Mohon tunggu...
aryoraharjo
aryoraharjo Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menulis dan membaca karya yang dapat menambah pengetahuan serta wawasan

jalani hidup sesuai dengan peran yang disandangnya agar tidak terjadi salah peran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anatomi Munculnya People Power dan Tuduhan Pemilu Curang

17 Mei 2019   16:18 Diperbarui: 17 Mei 2019   16:27 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelaksanaan pemungutan suara pemilihan umum secara serentak di Indonesia pada 17 April 2019 telah berjalan dengan baik dan relatif berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat dinilai antusias dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara di masing-masing daerah. Namun demikian, setelah hitung cepat atau quick qount muncul dan diketahui pemenangnya kendati masih sementara, timbul persoalan yang tidak bisa diremehkan begitu saja, terutama pada pemilihan presiden (pilpres). Persoalan tersebut terletak pada soal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merasa kalah dan menganggap telah terjadi kecurangan secara terstruktur dan massif. Untuk itu, niatan untuk mendiskualifikasikan pasangan yang menang, hingga muncul gerakan people power menjadi permasalahan tersendiri.

Sejumlah persoalan tersebut, sebenarnya akar permasalahannya yang nyata adalah aksi klaim dan deklarasi kemenangan pasangan capres 02, Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno yang berdasarkan hasil penghitungan internal tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi memenangkan kontestasi pemilihan presiden.

Bahkan, kemenangan tersebut dapat dikatakan fantastik hingga mencapai lebih dari 62 persen, meskipun sebelumnya tim BPN meragukan sejumlah lembaga survei yang dalam quick count nya memenangkan pasangan capres 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Sementara dalam pernyataan salah satu petinggi BPN, Fadli Zon menyatakan bahwa pihaknya tidak mempercayai hasil dari sejumlah lembaga quick count yang memenangkan pasangan 01.

Namun, entah kenapa tiba-tiba beberapa waktu pasca pemungutan suara, Prabowo Subianto beserta tim pendukungnya mendeklarasikan diri sebagai pemenang presiden terpilih yang berpegang pada quick count, exit poll, dan real count yang dilakukan internal BPN di Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, rumah peninggalan orang tua Prabowo. Seakan layaknya me-review kejadian yang sama, dejavu tersebut dilakukan juga dengan kegiatan ritual sujud syukur yang bersamaan dengan berjalannya sejumlah lembaga survei yang hampir semuanya memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Acara deklarasi kemenangan pun tidak hanya sekali, tapi justru diulang kembali, namun kali ini Prabowo Subianto didampingi oleh cawapres 02 Sandiaga Uno yang sebelumnya tidak tampak. Bukan itu saja, eforia kemenangan pasangan 02 terus dilakukan oleh para pendukungnya, terutama di seputaran wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan memasang baliho, spanduk, dan atribut lainnya. Mereka terus antusias dan meyakini bahwa Prabowo-Sandi menang dalam kontestasi pilpres. Uniknya, seiring dengan berjalannya waktu, para elite pendukung Prabowo-Sandi sudah menyebut sosok Prabowo Subianto dengan sebutan presiden dalam setiap kesempatan.

Terkait penyebutan presiden tersebut, sebenarnya menjadi problematika tersendiri. Penyebutan presiden lagi-lagi dianggap sudah melekat di antara para pendukung dan justru dianggap sebagai dagelan yang konyol, karena pendukungnyapun bingung untuk apa penyebutan tersebut. Hal ini seperti yang terjadi ketika salah satu pendukung paslon 02, Priyo Budi Santoso (kini petinggi Partai Berkarya dan BPN) merasa kebingungan ketika ditanya untuk apa penyebutan presiden terhadap Prabowo dalam salah satu program dialog di televisi swasta nasional, sementara menang pilpres saja belum, apalagi dilantik oleh wakil rakyat menjadi presiden, jauh panggang daripada api.

Bukan itu saja, sebutan presiden, hingga kini justru masih menjadi bahan teatrikal yang bersifat satire, mengikuti ketika para purnawirawan perwira tinggi TNI satu persatu memberi penghormatan ala militer kepada Prabowo seraya berucap, "siap presiden." Perkataan siap presiden akhirnya menjadi booming dan viral di media sosial, bukan hanya di dalam negeri, bahkan video pendek siap presiden terdapat di luar negeri yang diperagakan oleh orang luar negeri juga. Sungguh suatu ironi yang menyakitkan.

Sebenarnya yang menjadi persoalan bukan terkenalnya kata siap presiden semata, namun penggunaan kata presiden itulah yang menjadi core of the problem, selain deklarasi kemenangan atas Pilpres 2019 yang dilakukan oleh paslon 02, karena membuat masyarakat justru terus terpecah belah antara dua polar yang berseberangan antara satu dengan yang lainnya dalam satu kontestan. Kenapa, mari diurai satu per satu. Acara deklarasi dan klaim kemenangan jelas bertentangan dengan norma dan regulasi yang diterapkan penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk bertentangan dengan hak demokrasi rakyat yang memilih.

Secara nalar, pihak KPU belum rampung dalam melakukan rekapitulasi hasil real count secara resmi. Ditambah sejumlah lembaga survey tentang quick count justru memenangkan paslon 01 setelah 100 persen suaranya masuk. Sedangkan penghitungan suara internal BPN sendiri malah belum jelas datanya mengingat mereka di berbagai kesempatan di ranah publik tidak bersedia untuk meng-combined datanya, termasuk prosedur dan proses mendapatkannya dengan lembaga survei lain yang sudah menjadi rujukan KPU.

Selanjutnya terkait penyebutan dan pemanggilan kata presiden terhadap capres 02 semakin menambah kisruhnya suasana politik dan membingungkan masyarakat. Hal ini karena sebutan kata presiden ada aturan hukumnya yang jelas, bukan sebagai gagah-gagahan klaim kemenangan. Dalam konstitusi ketatanegaraan kita, presiden itu sendiri merupakan salah satu lembaga negara yang orangnya dipilih oleh rakyat secara demokratis melalui sistem pemilihan umum dengan syarat-syarat ketentuannya. Di Indonesia, presiden selain harus memenangkan kontestasi pilpres secara langsung, harus memiliki legitimasi yang sah dengan diangkat, dilantik, dan disumpah oleh perwakilan rakyat. Dalam perhelatan Pilpres 2019 ini, pelantikan presiden direncanakan akan dilakukan pada 20 Oktober 2019 melalui sidang paripurna dan tentunya disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, persoalan deklarasi kemenangan dan penyebutan presiden terhadap capres 02 tidak tertutup kemungkinan digunakan untuk tujuan politik dengan menggiring opini publik agar kemenangan pasangan Prabowo-Sandi terus melekat di hati masyarakat, terutama para pendukungnya. Apabila atribut tersebut sudah melekat, maka jika paslon 02 dinyatakan kalah oleh KPU melalui rekapitulasi pemenangan kontestasi Pilpres 2019, maka dimungkinkan akan menjadi titik akumulasi sebagai bahan kekecewaan massa pendukung. Untuk mengantisipasi hal tersebut, tak heran bila BPN dan think tank pendukungnya selalu meneriakkan telah terjadi kecurangan secara masiv dan terstruktur serta pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya, alias tidak demokratis, jujur, dan adil.

Teriakan tersebut sejatinya bukan hanya setelah kegiatan pemungutan suara saja, akan tetapi jauh sebelumnya, terutama setelah mereka mendapatkan peta kekuatan pendukung masing-masing paslon. Seperti diketahui, partai politik pendukung paslon 02 terdiri dari partai Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Kondisi ini jauh berbeda dari parpol pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, sebab di sana ada PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Nasdem, PKB, Hanura, dan ditambah partai baru, seperti PKPI, PSI, dan Perindo. Kondisi yang dapat dikatakan 'tidak berimbang' ini menjadikan tim BPN seperti terkena buah simalakama, apabila dimakan bapak mati, jika tidak dimakan ibu meninggal. Kemudian, terlihat secara jelas, bahwa kompetitor Prabowo-Sandi merupakan seorang petahana, masih menjadi presiden yang sah di Republik Indonesia. Situasi inilah yang dirasakan oleh paslon 02 dan tim pendukungnya. Mereka harus memutar otak lebih keras lagi untuk memenangkan pilpres. Ibaratnya seperti Daud melawan Goliath.

Bagi mereka bila bertanding secara head to head, kecil peluangnya untuk memenangi pertandingan tersebut. Tak heran, sebelum penetapan paslon oleh KPU, Prabowo Subianto sempat mewacanakan untuk mundur dari perhelatan, meskipun konsekuensinya menurut peraturan KPU dapat terkena pidana 5 tahun penjara. Dari situlah sudah terlihat nyali bertempurnya menjadi kurang memiliki sifat militansi yang tinggi. Namun, dengan bergulir waktu, akhirnya Prabowo mengikuti kontestasi pilpres secara head to head melawan 'musuh bebuyutannya,' (terulangnya Pilpres 2014) hanya berbeda pendamping saja.

Adanya peta kekuatan yang dinilai berbeda jauh tersebut, tak heran bila kedua kubu terus meningkatkan daya gempurnya dalam berkampanye guna menarik simpati masyarakat agar memilih paslon jagoannya masing-masing secara all out, termasuk paslon kubu 02. Mengingat dari perhitungannya, Prabowo Subianto sendiri sudah empat kali mencalonkan diri menjadi calon pemimpin negara dan selalu mengalami kekalahan. Mulai dari konvensi Partai Golkar 2004, mendampingi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati 2009, didampingi Hatta Radjasa 2014, dan hingga kini Pilpres 2019. Apabila tahun ini mengalami kekalahan lagi, dimungkinkan kontestasi 2024 yang akan datang pihaknya sudah tidak bisa lagi untuk mengikuti, mengingat umur yang sudah sangat senior. Oleh karena itu, besar harapannya apabila dalam pertandingan kali ini Prabowo harus memenanginya, apapun resikonya.

Deklarasi Kemenangan yang Berulang

Belum lama ini BPN kembali menggelar acara kemenangan Parbowo-Sandi yang dibalut dengan pengungkapan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2019 bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Selain dihadiri Prabowo-Sandi, sejumlah elite BPN serta para pendukung paslon nomor urut 02 juga turut hadir dalam acara yang terang-terangan menyebutkan secara teknis terkait dugaan kecurangan yang terjadi pada Pilpres 2019. Dan yang menjadi puncaknya adalah klaim kemenangan yang disampaikan oleh Dewan Pakar BPN, Laode Kamaludin yang berdasarkan pada data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, paslon 02 dinyatakan memperoleh suara sebesar 54,24 persen (sebelumnya diklaim menang lebih dari 62 persen) atau 48.657.483 suara, sedangkan paslon 01 memperoleh suara sebesar 44,14 persen.  Posisi itu diambil dari total 444.976 TPS atau 54,91 persen dan dinilai sudah melebihi keperluan dari ahli statistik untuk menyatakan bahwa data tersebut sudah valid. Selanjutnya, BPN menyatakan bahwa pihaknya menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 yang dilakukan oleh KPU, alasannya telah terjadi banyak kecurangan yang merugikan pihaknya.

Dengan adanya kecurangan yang dianggap merugikan paslon 02, maka selain tidak mengakui hasil rekapitulasi dari KPU, para pendukung tim BPN berniat akan melakukan apa yang dinamakan people power. Sebenarnya istilah tersebut sebelumnya terus digaungkan oleh sesepuh PAN dan BPN, Amien Rais semenjak media menyiarkan kekalahan paslon 02 melalui quick qount pasca pemungutan suara. Namun karena seringnya terjadi friksi dan dinilai berpotensi makar oleh pemerintah, maka oleh Amin Rais belakangan tidak lagi menggunakan istilah people power, tapi kedaulatan rakyat. Penggunaan idiom tersebut dimungkinkan menjadi penyemangat untuk mendiskualifikasikan paslon 01 yang dianggap telah melakukan berbagai kecurangan dan sekaligus bisa merebut kekuasaan nantinya.

Pertanyaan Rakyat

Yang menjadi pertanyaan publik hingga kini adalah mengapa kubu paslon 02 menganggap kecurangan hanya terjadi pada pilpres saja, padahal ada pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota? Mengapa kubu paslon 02 buru-buru mendeklarasikan kemenangan pilpres, bukankah rekapitulasi resmi dari KPU belum selesai, dan mengapa yang menjadi dasar kemenangan paslon 02 dari hasil internal BPN yang subyektivitasnya sangat kental, ditambah tidak adanya unsur transparan terkait data serta proses penghitungannya? Mengapa kubu paslon 02 justru sudah menyebutkan Prabowo sebagai presiden? Dan, bila ada kecurangan tidak menggugat saja ke Mahkamah Konstitusi? Apabila pertanyaan tersebut tidak terjawab dengan baik, maka kubu 02 dinilai tidak memiliki komitmen untuk membangun negara tercinta, hanya mementingkan kelompok maupun golongannya saja, tidak juga berkomitmen tentang siap menang dan siap kalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun