Mohon tunggu...
Aryo S Eddyono
Aryo S Eddyono Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti

Mengajar Jurnalistik dan Media Massa di Universitas Bakrie. Meneliti isu-isu pers dan demokrasi, media dan budaya, media alternatif, serta soal konten/jurnalisme warga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencermati Body Shaming dalam Drama Korea "True Beauty" (2020)

23 Agustus 2022   10:41 Diperbarui: 23 Agustus 2022   15:42 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Penonton
Penikmat drakor True Beauty memaknai penggambaran body shaming secara berbeda. Hal ini dipengaruhi latar belakang mereka yang pernah mengalami body shaming baik dalam keluarga maupun pertemanan. Ada yang setuju, ada juga yang berposisi di tengah-tengah. Dari lima narasumber yang diwawancarai, tak ada yang menentang buruknya praktik body shaming dalam drakor ini.

Sabrina, misalnya. Ia setuju pada penggambaran body shaming dalam True Beauty. Menurutnya, dalam kondisi nyata situasinya bahkan lebih buruk. Maklum, ia pernah mengalami body shaming yang ia terima sejak kecil dari tantenya sendiri yang mengatakan tubuhnya gendut. Perempuan menurut tantenya harus terlihat langsing dan menarik. "Karena body shaming yang saya terima itu sejak saya SMP, jadi saya sekarang sedikit takut bertemu orang baru," ujarnya.

Senada, Annisa yang berkulit sawo matang kerap diejek anggota keluarganya dekil dan hitam. Ia pun sependapat bahwa True Beauty sarat body shaming dan apa yang dialami tokohnya tak jauh berbeda dengan situasi yang pernah ia alami. "Setuju, fokusnya mungkin kalo di True Beauty ceweknya itu kelihatan culun karena kacamata besar sama jerawatan. Kalo kita jerawatan dipandang sinis atau dibilang enggak merawat diri, padahal jerawat itu (akibat) hormon dan setiap orang beda-beda," katanya.

Dua narasumber lainnya, berpendapat sama dengan Annisa dan Sabrina.

Sementara Nisa menempatkan dirinya di antara dua sisi. Nisa mengaku pernah bertubuh gemuk saat SMA dan teman-temannya mengatakan ia gendut. Di rumah ia juga mendapat perlakuan yang sama.

Ada beberapa adegan yang menurut Nisa terkait dengan kehidupan nyata dan ada beberapa adegan yang tidak. Nisa setuju adegan di mana tokoh utama mengalami body shaming di lingkungan keluarga dan sekolah secara verbal, tapi tidak fisik. Klaimnya, ia tidak pernah menemukan body shaming disertai penindasan fisik. "Kalau sudah ke fisik itu jatuhnya ke bullying seperti adegan saat Ju Gyeong di siram dengan air, saat kepala Ju Gyeong di dorong disuruh-suruh membelikan makanan untuk teman-temannya," kata Nisa.

Kecantikan dari Hati dan Alami?
Kehadiran True Beauty tak lepas dari kondisi nyata di Korea Selatan. Sejak era 90-an industri hiburan Korea Selatan telah mendunia. Kesuksesan tersebut dikenal dengan Korean Wave, hallyu, atau demam Korea. Demam Korea tidak hanya memopulerkan budaya Korea, tapi juga membawa standar kecantikan yang baru bagi dunia yang diikuti penikmatnya. Selain menggunakan produk kecantikan Korea, mereka bahkan melakukan hal ekstrem yaitu operasi plastik.

Standar kecantikan yang diidealkan itu adalah berkulit putih, badan langsing, wajah mungil, mata lebar, bentuk wajah V, ukuran wajah kecil, hidung bangir dengan bibir hati. Standar kecantikan yang dikampanyekan terus-menerus inilah yang memicu body shaming karena mereka yang tidak memenuhi standar tersebut akan dianggap berbeda.

Drakor True Beauty ingin menunjukkan betapa parah situasi body shaming yang dialami tokohnya. Tapi, cerita tak selesai sampai di situ. Tokoh digambarkan bukan sebagai orang yang gampang menyerah dan pasrah pada standar kecantikan yang ada. Ia mencari jalan kecantikannya sendiri, yakni menonjolkan kecantikan dari hati dan alami tanpa harus melakukan operasi plastik. Ia pun diperebutkan para lelaki.

Menariknya, meski drakor ini ingin mendekonstruksi kecantikan dan menunjukkan parahnya praktik body shaming, penggunaan make-up masih diperbolehkan. Make-up diposisikan menjadi pilihan bagi mereka yang dilahirkan tidak cantik. Asal pintar make-up, selesai urusan. Dan pada bagian inilah, iklan-iklan kecantikan bermunculan mencari kesempatan dan diberi ruang dalam cerita. Padahal, make-up adalah bagian dari industri yang juga memiliki standar kecantikan tertentu.


*Artikel ini ditulis atas dukungan data Febi Riyanti dan Shella Seniara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun