"Sudah semestinya kita takut ketika berjalan sendirian di tengah bengis peradaban kota yang semakin banyak memproduksi manusia seperti kita, dan menjadikan hidup hanya menunda kekalahan," jawabnya setelah beberapa saat terdiam. Aku tak menyangka, jika di balik kegarangan penampilannya tersimpan sebuah penalaran yang beradab. Kadang nurani seseorang memang tak bisa diukur dari penampilan. Aku sendiri juga bertanya dalam hati, mengapa kota tempat aku mengadu nasib ini justru menjadi seperti neraka bagi kami para urÂban. Kebijakan negara seolah tak pernah memberi solusi bagi makhluk yang termarjinalkan. Ah, tahu apa aku tentang kebijakan negara. Kami dimanjakan sekaligus terjebak oleh carut marut situasi. Dunia yang serba instan dan menghalalkan segala hal agar tetap hidup. Aku tak pernah tahu, entah bagaimana cara negara menyusun peradabannya yang hanya menghasilkan residu manusia-manusia seperti aku dan lelaki ini. Jujur, sebenarnya aku tak paham sepenuhnya kalimat yang ia ucapkan tadi. Tapi aku akan menyimpannya dalam hati.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah*
"Jadi setelah ini, aku tak akan bisa menemuimu lagi?" tanyaku lirih.
"Aku bilang, ini adalah malam yang terakhir untukmu di kota ini, sayang," bisiknya. "Karena aku akan memÂbaÂwaÂmu pergi dari sini dan kita akan menata sebuah dunia baru, sekalipun berawal dari puing kehancuran hidup kita. Maukah kau?"
Aku seolah salah mendengar. Mataku menangkap sinar di matanya. Ada semacam harapan terbit seperti matahari di celah hatiku yang gelap. Wajahnya begitu dekat merapat. Tatapan matanya semakin membuatku tenggelam, hingga sebuah kecupan mendarat di bibirku yang merah. Dan kami pun bergumul mengarungi malam untuk pertama kali.
***
*Dikutip dari bait terakhir
sajak Derai-derai cemara,