2006)
Gelombang kedua inilah yang menjadikan pergerakan ini menjadi menarik selagi terdapat perubahan struktur dasar pemahaman pandangan epistemologis mereka. Gelombang kedua inilah yang menjadi cikal bakal permainan kedudukan perempuan yang sengaja diombang-ambingkan mirip dengan prinsip filosofis khas barat yang cenderung melakukan dialektika dalam balutan nuansa dualisme yang tak berkesudahan.
Parahnya lagi, logika ini dipermainkan dan dirusak dalam hegemoni pandangan individual terhadap pemikiran-pemikiran yang bernuansa agamis. Baik itu Islam, Kristen, Hindu serta agama-agama yang lain. Perlu diketahui, logika ini cenderung dimanifestasikan dalam kecenderungan dualisme sekuler. Dan sekularisasi ini dibantah habis oleh Muhammad Naquib al-Attas sebagai kesalahan penafsiran barat terhadap bible dalam karyanya Islam and Secularism.
Kemudian, bentrokan filosofis ini menghibahkan tatanan keadaan struktural masyarakat kita yang semakin tak jelas visinya lagi. Salah satu dampaknya pernikahan sebagai acara sakral, penuh romantika, dan dinamis tak lagi dipuja sebagai sakralitas sebagaimana adanya institusi ini. Padahal, penggambaran yang dilakukan pujangga-pujangga kita dalam prosanya justru melahirkan pemahaman terhadap institusi ini sendiri.Â
Akan tetapi liberalisasi pandangan pernikahan sebagai sebuah legalitas dalam urusan ranjang dan percintaan meniadakan aspek kesucian cinta itu sendiri. Lokalitas budaya kita, utamnya dalam pewayangan memberikan gambaran serta testimoni pengetahuan mereka terhadap kesucian cinta dan institusinya, lagi-lagi hal ini digerus eksistensinya dalam konteks individualitas dan seksualitas.
Representasi kolektif yang dijelaskan sosiolog Emile Durkheim dalam menganalisis fenomena-fenomena di masyarakat menggambarkan ketakutan individu dalam menghadapi kenyataaan yang dimiliki oleh kolektif masyarakat. Kecendurangan struktural inilah yang dipahami oleh kebijakan-kebijakan representatif sebagai basis kekuatan sosial. Akan tetapi, kelemahan deskripsi kesatuan masyarakat dan kesatuan individual yang tidak ditemukan korelasinya dideskripsikan oleh Levi-Strauss dengan baik sebagai relasi kekerabatan dalam bentuknya sebagai sistem komunikasi. Levi-strauss berhasil menjabarkan argumentasi yang gagal di deskripsikan pendahulunya sebagai jawaban atas fenomena sosial ini.
Fenomena sosial yang menjadi landasan teorisasi Levi-Strauss adalah pernikahan. Berbekal bukti-bukti argumentasi Radcliffe-Brown dan peniadaan aspek biologis yang dipandang membatasi capaiannya dalam aspek sosial. Maka, Levi-Strauss membicarakan pernikahan sebagai transaksi sosial. Hal ini perlu dicermati dalam kandungan sosiologisnya, sebab pembicaraan pernikahan juga memberikan perhatian kecermatan aspek sosial bagi perempuan sebagai objek. Bahasa sederhananya, laki-laki memberikan perempuan dan laki-laki menerima perempuan.
Pola pencapaian inilah yang menjadi titik acuan objektivisme perempuan melalui ranah yang akan dijabarkan sebagai domestikasi perempuan. Pemahaman ini sebenarnya menjadikan tolak ukur kebebasan dan peran penting perempuan menjadi absurd secara singkat. Perangkap yang banyak dipasang melalui simbol-simbol komunikasi menguatkan pendapat bahwa kehidupan perempuan menjadi singkat semenjak mereka berkenalan dengan media komunikasi. Pemicunya tentu saja pemahaman yang kurang serta pergeseran makna yang berulang kali dilakukan secara masif.Â