Tentang sampai kapan saya akan menunggunya?
Jawabannya; sampai saya ketahui bahwa bukan saya lagi yang menjadi tujuannya pulang.
Iya, menyayanginya memang membuat saya terus menerus tersiksa; setiap malam terasa sesak di dada karena merindukannya, setiap malam melawan pikiran sendiri karena cemas akan kabarnya, setiap malam bertanya-tanya apakah besok perasaannya masih untuk saya atau tidak.
Namun, saya tak peduli, selama belum saya dengar dia mengucap pamit, selama itu pula saya rela bertahan dalam rasa sakit.
Akan saya perbaiki diri saya, agar di matanya saya layak.
Akan saya berusaha lebih keras, agar baginya saya pantas.
Akan saya kuatkan hati saya, agar saya mampu menjadi penopang segala kesedihannya.
Tapi, bagaimana bila bukan saya yang dia pilih?
Bagaimana bila bukan saya rumah tempat dia menetap?
Bagaimana bila ternyata perasaannya bermuara pada seseorang yang lain?
Saya akan berhenti menunggunya.
Saya akan mengganti rasa sayang saya menjadi doa-doa perihal kebahagiaannya.
Saya akan menghapus rindu-rindu saya.
Saya akan belajar menerima kepergiannya.
Meski, pada setiap baris kalimat yang saya tulis miring, ada banyak air mata yang jatuh hingga mengering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H