Mohon tunggu...
Aryo S Eddyono
Aryo S Eddyono Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti

Mengajar Jurnalistik dan Media Massa di Universitas Bakrie. Meneliti isu-isu pers dan demokrasi, media dan budaya, media alternatif, serta soal konten/jurnalisme warga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaimana Media Alternatif Perempuan Menulis Soal Perempuan saat Covid-19?

24 Februari 2022   14:36 Diperbarui: 4 September 2022   12:27 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa pandemi Covid-19 posisi perempuan makin terhimpit. UNFPA melalui technical brief-nya pada 2020 yang berjudul "Covid-19: A Gender Lens" menyebut pandemi Covid-19 membuat ketidakadilan bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya semakin memburuk. Mereka memikul beban yang lebih berat pada segala aspek kehidupan, terutama pada aspek ekonomi dan sosial.

Pada aspek ekonomi, menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Maret 2020, terdapat 60% perempuan di seluruh dunia yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan rendah berpotensi besar untuk jatuh miskin. 

Selain itu, pada aspek sosial, perempuan yang berada dalam keluarga patriarki akan mengalami beban pekerjaan yang makin berlipat di mana hal ini memicu munculnya depresi. Sejalan, Komnas Perempuan pada 2020 menyebut satu dari tiga perempuan mengalami stres karena pandemi Covid-19 yang membuat beban pekerjaan rumah tangga menjadi berlipat ganda.

Media dengan kekuatannya bisa menjadi penolong perempuan dalam memberi ruang agar suara perempuan bisa didengar di masa pandemi Covid-19. Sayangnya, harapan ini sepertinya amat berat dipikul oleh media yang berorientasi pada akumulasi kapital (media mainstream).

Pada iklan, berita, film, sinetron, dan bentuk-bentuk konten media lainnya, masih saja ditemukan pelabelan perempuan yang diskriminatif. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang seksi, jahat, bahkan jika tidak keduanya, ditampilkan paling menderita sedunia. 

Nestapa sepanjang hayat. Perempuan dengan segala pelabelannya dalam industri media merupakan komoditas atau "barang dagangan" yang berpotensi laku di pasaran.

Kami mengamati bagaimana media alternatif perempuan menulis tentang perempuan di tengah pandemi Covid-19. Media alternatif merupakan media yang bertolak belakang dari media mainstream, fokus pada isu-isu yang enggan diangkat media mainstream, mengedepankan informasi yang dibutuhkan khalayaknya, dan tidak mengejar keuntungan.

Media alternatif yang kami pilih adalah Magdalene.co. Ada empat artikel di kanal Issues yang kami amati, ditulis oleh penulis organik media tersebut. Artikel ini muncul pada awal pandemi Covid-19 mulai ramai di Indonesia. Karena ini adalah pengamatan teks, kami memutuskan untuk tidak mengklarifikasi temuan pada Magdalene.co. 

Semakin Terpuruk

Magdalene.co dalam artikel-artikelnya mewacanakan perempuan sebagai kelompok yang terdampak parah akibat pandemi Covid-19. Bagi buruh perempuan, PHK bisa datang kapan saja.  Buruh perempuan sangat mungkin kehilangan pekerjaan terlebih dahulu dibandingkan buruh laki-laki karena adanya pandangan bahwa buruh perempuan adalah pekerja yang lemah dan tidak seproduktif buruh laki-laki.

Pandemi Covid-19 juga berimbas pada dunia penerbangan. Maskapai penerbangan memberlakukan kebijakan cuti tanpa mendapatkan gaji atau unpaid leave dan mencabut asuransi kesehatan kepada para pramugari. 

Para pramugari semakin terpuruk karena pada kondisi normal saja mereka sudah berada pada situasi yang tak menguntungkan akibat kebijakan-kebijakan tak adil gender yang diberlakukan oleh maskapai tempat mereka bekerja.

Kebijakan yang tak adil gender tersebut antara lain adalah adanya perbedaan gaji antara pramugari dan pramugara, di mana pramugara mendapatkan upah yang lebih besar. Juga adanya kebijakan mengenai berat badan yang seolah hanya berlaku bagi pramugari, dan kebijakan tak adil lainnya yang hanya berlaku bagi pramugari.

Perempuan yang memiliki beban ganda, yaitu sebagai seorang pekerja perempuan dan juga sebagai seorang istri atau ibu, dinarasikan sebagai pihak yang memikul beban yang semakin bertambah berat, apalagi jika terinfeksi virus corona.

Kebijakan physical distancing membuat perempuan penyintas KDRT terjebak untuk berada dalam satu rumah dengan pelaku KDRT. Mereka sulit mengakses bantuan yang dapat menolong mereka. Selain itu, lembaga-lembaga yang memberikan pertolongan kepada korban KDRT tidak bisa bekerja secara maksimal. Perempuan semakin rentan menjadi korban KDRT.

Magdalene.co dengan kuasanya dalam memilih isu dan menentukan narasumber, mengingatkan pembaca bahwa kondisi perempuan tidak lebih baik, apalagi di tengah pandemi. 

Sebelum Covid-19 melanda, posisi perempuan sangat tidak menguntungkan. Budaya patriarki melekat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan terus-menerus ditampilkan secara meyakinkan oleh media. Pandemi Covid-19 memperparah situasi tersebut.

Hera Diani, salah satu pendiri Magdalene.co dalam sebuah artikel di Whiteboardjournal.com mengatakan,  "...nilai-nilai yang kami angkat dalam semua konten kami itu feminis. And then we reclaimed that, we owned it."

Terus-menerus

Isu yang diangkat Magdalene.co dalam menyuarakan kepentingan perempuan, terutama selama pandemi ini, masih harus diramaikan. Magdalene.co punya keterbatasan dan tidak bisa dibiarkan sendiri.  Kita beruntung ada Konde.co yang juga menghadirkan konten yang berpihak pada perempuan.

Kita juga harus bersyukur, masih ada jurnalis dan media, meskipun tak banyak, yang memberi ruang pada isu-isu perempuan di tengah tuntutan rezim traffic. Tapi itu tidak cukup. Kita butuh lebih.

Penyadaraan kesetaraan gender penting dikampanyekan terus-menerus. Media mainstream tidak boleh luput memberitakan sebuah peristiwa dari perspektif gender, terutama ketika melakukan pemberitaan di masa-masa krisis, seperti masa pandemi Covid-19.

Harus selalu dipahami bahwa keberpihakan pers adalah kepada publik yang terpinggirkan. Perempuan adalah salah satunya.

*Artikel ini ditulis bersama Firly Fenti, Alumni Universitas Bakrie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun