Mohon tunggu...
Ary Wibowo
Ary Wibowo Mohon Tunggu... -

adalah desainer grafis yang juga menulis cerpen dan puisi. suka menikmati pagi di taman kota sambil bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matinya Seorang Ateis

30 Juli 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyeri di kepalaku semakin menyakitkan. Rasa sakit yang luar biasa membuat aliran darah di kepalaku seolah putus tercabik-cabik. Mataku mengabur dengan sebelah kelopak mata mengatup. Dan bibirku yang bergetar terasa tertarik kebelakang hingga mulutku terasa berubah letak menyerong, sedang kaki tanganku seolah sangat berat untuk digerakkan. Anganku menerawang pada semua perbuatan masa silam yang telah kulakukan dengan tanganku, dengan mataku. Dengan mulutku. Semua tentang dusta dan kepongahanku.

Kenapa saat ini kematian tiba-tiba menjadi begitu menakutkan, padahal aku pikir sejak dulu kematian adalah sebuah langkah yang cerdik untuk mengakhiri sandiwara konyol tentang penderitaan hidup. Kenapa saat ini begitu terasa mengerikan, Sri? Rasa sakit ini semakin merambah seluruh tubuhku. Membuatku ingin berteriak. Tergetar. Menggigil. Yang kulihat hanya wajahmu di langit-langit kamar yang perlahan mengabur. Dan gelap.

***

Aku menekan tombol handphone lalu mendekatkan pada telingaku. Sebuah suara terdengar dari seberang. Suara Dita, adik perempuanku yang tertahan sambil sesekali terisak.

"Mas Adit, sampai dimana? Cepatlah sampai ke rumah! Ayah telah meninggal," ucapnya bergetar parau. Dadaku seketika sesak dan bergemuruh. Bertanya dalam hati kenapa ayah berpulang terlalu cepat sebelum aku tiba di rumah menemuinya. Bahkan sebelum aku sempat berbincang tentang sebuah tanya yang selalu tersimpan dalam hati sejak beberapa waktu lalu. Kusadari kini dalam hatiku masih akan terus tertinggal sebuah tanya yang tak pernah sempat aku bincangkan dengan ayah, tentang bagaimana cara ayahku mendidik dan membesarkan kami berdua tanpa kehadiran seorang ibu sebagai pendampingnya.

Sebulir bening air bergelayut di sudut mataku. Betapa besar cinta ayah pada mendiang ibu, hingga terus menerus merasa kehilangan ketika ibu pergi. Ayah terlalu mencintainya, bahkan tak pernah mau mencari pengganti ibu. Karena baginya, aku dan Dita adalah bagian dari ibuku yang sama berharga dengan biji matanya. Aku ingat ayah pernah mengatakan itu.

Kaca depan yang berembun oleh gerimis, memantulkan bayanganku. Aku berkaca pada diriku sendiri. Kemana aku selama ini? Sibuk dengan angka manipulasi, wanita-wanita dan istri muda? Kemana aku, ketika lelaki yang membesarkanku terlunta di usia yang renta? Aku malu pada diriku sendiri, bahkan malu pada hidupku. Meratapi kenyataan karena aku tak pernah memiliki cinta seperti yang dimiliki ayahku.

***

Solo, 12 Maret 2007

Dimuat dalam Dokumentasi Sastra seri antologi cerpen: Joglo 3 dan diteatrikalisasi di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun